Senin, 10 November 2014

Bagaimana Jika Islam Dilecehkan?!

Setelah maraknya berita kontroversi ISIS, kita sering dikagetkan dengan beragam fenomena pelecehan terhadap Islam di berbagai media. Seperti pelecehan terhadap bendera dan panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertuliskan kalimat Tauhid, Mushaf Al-Qur'an, perusakan citra istilah-istilah syar'i seperti istilah Khilafah, Jihad, Hijrah, Bai'at dan sebagainya. Alih-alih ingin mengkritisi, hal itu justru malah menodai agama Islam itu sendiri.

APAKAH INI TERMASUK?
1. The Jakarta Post, 3 juli 2014 memuat karikatur penghinaan terhadap simbol Islam berupa lafadz kalimat tauhid yang berhias gambar tengkorak kematian (skull), tepat di tengah-tengah tengkorak, tertera lafadz bertuliskan Allah, Rasul, dan Muhammad.
2. Program Seputar Indonesia Pagi RCTI pada 8 Agustus 2014 saat membahas tema “Polemik ISIS”, dengan sengaja menayangkan gambar lafadz tauhid yang dicoret silang warna merah mencolok.
3. Aksi seorang wanita Mesir yang mengunggah sebuah gambar di media sosial yang memperlihatkan dirinya dan seorang wanita lain tengah buang air besar dan menstruasi di atas bendera bertuliskan kalimat tauhid sambil telanjang. Na'udzubillahi mindzalik!.
4. Pernyataan kontroversial seorang ketua ormas islam dalam acara Indonesia Lawyer Club [ILC] selasa 14 oktober 2014, di TV One, yang menyatakan “ayat konstitusi di atas Ayat Al Quran”, sedangkan secara jelas Nabi saw bersabda “Al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaih”, Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandinginya.

KENAPA TERJADI?
Sikap penghinaan dan pelecehan terhadap syi'ar-syi'ar Islam [istihza'] ternyata hanya akan muncul dari hati orang munafik. Sikap ini sangat bertentangan dengan prinsip keimanan. Kedua sikap yang bertentangan tersebut tidak mungkin bisa bertemu dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Hajj:32. 
Allah memperingatkan  tentang hukuman bagi orang-orang yang menghina nilai-nilai Islam. Diantara firman-Nya adalah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
lbnu Umar radhiyallahu'anhum menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut, “Dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.”  [yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah SAW dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an].
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah SAW”
Bagaimana reaksi Rasulullah? Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Namun Rasulullah SAW balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (lihat: Al-Qurtubi, Jami'ul Bayan fi Ta'wili Ayyil Qur'an, 14/333-335)
Manakala Rasulullah bermuamalah dengan manusia beliau terkenal sosok yang paling pemaaf, NAMUN sangat berbeda ketika ajaran Islam dilecehkan, beliau bisa berubah menjadi sangat marah. Demikian juga sikap para sahabat pasca wafatnya Nabi saw. Dalam menanggapi  penghinaan terhadap Islam, mereka tidak berbeda dengan Nabi saw. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata: “ … Khalifah Umar berkata: “Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!”(Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hal. 201)

BUKANKAH RASUL MEMAAFKAN ORANG YANG MENCELANYA? 
Ya memang benar. NAMUN itu terjadi ketika Rasul saw masih hidup karena hal itu dalam rangka meraih maslahat dan ta'lif (melembutkan hati).  Bahkan, Ketika beliau mengetahui data para munafiqin, beliau tidak serta merta membunuh mereka, supaya mereka berkesempatan menerima dakwah. 
Demikianlah sikap Islam ketika ada sebagian orang yang melecehkan ajarannya, ternyata mereka harus menerima resiko berat hingga berupa hukuman mati. Semoga kita mampu menjaga perbuatan kita untuk senantiasa tunduk mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya serta berperan dalam mewujudkan kejayaan Islam. Wallahu'alam bish showwab. [Bud/jbr]

Jumat, 07 November 2014

Fitnah Lebih Kejam dari pembunuhan


Judul di atas merupakan kalimat yang diterjemahkan dari firman Allah swt pada surat Al Baqarah [2]:191, lebih lengkap terjemahannya adalah:

“Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka setelah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Kata yang semakna disebutkan pula dalam firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh . . . (QS Al Baqarah [2]:217).”

Apa Maksudnya?

Ayat ini penting untuk kita pahami karena ia seringkali digunakan untuk sesuatu yang bukan maksudnya. Hal ini karena kata fitnah sudah menjadi bahasa Indonesia yang konotasinya adalah mengemukakan tuduhan negatif kepada seseorang padahal orang itu tidak seperti yang dituduhkan. Bisa jadi, banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab atau dari kata yang terdapat di dalam Al-Qur'an tapi maknanya tidak seperti yang dimaksud oleh Al-Qur'an dan ketika orang menggunakan kata itu, ia menggunakan dalil Al-Qur'an untuk membenarkannya, bukankah ini namanya penyalahgunaan suatu ayat?

Dalam Ensiklopedi Al-Qur'an, fitnah berasal dari kata fatana yang berarti membakar logam, emas atau perak untuk menguji kemurniannya. Juga berarti membakar secara mutlak, meneliti, kekafiran, perbedaan pendapat dan kezaliman, hukuman dan kenikmatan hidup.

Bila diteliti ayat sebelum dan sesudah ayat di atas, turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan perintah atau izin kepada Nabi dan kaum muslimin untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin dengan tidak boleh melampaui batas; seperti membunuh wanita, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, rahib dan pendeta yang ada di rumah ibadah mereka padahal mereka tidak terlibat dalam peperangan.

Dibolehkan dan diperintahkannya kaum muslimin memerangi orang-orang kafir adalah karena adanya kekufuran dan kemusyrikan yang menghalangi manusia dari jalan Allah. Inilah yang dinamakan fitnah besar dalam agama, sehingga pada surat Al Baqarah [2] ayat 193, Allah swt berfirman:

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Quran menegaskan: “Sesungguhnya fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan ‘bejat’ yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.

Pada dasarnya Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dan permusuhan antar manusia meskipun mereka berbeda agama, tapi bila orang-orang kafir sudah sampai pada tingkat memerangi kaum muslimin, maka pembalasan harus dilakukan dan bila mereka berhenti memerangi umat Islam apalagi mereka masuk Islam, maka permusuhan pun diakhiri. 

Macam-Macam Fitnah

Fitnah yang dikategorikan lebih kejam dari pembunuhan bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam. 
Pertama adalah syirik, yakni menyekutukan Allah Ta’ala, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS An Nisa [4]:91. 
Kedua, bermakna kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada kaum muslimin, sebagaiman firman-Nya dalam QS Al Buruj [85]:10.  Fitnah yang disebut dalam ayat ini adalah adanya siksaan seperti dibakar hidup-hidup supaya orang beriman menjadi murtad. 
Ketiga adalah fitnah dalam arti siksaan karena sikap yang melampaui batas, sebagaimana tercantum dalam  QS Al Anfal [8]:25).

Kaum muslimin yang dirahmati Alloh, Disinilah  pentingnya kita untuk memiliki ilmu dien yang memperkokoh aqidah kita dan menjadi bekal untuk beramal dengan benar di tengah maraknya badai fitnah yang ternyata bisa menimpa siapa saja baik dari kalangan orang-orang yang beriman maupun orang-orang yang awam. Wallohu 'alam bish showwab (eko/jbr)

Kamis, 30 Oktober 2014

Idul Adha dan Ulil Amri



Perayaan Idul Adha telah berlalu, gema takbir dan pembagian qurban sangat terasa di negeri ini. Namun di balik kegembiraan tersebut, ternyata menyisakan sedikit keprihatinan ketika kita tidak dapat melaksanakan Sholat Idul Adha di hari yang sama. Yang satu berpendapat dengan metode hisab dan satu dengan metode ru'yah, dan ada juga yang kemudian berpendapat pokok'e mengikuti keputusan penguasa sebagai bentuk ketaatan kepada Ulil Amri.

Makna Ulil Amri dalam Islam

Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Umara. Berkata sebagian ulama lain, bahwa Ulil Amri itu adalah Ahlul Ilmi Wal Fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)

Ibnu Katsir, menyimpulkan bahwa Ulil Amri itu adalah ulama. Sedangkan secara umum Ulil Amri itu adalah Umara dan Ulama" (Tafsir al-Quran Al-Azhim, juz 1, h. 518)

Jadi kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri). Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat"; sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS An-Nisa [4] : 59).

Jadi bisa difahami bahwa ketaatan kita hanya boleh dilakukan kepada pemimpin/ulil amri yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam artian yang menjalankan Al Quran dan Sunnah sebagai landasan hidup baik pribadi maupun bernegara.

Sebaliknya kalau pemimpin itu tidak menjalankan Al Quran dan Sunnah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga syariat Islam tidak dapat berlaku kaffah di negerinya, maka ketaatan umat muslim kepadanya menjadi batal. Karena pemberlakuan hukum Allah atau syariat Islam, adalah salah satu konsekuensi keimanan kepada Allah.

”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (terjm QS Al A'rof 54)

Dalam ayat tersebut setelah menerangkan bahwa Allah adalah yang telah menciptakan segala sesuatu maka dengan tegas dan jelas Allah menyatakan, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. Hak memerintah dan melarang hanyalah milik Allah.

Di dalam kitab A'lamul Muwaqqi'in, Ibnu al Qayyim berkata,

Bid'ah yang paling besar adalah menanggalkan Kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnah Rasul-Nya, dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya.”

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara baik di negeri kaum Muslim maupun negeri Kafir ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).

Jarang kita jumpai satupun penguasa negeri yang jelas-jelas menyebutkan bahwa dia mendahulukan hukum Allah dan Rasul-Nya daripada hukum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan hampir semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur'an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta'aala.

Jadi, marilah kita selalu berdoa dan berusaha untuk mewujudkan penguasa yang menerapkan Syariat Islam, agar dia layak disebut ulil amri minkum, bukan justru sebagai mulkan jabbariyyah (penguasa jahat diktator) sebagaimana disabdakan Nabi saw. (Wid/jbr)

Nikah Beda Agama?!


Saudaraku yang dirohmati Allah, Bulan dzulhijjah dengan beragam kemuliaannya ini banyak yang memanfaatkannya untuk menggelar akad nikah, sebagai salah satu momentum beramal sholih untuk menyempurnakan separuh agama dengan keberadaan pendamping hidup idaman yang seiman dan seaqidah. 

Namun di satu sisi, kembali mencuat juga topik pernikahan beda agama, setelah adanya gugatan UU Pernikahan yang menuntut kepastian nasib pasangan beda agama. Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi [MK] oleh Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anbar Jayadi bersama empat temannya yang juga alumni FH. Dia menganggap bahwa pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu," telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia.

Imbasnya, terjadilah penyelundupan hukum, yaitu dengan cara menikah di luar negeri atau pernikahan secara adat. Sejumlah public figure tercatat menjalani pernikahan beda agama. Ada yang menggelar pernikahan di luar negeri, atau di Bali. Pernikahan pasangan beda agama ini pun ada yang berjalan mulus, namun ternyata banyak yang kandas di tengah jalan.

Menurut Islam

Saudaraku yang dirohmati Allah, yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah boleh seorang muslim laki laki menikah dengan perempuan yang beda agama ? Dan apakah terlarang seorang perempuan muslim menikah dengan lakilaki yang beda agama menurut pandangan islam??

Para ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang lelaki non muslim. Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sbb : 

1. Surah al-Mumtahanah ayat 10 :"Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 

2. Surah al-Baqarah Ayat 221: "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya."

Bisa kita fahami adanya larangan ini karena dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena kecenderungan perempuan mengikuti suaminya.

Menikahi wanita non muslim?

Dalam hukum Islam, wanita non muslim itu terbagi menjadi 4 golongan;

1.Musyrikah, 
yaitu penyembah berhala (animisme/paganisme). Hukum Islam melarang bagi seorang muslim untuk menikahi seorang muysrikah/animis/paganis. Sebagaimana yang tertulis di ayat 221 dari Surat al Baqoroh sehingga apabila terjadi pernikahan antara seorang muslim dan musyrikah maka yang akan terjadi di dalam kehidupan berumah tangganya adalah pertengkaran dan pertengkaran.

2. Mulhidah, 
yaitu wanita yang tidak beragama dan tidak mengakui adanya Tuhan, kenabian, kitab suci dan akherat, atau disebut atheis. Lelaki muslim diharamkan menikahi wanita atheis karena wanita atheis kedudukannya lebih buruk dibanding wanita yang musyrik.

3. Murtaddah, 
yang dimaksud dengan murtad adalah individu yang menjadi kufur setelah iman, baik kekefurannya itu berupa perpindahan keyakinan atau agama, atau sama sekali tidak memeluk agama. Kemurtadan di dalam Islam memiliki hukum-hukum yang berkenaan dengan akhirat (lihat surat al-Baqoroh 217), dan hukum-hukum yang berkenaan dengan dunia. Orang yang murtad tidak mendapat perlindungan dari masyarakat Islam, dan diharamkan adanya hubungan perkawinan,apabila terjadi perkawinan diantara keduanya maka statusnya tidak sah. Jika kemurtadan itu timbul setelah perkawinan, maka suami dan istri tersebut harus dipisahkan dan hukum ini sudah disepakati oleh para ahli fiqh.

4. Ahlul Kitab, 
jumhur ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahlu Kitab [yahudi dan nashrani] adalah diperbolehkan. Sebagiman disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5.

Penting untuk diketahui juga, pembolehan Islam terhadap pernikahan dengan wanita Ahli Kitab didasari oleh dua syarat, yaitu :
a. Bahwa wanita Ahli Kitab memiliki kesatuan sumber agama dengan agama Islam, dan diapun (wanita ahli Kitab) beriman kepada Tuhan dan nabi-nabinya serta beriman pula akan adanya hari pembalasan dan akherat.
b. Bahwa wanita Ahli Kitab yang dikawini oleh seorang muslim, maka dia akan hidup di bawah naungan suaminya dan tunduk terhadap hukum Islam. 


Dan perlu diingat bahwa diantara hikmah dibolehkannya menikah dengan ahlul kitab adalah supaya mereka itu masuk ke pangkuan Islam melalui pernikahan. Jika diperkirakan itu tidak mungkin terjadi, para ulama memakruhkan. Oleh sebab itu ada kondisi di mana seorang muslim dimakruhkan menikah dengan wanita ahlul kitab: 
Pertama, wanita tersebut harbiyah (mempunyai jiwa menyerang, tidak mungkin dipengaruhi dan bahkan mungkin akan menyebabkan hancurnya moral anak-anak yang dilahirkan, serta tidak mustahil ia akan mempengaruhi sang suami) (lihat, Ibid, vol.2. h. 372). 
Kedua, masih adanya wanita muslimah yang bisa dinikahi. Imam Ibn Taimiyah mengatakan: “Makruh hukumnya menikah dengan wanita kitabiyah sementara di saat yang sama masih ada wanita-wanita muslimah”(lihat, alikhtiyaraat alfiqhiyah min fatawa syaikhil Islam Ibn Taymiah, h. 217).

Harus Muslimah!

Rasullulah Saw bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat faktor yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang berpegang teguh terhadap agamanya, niscaya engkau akan berbahagia." (HR Bukhari dan Muslim)

Jadi agama adalah faktor terpenting dalam memilih istri. Agama merupakan alasan pokok, sedangkan faktor lainnya hanya mengikuti. Kita tidak memungkiri bahwa kecantikan itu perlu. Keturunan yang baik juga diharapkan. Demikian pula dengan harta. Namun, semua itu di belakang faktor agama. Ketika faktor lainnya menjadi pilihan, maka keturunan kita akan cenderung buruk; tidak mengenal Allah dan tidak pula mengenal negeri akhirat. Karena baik buruknya generasi tergantung kepada pemeliharan ibunya. Oleh karena itu, kewajiban seorang lelaki sholih adalah memilih wanita sholihah yang kelak menjadi ibu yang salehah bagi anak-anak mereka, yang hanya menginginkan ridha Allah dan kebahagian akhirat.Wallahu a'lam [damr/tmg]

Minggu, 26 Oktober 2014

Dzikrullah dan Puncak Ibadah


Para pembaca yang dirahmati Allah, Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/239 mengetengahkan sebuah hadits dari sahabat Mu'adz bin Jabal radhiyallahu a'anhu. Suatu hari Nabi bertanya kepada para sahabat, “maukah kalian aku beritahu tentang amalan yang paling baik bagi kalian, yang paling suci di hadapan Raja kalian (Allah), dan paling tinggi dalam mengangkat derajat kalian? Bahkan ia lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak dan dari pertemuan kalian dengan musuh lalu kalian menebas leher mereka dan mereka pun menebas leher kalian.”Mereka menjawab, “tentu saja.” Kemudian Nabi SAW bersabda, “yaitu dzikrullah 'azza wajalla.”

Nah, Apakah hadits diatas terkesan meng'gembosi' keutamaan jihad dan syahid di medan perang? sebagian ulama.menilai Hadits diatas adalah musykil. Tahqiq-nya, para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits di atas adalah yang berjihad dan terbunuh di medan jihad sementara hati dan lisannya tidak dalam keadaan berdzikir kepada Alloh. Adapun yang berada di sana dan berjuang dengan harta dan tidak pernah lepas dari dzikrullah tentunya berbeda kondisinya dan statusnya lebih baik lagi, sebab dia mengumpulkan dua amalan sekaligus, yakni berjihad dan berdzikir

Definisi Dzikir

Dalam kamus Al-Munawwir kata dzikir yang merupakan mashdar dari kata dzakara yadzkuru memiliki beberapa arti: mengucapkan, menyebut, mengagungkan, dan menyucikan. Jika dikatakan seseorang dzikrullah berarti secara bahasa ia mengucapkan nama Alloh, menyebut-Nya, mengagungkan-Nya, dan menyucikan-Nya.

Saat menafsirkan firman Alloh, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan menjadi damai hati mereka karena dzikrullah,” (QS. Ar-Ra'ad: 28). Imam asy-Syaukaniy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dzikir dalam ayat tsb adalah tilawah alqur'an, membaca tasbih, takbir, tahmid, takbir, dan tauhid atau tahlil. Termasuk dzikir juga adalah mendengarkan bacaan itu dari orang lain.

Adapun Sa'id bin Jubair yang seorang tabi'in dan beberapa orang ulama lain menyatakan bahwa dzikir itu bukan hanya bacaan tahmid, tahlil, takbir, dan tasbih. Lebih dari itu, segala bentuk keta'atan kepada Alloh adalah bentuk dzikir kepada-Nya. Karena itulah dinyatakan bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdzikir kepada Alloh dalam segala keadaan beliau. Sebab beliau tidak pernah kosong dari pelbagai bentuk ketaatan kepada Alloh. Adalah Rasulullah SAW, begitu menyelesaikan suatu bentuk ketaatan beliau berpindah untuk melaksanakan bentuk ketaatan yang lain. Dan selama jeda perpindahan itu pun beliau sama sekali tidak melalaikan Alloh.

Sa'id bin Jubair memaknai dzikir dengan makna umum, karena saat seseorang beribadah kepada Alloh dengan benar, pastilah pada saat itu juga ia mengingat Alloh SWT.

Hati yang Hadir

Penulis kitab Al-Adzkar Imam an-Nawawiy (wafat tahun 676 H), mengajarkan bahwa jika harus memilih antara berdikir dengan hati atau berdzikir dengan lisan; maka yang pertamalah yang harus menjadi pilihan kita. Walau yang terbak tentu jika kita bisa berdzikir dengan hati dan lisan sekaligus. 

Dzikir yang diajarkan Nabi ada dua: dzikir ibtida'iy dan dzikir sababiy. Yang pertama adalah dzikir yang tidak terikat dengan aturan waktu, jumlah, dan sebagainya. Yang penting adalah konsentrasi kita pada apa yang kita baca, misalnya adalah dzikir yang kita baca selama perjalanan kita ke masjid.

Sedangkan dzikir sababiy adalah dzikir yang terikat dengan aturan waktu, jumlah, dan sebagainya. Misalnya adalah dzikir seusai shalat, dzikir hendak tidur, dan lain-lain.

Adakah hubungannya Dzikir dengan Jihad?

Dzikir dan jihad tidak bisa dipisahkan, jihad adalah puncaknya ibadah. Zikir tanpa jihad akan kalah begitupun sebaliknya jihad tanpa Zikir juga akan kalah. Dahulu ketika umat Islam yang jumlahnya minoritas menghantam mundur pasukan adidaya Romawi dan Persia. Ketika itu sifat istimewa tentara Islam yaitu malamnya seperti rahib dan siangnya seperti singa.

Malam menjalin hubungan 'mesra' memperkuat ruhiyah kepada Allah, di situlah lahir kekuatan fisik, dan siangnya jihad fisabillah, di situlah melahirkan kemenangan. Sejarah mencatat dua pertiga dunia pernah dikuasai Islam, ternyata tidak hanya dibayar dengan tetesan darah saja, tetapi dibayar dengan linangan air mata tahajud para mujahid.

Apa Kesimpulannya?

Dzikir tidak hanya dimaknai sebagai aktifitas wirid di dalam masjid atau rumah saja. Lebih dari itu, Dzikir merupakan segala aktifitas mendekatkan diri kepada Allah, saling mengingatkan kepada Allah, termasuk mencari ilmu hingga istiqomah dalam mengamalkan puncak ibadah yakni jihad fi sabilillah. Maka dari itu, orang yang gemar berdzikir harus juga mencintai dan bahkan bertekad untuk bisa terjun dan terlibat dalam amal jihad.

Marilah kita membiasakan diri dengan dzikir-dzikir yang ma'tsur yang diajarkan oleh Nabi SAW dan lebih sering kita camkan sabda beliau shalallahu 'alaihi wasallam, “perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhariy Muslim dari Abu Musa al-Asy'ariy) Wallahu 'alam bish showwab. [bas/jb].




Rabu, 08 Oktober 2014

Kesungguhan Menjauhi Dosa


Segala puji milik Alloh dan semoga sholawat dan salam tercurahkan kepada Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam, kepada karib kerabat beliau dan kepada siapa yang selalu menolongnya.

Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang sanggup memberi jaminan kepadaku untuk menjaga apa yang ada diantara dua bibirnya dan apa yang ada diantara kedua kakinya, niscaya aku jamin baginya surga.” (HR. Al-Bukhori dan At-Tirmidzi)

Satu jaminan dari seorang Nabi dan Rosul yang mana beliau adalah sosok manusia yang ucapannya bukan dari hawa nafsu, sebagai sebuah janji yang benar (yang pasti akan ditepati) diberikan kepada umatnya yang dapat menjaga dirinya di atas kesucian menjaga (lisan dan farajnya) dengan kompensasi yang demikian besar yaitu jaminan masuk surga.

Kalau ditanyakan kepada seorang ahli ilmu yang menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar dan mengajar dan kalau ditanyakan kepada seorang ahli ibadah yang berusaha keras dalam beribadah kepada Alloh dan kalau ditanyakan kepada seorang da'i yang siang-malam menegakkan dakwah, dan kalau ditanyakan kepada seorang mujahid yang begitu murahnya ia menghargai/menjual dirinya dalam berjuang dijalan Alloh. Mengapa mereka lakukan seperti itu? Tentu jawaban mereka semua adalah: “Yang kami inginkan tiada lain adalah surga”.

Itulah harapan semua orang yang beriman kepada Alloh dengan berbagai jalan yang ditempuh menuju ridho-Nya. Itulah buah yang dapat dipetik dari kesungguhan dan kehati-hatian dalam menjaga dirinya (al-iffah), agar tidak terjerumus ke dalam jerat-jerat syahwat dan hawa nafsu.

Senantiasa waspada dan berhati-hati karena manusia akan menghadapi godaan tipu daya syaithon yang terkutuk. Sungguh syaithon telah bertekad akan menyesatkan manusia dengan berbagai cara. Pada saat syaithon menggiring manusia ke dalam sebuah kemaksiatan meskipun kecil, cukuplah baginya sebagai langkah awal untuk menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan yang lebih besar.

Iblis berkata: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur." (TQS. Al-A'raaf: 16-17)

Bahkan ketika Rosululloh shallallahu 'alaihi wasallam telah berhasil membersihkan aqidah penduduk Mekkah sampai syaithon telah berputus asa untuk disembah dia berupaya menggoda manusia melalui hal-hal yang dianggap remeh.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma ia berkata: Sesungguhnya Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dihadapan manusia pada haji wada' beliau bersabda:

"Sesungguhnya syaithon telah putus asa untuk disembah di negerimu (Mekkah) akan tetapi ia rela kalau ditaati selainnya yaitu dari amalan-amalan yang dianggap remeh dari amal-amal kalian, maka berhati-hatilah! Wahai manusia, sesungguhnya telah aku tinggalkan untuk kalian sesuatu jika kalian berpegang teguh dengannya sekali-kali tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabulloh dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Dari hal-hal yang dianggap remeh, sepele, dan kecil inilah bibit pertahanan iman seseorang yang berujung di lembah kehinaan bergelimang dalam dosa-dosa besar. Tidak sedikit orang saling bunuh gara-gara keseleo lidah. Tidak jarang dari zina mata sampai kepada bubarnya rumah tangga.

Komentar Anas bin Malik radhiallahu 'anhu pada masa masih tersisa sebagian sahabat dan tabi'in:

"Sesungguhnya kalian telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian lebih lembut dari sehelai rambut, sementara kami di zaman Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam menggolongkannya termasuk perbuatan yang menghancurkan (agama).” (HR. Al-Bukhori)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mewanti-wanti kita tentang dosa-dosa kecil,

“Hindarilah olehmu dosa-dosa kecil yang diremehkan, karena sesungguhnya perumpamaan hal itu bagaikan sekelompok kaum yang singgah di sebuah lembah, yang ini membawa satu batang ranting dan yang lain membawa satu batang ranting, hingga merekapun mampu memanggang roti mereka. Dan sesungguhnya dosa-dosa yang diremehkan itu bila dilakukan oleh seseorang, maka hal itu akan membinasakannya” (HR. Ahmad)

Lebih dari itu mari kita perhatikan pesan Az-Zahid bin Sa'ad rahimahullah: 

Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan, tetapi lihatlah kepada Maha Besarnya Dzat yang kamu tentang / maksiati (yakni Alloh)”.

Yakinlah bahwa kalau kita dapat menjauhi dosa-dosa besar (kabair), Alloh akan mengampuni dosa-dosa kita dan Dia (Alloh) akan menempatkan kita pada tempat yang mulia.

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang kamu dilarang dari padanya, niscaya Kami ampuni dosa-dosa kalian dan Kami tempatkan kalian pada tempat yang mulia.” (QS. An-Nisaa': 31)

Semoga kita menjadi orang-orang yang dijaga Alloh dari tipu daya syaithon dan menjadi orang yang selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak terpuji (al-'iffah) dan mendapatkan maqom (kedudukan) yang mulia di sisi-Nya. Aamiin. (red/ansharusyariah.com)

Keutamaan Hari Jum'at



Saudaraku, kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, Hari Jum’at merupakan hari yang paling utama (afdhal) dari semua hari dalam sepekan. Dia adalah hari yang penuh barakah. Allah Ta’ala mengkhususkan hari Jum’at ini hanya bagi kaum Muslimin dari seluruh kaum dari ummat-ummat terdahulu. 

Berikut adalah beberapa hal yang sangat penting kita perhatikan  terkait  hari Jum’at:

1. Hari Jumat merupakan Hari Raya tiap pekan

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya saat ini adalah hari yang dijadikan oleh Allah sebagai hari raya untuk kalian. Karena itu, mandilah dan kalian harus menggosok gigi.” (H.R. Thabrani dalam Mu'jam Ash-Shaghir, dan dinilai sahih oleh Al-Albani)

2. Sebagian Malaikat duduk di depan pintu Masjid

Di hari Jumat, Allah mengutus beberapa malaikat untuk berjaga di pintu masjid, mencatat setiap orang yang datang jumatan sebelum khatib naik mimbar.

“Apabila hari Jumat datang, malaikat berjaga di pintu-pintu masjid. Mereka mencatat setiap orang yang datang sesuai tingkat kedatangannya. Apabila ada orang yang telat datang maka malaikat ini berdoa untuknya. Mereka memanjatkan doa, 'Ya Allah, jika dia sakit maka sembuhkanlah dia, dan jika dia punya kepentingan maka selesaikanlah kebutuhannya.' Mereka terus melakukan hal itu, sampai imam datang. Ketika imam datang, buku catatan ditutup kemudian distempel. Barang siapa yang datang setelah imam turun maka dia hanya mendapatkan shalat dan tidak mendapatkan jumatan.” [Sanad hadis ini hasan. Hanya saja, statusnya mauquf sampai Abu Umamah]

3. Memperbanyak Shalawat di hari Jumat

“Perbanyaklah membaca shalawat untukku setiap hari Jumat, karena shalawat umatku ditunjukkan kepadaku setiap hari Jumat. Siapa saja yang paling banyak shalawatnya untukku maka dia adalah orang yang paling dekat kedudukannya denganku.” (HR Al Baihaqi)

4. Kiamat terjadi di hari Jumat

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Hari terbaik saat matahari terbit adalah hari Jumat. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam dimasukkan ke surga; di hari itu pula, Adam dikeluarkan dari surga; dan kiamat tidak akan terjadi kecuali di hari Jumat.” (H.R. Muslim, Ahmad, dan Turmudzi)

5. Orang yang meninggal di hari Jumat akan dilindungi dari fitnah (ujian) alam kubur

Dari Abdullah bin Amr radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang muslim yang meninggal di hari Jumat atau malam Jumat, kecuali Allah akan lindungi dirinya dari fitnah (ujian) alam kubur.” (H.R. Ahmad; dinilai shahih oleh Ahmad Syakir serta Al-Albani)

6. Anjuran membaca surat Al-Kahfi pada malam atau siang hari Jumat

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu 'anhu; Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka'bah.” (H.R. Ad-Darimi; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

7. Mandi Jumat

Dari Abu Sa'id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat shalat Jumat. 

Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

8. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhutbah

“Sahl bin Mu'ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat shalat Jumat ketika imam sedang berkhutbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

9. Diharamkan Melakukan Jual Beli

Diharamkan melakukan transaksi jual beli pada hari Jum'at saat muadzin mengumandangkan adzan dan ketika Imam naik di atas mimbar, berdasarkan firman Allah Ta'ala: 

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Jumu'ah: 9)

Haramnya jual beli ini berlaku bagi orang yang wajib melaksanakan jum'atan. Maka jika dua orang anak kecil atau dua orang wanita atau dua orang musafir melakukan jual beli diperbolehkan, tidak berdosa. Namun, jika salah satunya orang yang wajib melaksanakan jum'atan keduanya berdosa karena saling tolong menolong dalam dosa.

10.  Di hari jumat terdapat satu waktu yang mustajab

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya, di hari Jumat, ada satu waktu; tidaklah seorang muslim yang shalat, dia memohon kebaikan kepada Allah, dan bertepatan dengan waktu tersebut, kecuali Allah pasti akan mengabulkannya.” (H.r. Ahmad; statusnya sahih)



Oleh karena itu, di waktu yang mulia seperti ini, Marilah kita mendoakan seluruh saudara muslim kita yang sedang tertimpa kesusahan agar diberi jalan keluar dan selalu ditetapkan dalam keimanan. Jangan lupa pula untuk mendoakan para mujahidin di Palestina, Somalia, Irak, Suriah, Afghanistan dan di berbagai belahan bumi lainnya, semoga mereka  diberi kesabaran dan kemenangan oleh Allah ta’ala. Bukankah do’a merupakan salah satu senjata orang mukmin?. (wid-jb)

Mengantisipasi Tanda-Tanda Akhir Zaman


Para pembaca yang dirahmati Allah, Ada tiga tanda fenomenal dari tanda-tanda Kiamat yang perlu diantisipasi dewasa ini oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Dua di antara ketiga tanda itu masuk dalam kategori tanda-tanda besar Kiamat. Satu lagi kadang dimasukkan ke dalam tanda besar, namun ada pula yang menyebutnya sebagai tanda penghubung antara tanda-tanda kecil Kiamat dengan tanda-tanda besar Kiamat.

Tanda penghubung yang dimaksud tersebut ialah diutusnya Al-Mahdi. Al-Mahdi merupakan tanda yang datang pada saat dunia sudah menyaksikan munculnya seluruh tanda-tanda kecil Kiamat yang mendahului tanda-tanda besar Kiamat. Allah tidak akan mengizinkan tanda-tanda besar Kiamat datang sebelum berbagai tanda kecil Kiamat telah tuntas kemunculannya.

Banyak orang barangkali belum menyadari bahwa kondisi dunia dewasa ini ialah dalam kondisi dimana hampir segenap tanda-tanda kecil Kiamat yang diprediksikan oleh Nabi Muhammad shollallahu 'alaih wa sallam telah bermunculan semua. Coba perhatikan beberapa contoh tanda-tanda kecil Kiamat berikut ini:
  • banyak terjadi kematian mendadak (tiba-tiba)
  • berbagai perjanjian dan transaksi dilanggar sepihak
  • berbagai jenis khamr diminum manusia
  • perzinaan dilakukan terang-terangan dan bahkan dilegalkan
  • ketika para pengkhianat dipercaya dan diberi jabatan kepemimpinan
  • orang yang amanah justru dianggap pengkhianat, penjahat dan bahkan teroris
  • ketika Pasar-pasar (Mall, Plaza, Supermarket) semakin berdekatan
  • Penumpahan darah dianggap ringan tanpa ada hukuman
  • Makan riba semakin merajalela
Kalau kita perhatikan, contoh-contoh di atas jelas sudah kita jumpai di zaman kita dewasa ini. Bahkan bila kita buka kitab para Ulama yang menghimpun hadits-hadits mengenai tanda-tanda kecil Kiamat, lalu kita baca satu per satu hadits-hadits tersebut hampir pasti setiap satu hadits selesai kita baca kita akan segera bergumam di dalam hati: “Wah, yang ini sudah..!” Hal ini akan selalu terjadi setiap habis kita baca satu hadits. Laa haula wa laa quwwata illa billah

Jika tanda-tanda kecil Kiamat sudah hampir muncul seluruhnya berarti kondisi dunia dewasa ini berada di ambang menyambut kedatangan tanda-tanda besar Kiamat. Dan bila asumsi ini benar, berarti dalam waktu dekat kita semua sudah harus bersiap-siap untuk menyambut datangnya tanda penghubung tersebut, yaitu diutusnya Al-Mahdi ke tengah ummat Islam. Hal ini menjadi selaras dengan isyarat yang diungkapkan Rasulullah shollallahu 'alaih wa sallam mengenai dua pra-kondisi menjelang diutusnya Al-Mahdi.

“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad)

Berarti kedatangan Al-Mahdi merupakan tanda Akhir Zaman yang jelas-jelas harus kita antisipasi dalam waktu dekat ini. Dan jika sudah terjadi berarti kitapun harus segera mempersiapkan diri untuk mematuhi perintah Rasulullah shollallahu 'alaih wa sallam yang berkaitan dengan kemunculan Al-Mahdi, segera berpartisipasi dan bergabung ke dalam barisannya untuk menaklukkan negeri-negeri yang dipimpin oleh para Mulkan Jabriyyan (Para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya).

Al-Mahdi akan mengibarkan panji-panji Al-Jihad Fi Sabilillah untuk memerdekakan negeri-negeri yang selama ini dikuasai oleh para Mulkan Jabriyyan. Beliau akan mengawali suatu proyek besar membebaskan dunia dari penghambaan manusia kepada sesama manusia dan materi kebendaan untuk hanya menghamba kepada Allah semata, Penguasa Tunggal dan Sejati langit dan bumi. Beliau akan memastikan bahwa dunia diisi dengan sistem dan peradaban yang mencerminkan kalimah thoyyibah Laa ilaha illa Allah Muhammadur Rasulullah dari ujung paling timur hingga ujung paling barat.

Perang-perang tersebut akan dimulai dari jazirah Arab kemudian Persia (Iran) kemudian Rum (Eropa dan Amerika) kemudian terakhir melawan pasukan Yahudi yang dipimpin langsung oleh puncak fitnah, yaitu Dajjal. Dan uniknya, pasukan Al-Mahdi Insya Allah akan diizinkan Allah untuk senantiasa meraih kemenangan dalam berbagai perang tersebut.

“Kalian akan perangi jazirah Arab dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan menghadapi Persia dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Rum dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya, kemudian kalian akan perangi Dajjal dan Allah akan beri kemenangan kalian atasnya.” (HR Muslim)

Lalu kapan Isa 'alihis-salaam akan turun dari langit diantar oleh dua malaikat di kanan dan kirinya? Menurut hadits-hadits yang ada Isa putra Maryam 'alihis-salaam akan datang sesudah pasukan Al-Mahdi selesai memerangi pasukan Rum menjelang menghadapi perang berikutnya melawan pasukan Dajjal. Pada saat itulah  Isa 'alihis-salaam akan Allah takdirkan turun ke muka bumi untuk digabungkan ke dalam pasukan Al-Mahdi dan membunuh Dajjal dengan izin Allah.

Begitu Al-Mahdi dan pasukannya mendengar kabar bahwa Dajjal telah hadir dan mulai merajalela menebar fitnah dan kekacauan di muka bumi, maka Al-Mahdi mengerahkan pasukannya ke kota Damaskus. Lalu  menjelang shalat Subuh di sebuah masjid yang berlokasi di sebelah timur kota Damaskus tiba-tiba turunlah Isa 'alihis-salaam diantar dua malaikat di menara putih masjid tersebut. Maka Al-Mahdi langsung mempersilahkan  Isa 'alihis-salaam untuk mengimami shalat Subuh, namun justru nabi Isa 'alihis-salaam menyuruh Al-Mahdi untuk menjadi imam shalat Subuh tersebut sedangkan Isa 'alihis-salaam makmum di belakangnya. Subhanallah. (Lihat HR Muslim 225)


Kaum Muslimin rahimahullah, marilah kita bersiap-siap mengantisipasi kedatangan tanda-tanda Akhir Zaman yang sangat fenomenal ini. Tanda-tanda yang akan merubah wajah dunia dari kondisi penuh kezaliman dewasa ini menuju keadilan di bawah naungan Syariat Allah dan kepemimpinan Al-Mahdi beserta  Isa 'alihis-salaam. “Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam barisan pasukan Al-Mahdi yang akan memperoleh satu dari dua kebaikan: 'Isy Kariman au mut syahidan (hidup mulia di bawah naungan Syariat Allah atau Mati Syahid). Amin ya Rabb.” [Erm/ekb-jbr] 


Selasa, 16 September 2014

Pemimpin dalam Islam



Kaum Muslimin yang dirahmati Allah, Kriminalisasi terhadap ISIS dan kontroversi yang menyertainya di Indonesia telah melebar kepada hal-hal yang menjadi topik Fiqh di dalam Islam. Seperti kriminalisasi jihad dan Khilafah. Sehingga membuat banyak orang yang menjadi alergi terhadap tema Jihad dan Khilafah. 

Malah adalagi beberapa kalangan yang berpendapat bahwa isu ISIS ini sengaja dibuat dalam rangka mengalihkan perhatian publik dari sengketa Pilpres yang hingga kini belum selesai. Oleh karena itu penting kiranya apabila kita mengkaji kembali makna tersebut sesuai pandangan Ahlu Sunnah wal Jamaah.

MAKNA KHILAFAH

Dari Hudzaifah bin Al Yaman RA, bahwa Rasulullah bersabda :

“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan 'Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa /diktator (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu'aib Al Arna'uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna'uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al 'Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al 'Arab, 2/17).

Khilafah menurut makna bahasa merupakan mashdar dari fi'il madhi khalafa, berarti : menggantikan atau menempati tempatnya (Munawwir, 1984:390).

Menurut Imam Ath-Thabari, makna bahasa inilah yang menjadi alasan mengapa as-sulthan al-a'zham (penguasa besar umat Islam) disebut sebagai khalifah, karena dia menggantikan penguasa sebelumnya, lalu menggantikan posisinya (Tafsir Ath-Thabari, I/199). Menurut Imam Al-Baidhawi (w. 685 H/1286 M), Khilafah adalah pengganti bagi Rasulullah SAW oleh seseorang dari beberapa orang dalam penegakan hukum-hukum syariah, pemeliharaan hak milik umat, yang wajib diikuti oleh seluruh umat (Hasyiyah Syarah Al-Thawali', hal.225). Dalam takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 17/517), Al-Muthi'i berkata, ”Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim.”

Pemahaman ini telah menjadi dasar pembahasan seluruh ulama fiqih siyasah ketika mereka berbicara tentang “Khilafah” atau “Imamah”. Dengan demikian, walaupun secara literal tak ada satu pun ayat Al-Qur`an yang menyebut kata “ad-dawlah al-islamiyah” (negara Islam), bukan berarti dalam Islam tidak ada konsep negara. Atau tidak mewajibkan adanya Negara Islam. 

Para ulama terdahulu telah membahas konsep negara Islam atau sistem pemerintahan Islam dengan istilah lain yang lebih spesifik, yaitu istilah Khilafah/Imamah atau istilah Darul Islam (Lihat Dr. Sulaiman Ath-Thamawi, As-Sulthat Ats-Tsalats, hal. 245; Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, IX/823).

DALIL TENTANG WAJIBNYA KHILAFAH ISLAMIYAH

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisa(4):59]

Ibnu Katsir berkata bahwa 'Konteks ayat ini, umum untuk seluruh ulul amri dari pemimpin - pemimpin dan ulama'. Wajhul-istidlal : Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan ketaatan kepada ulil amri (yang menegakkan syariat Islam), yakni para pemimpin. Adanya perintah untuk taat menunjukkan wajibnya mengangkat pemimpin, karena Allah tidak akan memerintahkan kepada seseorang yang tidak ada. Dan Allah tidak akan mewajibkan taat kepada seseorang yang bersifat mandub (sunnah). Maka perintah taat kepada ulil Amri menuntut perintah untuk mengadakannya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Imam muslimin adalah suatu kewajiban.

Saudaraku Kaum Muslimin, 
Oleh karena itu, seharusnya kita tidak perlu alergi terhadap pembahasan khilafah, syariah dan jihad. Karena itu semua merupakan topik yang telah disetujui oleh para imam ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah. Semoga bermanfaat. (wid-jbr)

Selasa, 26 Agustus 2014

Meraih Kesuksesan Sejati


Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah sukses.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Ali Imron: 185)                                                     
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah, dalam ayat ini Allah ta’ala menerangkan kepada kita bahwa kesuksesan yang sebenarnya adalah ketika seseorang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Sedangkan kesuksesan di dunia itu hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Tidakkah kita ridha dengan karunia Allah ini? Tidakkah kita senang dengan janji Allah ini ? Bukankah ini yang selalu kita usahakan selama ini? Bukankah kita selalu berusaha agar Allah menyelamatkan kita dari neraka dan memasukkan kita ke dalam surga? Apalagi yang akan kita cari di dunia ini selain kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal ?

Dengan ayat ini Allah ta’ala mengajari kita agar dalam menilai sesuatu hendaknya menilai dari sisi akhirat, bukan menilai semata-mata dengan ukuran sukses dunia. Karena itu, marilah kita mulai mengalihkan pandangan dan pikiran kita lebih jauh ke depan.

Ukuran kesuksesan yang sesungguhnya adalah bagaimana seseorang bisa menjalani kehidupannya dengan penuh makna. Dia bisa menjalani kehidupannya di dunia dengan kehidupan yang penuh manfaat untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia bisa menjalani kehidupannya dengan penuh kesadaran akan tujuan dia diciptakan dan dihidupkan di dunia ini. Dan tujuan penciptaannya tidak lain dan tidak bukan adalah hanya untuk beribadah kepada Penciptanya, tidak ada selain itu.

Kita tarik pandangan kita jauh ke negeri akhirat, walaupun tidak banyak yang kita ketahui tentang negeri itu selain yang telah Allah dan Rasul-Nya kabarkan kepada kita. Bayangkanlah kita sedang berada di negeri itu, kita digiring ke padang mahsyar, kita berdiri dihadapan Allah sendiri-sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kita, kita berjalan di atas shirat, kita berada di hadapan surga dan neraka, dst. Ya Allah, selamatkanlah kami dari neraka dan masukkanlah kami ke dalam surga.

Kaum Muslimin yang dimuliakan Allah, Kemanakah kita akan berakhir abadi, ke surga ataukah ke neraka? Sungguh ini tergantung apa yang telah kita persiapkan untuk itu. Barangsiapa menginginkan surga maka hendaklah dia menempuh jalan menuju surga. Jika tidak maka dia akan meluncur jatuh ke neraka. Na’udzubillahi min dzalik. Dan ketahuilah bahwa diantara jalan menuju surga itu adalah ibadah puasa.

Ketahuilah bahwa di surga ada satu pintu namanya ‘baabur rayyaan’ yang tidak dimasuki kecuali oleh orang-orang yang berpuasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya di surga ada satu pintu yang disebut ‘baabur rayyaan’. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa masuk surga lewat pintu itu. Tidak ada seorang pun yang masuk surga lewat pintu itu kecuali mereka. Dipanggil: “Dimanakah orang-orang yang berpuasa?” Maka mereka berdiri. Tidak ada seorang pun yang masuk surga lewat pintu itu kecuali mereka. Jika mereka telah masuk surga maka pintu itu ditutup sehingga tidak ada seorang pun yang masuk surga lewat pintu itu. (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke dalam surga.” Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Hendaklah engkau melaksanakan puasa karena tidak ada yang semisal dengannya.” (HR. Nasaai)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Allah Ta’ala berfirman, ‘Semua amalan manusia  adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’…” (HR Bukhari dan Muslim)

Setelah membawakan hadits di atas, Imam Al Qurtubi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Allah mengkhususkan balasan puasa (yaitu dengan tidak menyebutkan bentuk balasannya-pent) daripada ibadah yang lain karena dua hal yaitu pertama, puasa mencegah keinginan syahwat tidak sebagaimana ibadah yang lain. Kedua, karena puasa adalah amalan yang bersifat rahasia antara hamba dan Allah, maka peluang untuk berbuat riyanya sangat kecil. Berbeda dengan amalan yang nampak, maka peluang untuk berbuat riya lebih besar. (Al Jami’ Li Akamil Qur’an)

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah diantara kalian yang berpuasa hari ini?”“Saya,” jawab Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah diantara kalian yang mengikuti jenazah hari ini?” “Saya,” jawab Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah diantara kalian yang memberi makan orang miskin hari ini?” “Saya,” jawab Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapakah diantara kalian yang menjenguk orang sakit hari ini?”“Saya,” jawab Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah empat perkara itu terkumpul pada diri seseorang kecuali pasti dia masuk surga.”
Kaum muslimin rahimahullah marilah kita bersungguh-sungguh meraih kesuksesan sejati tersebut dengan senantiasa istiqomah dalam ketaqwaan. “Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam surga dan lindungilah kami dari siksa neraka. Aamiin yaa mujiibas saailiin.” Wallohu ‘alam bish showwab. [bamb-prob]

Kamis, 03 Juli 2014

Pemimpin yang kita butuhkan

Pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, Bulan Ramadhan adalah momentum tepat untuk memaksimalkan kualitas taqwa kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta melindungi diri dari murka dan siksa-Nya. Sebagaimana firman-Nya :

Apa yang Rasul berikan kepada kalian, maka terimalah! Dan apa yang dia larang bagi kalian, maka tinggalkanlah! Dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS Al-Hasyr: 7)

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap umat itu membutuhkan pemimpin yang bisa membina dan memotivasi umat untuk bertaqwa kepada Allah. Bagi umat Islam, pemimpin menjadi harapan ditegakkannya hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan pemimpin di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :“ Ketahuilah masing-masing kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. (HR. Bukhari)

Dalil ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa umat wajib memiliki pemimpin sehingga hak-hak mereka terlindungi, kehormatan mereka terjaga, dan keamanan mereka dalam melaksanakan syari’at Allah terjamin, karena dengan adanya pemimpin ini musuh tidak berani untuk mengganggu dan mengacaukan penerapan syari’at Allah azza wa jalla. Oleh sebab itu Islam selalu membimbing pemeluknya agar hidup bersama pemimpin, sebagaimana: imam shalat, imam safar, amil zakat, pemimpin haji, pemimpin rumah tangga, dan termasuk pemimpin perang dan negara.

Ada Persayaratannya

Sebagai agama yang sempurna, Islam juga menetapkan siapa saja yang layak untuk memimpin umat Islam untuk menegakkan syari’at Allah, diantaranya:

1. Muslim

Pemimpin umat Islam haruslah seorang muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. (QS. An-Nur: 55).

Dan umat Islam haram dipimpin oleh orang-orang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (QS. Ali-Imron: 28).

2. Berilmu
Seorang pemimpin harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum Islam dan juga ilmu politik dalam mengatur urusan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih Thalut untuk memimpin kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. (QS. Al-Baqarah: 247).

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu dan kekuatan badan”. Imam Syaukani rahimahullah berkata: “Apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin ketika mendapati problematika rakyat apabila dia seorang yang jahil [bodoh]? Minimal dia akan diam dan bertanya kepada orang alim padahal dia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tidak demikian, Allah memerintahkan pada seorang pemimpin, tetapi hendaknya dia memutuskan masalah dengan kebenaran dan keadilan. . .”. (Nailul Authar 8/618).

3. Laki-laki

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (QS. An-Nisa’:34).

Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu berkata, “Tatkala ada berita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia menyerahkan kepemimpinan kepada putri Kaisar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan beruntung suatu kaum, bila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari)

Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin, karena seorang pemimpin dia perlu keluar menegakkan perintah jihad serta urusan kaum muslimin dan menyelesaikan pertikaian manusia. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh menampakkan diri. Dia juga lemah untuk mengurus segala kepentingan. Dengan demikian, maka tidak layak mengemban kepemimpinan kecuali kaum laki-laki”. (Syarh Sunnah 10/77)

4. Sehat Fisik

Imam Al-Baghawi rahimahullah juga mengatakan, “Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh buta matanya sebab dia tidak dapat membedakan orang yang bersengketa. Adapun riwayat Nabi mengangkat Ibnu Ummi Maktum di Madinah dua kali, itu hanyalah kepemimpinan shalat, bukan masalah memutuskan dan menghakimi”.

Siap Bertanggung Jawab

Ketika seorang muslim yang memenuhi syarat menjadi pemimpin telah ditetapkan, maka sejak itu beberapa beban kewajiban sebagai seorang pemimpin bagi umat telah dipikulkan di pundaknya, antara lain :

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi kewajiban paling utama bagi seluruh umat Islam, apalagi sebagai seorang pemimpin. Bagaimana dia bisa memimpin umat untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya jika dia sendiri tidak. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan tujuan ditegakkannya kepemimpinan dalam Islam.

2. Membimbing dan mengarahkan umat untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan bahwa mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik merupakan tujuan utama Allah mengutus Rasul-Rasul-Nya yang menjadi teladan sebagai pemimpin bagi umatnya masing-masing. Firman-nya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Beribadahlah kalian kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”. (QS An-Nahl: 36).

3. Berbuat adil

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).

4. Melaksanakan Syari’at Allah

Sebagai pemimpin yang mengurus kepentingan umat Islam maka tentu tugas untuk melaksanakan syari’at Allah menjadi tugas pokok dan mulia bagi seorang pemimpin

Maka patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci. (QS. Al-An’am: 114).

Kesimpulannya

Sebagai seorang muslim, memilih pemimpin yang kita butuhkan bukan melulu atas dasar keduniaan semata, seperti perkembangan ekonomi, koalisi partai, dan kekuasaan semata. Tapi lebih kepada menjaga dua hal penting, yakni menjaga keselamatan warganya di dunia dan di akhirat, dan menjaga penghambaan seorang warga hanya kepada Rabb-Nya, Allah Ta’ala. Pemimpin yang kita butuhkan harus memiliki visi misi yang jelas tentang keselamatan warga yang akan dipimpinnya di dunia dan di akhirat. Bukan  ditentukan dengan kriteria yang sedikit mudhorotnya, berani menyejajarkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya yang diliputi syubhat dan kebatilan, atau bahkan yang alergi untuk memberlakukan undang-undang yang sejalan dengan Syariat Islam. Na’udzu billahi min dzalik

Jadi wajar dan pantas manakala standar pemimpin yang kita butuhkan harus dilihat dari  kacamata Islam dan urusan kaum muslimin, yakni keselamatan mereka di dunia dan di akhirat. Dan figur pemimpin yang kita butuhkan sesuai kriteria yang disebutkan bukan hal mustahil diperoleh dan tidak perlu ditentukan dengan prosedur rumit yang menghambur-hamburkan dana berlimpah. Wallohu ‘alam bish showwab. [a.halim-jbr]

Memuliakan Ramadhan dengan Al-Qur'an


Kaum Muslimin yang dirahmati Allah, bulan Ramadhan yang berlimpah kemuliaan dan keberkahan sudah hampir tiba. Marilah kita muliakan kedatangannya dengan memperbagus ibadah dan mencampakkan segala kemaksiatan yang mencemarinya. Ramadhan merupakan training langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membentuk kita sebagai insan bertaqwa, yang dengan taqwa inilah manusia akan menempati kedudukan mulia di sisi-Nya. Di dalamnya Allah menurunkan kitab-Nya yang menjadi petunjuk dan memandu kita dalam segala aspek kehidupan; baik pribadi, keluarga, bermasyarakat dan termasuk bernegara. Sebagaimana firman-Nya,

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya –mulai- diturunkannya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil.” (terj. QS Al-Baqarah: 185)

Ibnu Katsir –rahmatullah ‘alaih-, berkata mengenai ayat ini dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim (I/460-461), “Allah menyanjung bulan puasa dibanding bulan-bulan lain dengan dipilihnya sebagai waktu diturunkannya Al-Quran Al-‘Azhim. Karena hal ini pula Dia mengistimewakannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kitab-kitab suci diturunkan kepada para nabi –‘alaihimussalam- di bulan ini. Telah diriwayatkan pula hadits dari Jabir bin ‘Abdullah –radhiyallahu ‘anhu-. Di dalamnya disebutkan, “Bahwasannya Zabur diturunkan pada dua belas Ramadhan dan Injil pada sepuluh Ramadhan.”

Adapun Shuhuf, Taurat, Zabur, dan Injil, maka diturunkan secara spontan kepada nabi yang menerima. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara spontan di Baitul ‘Izzah yang berada di langit bumi. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan di lailatul qadar.

Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang paling agung dan akan terus nampak hingga akhir zaman. Keberkahannya terus mengalir dan tak akan pernah terputus. Sebuah kitab suci yang akan selalu membimbing seorang muslim menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang yang menjadikannya imam, akan selamat dengan izin Allah, namun siapa yang tak menghiraukannya, maka cepat atau lambat kebinasaan akan menghampirinya.

Keberkahan yang menyertainya

Keberkahan Al-Quran nampak jelas dengan adanya riwayat-riwayat yang mengabarkan akan keutamaan dan keistimewaannya. Ia merupakan pedoman hidup seorang muslim, obat dari segala penyakit badan dan hati, dan banyak keistimewaan lainnya. Allah berfirman:

“Dan Kami turunkan Al-Quran (Sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang zhalim hanya akan menambah kerugian.” (QS Al-Isra’ : 82)

Diriwayatkan pula dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Siapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkannya, pada hari kiamat orang tuanya akan dikenakan mahkota yang cahanya lebih bagus daripada cahaya matahari yang masuk ke rumah-rumah di dunia. Lantas bagaimana menurut kalian dengan orang yang mengamalkannya?” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Sanadnya shahih)

‘Abdullah bin ‘Amr –radhiyallahu ‘anhuma- meriwayatkan, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Puasa dan Al-Quran akan datang pada hari kiamat untuk mensyafaati hamba. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya dari makanan dan minuman di siang hari, oleh karena itu izinkanlah aku memberinya syafaat.’ Al-Quran berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya tidur malam, oleh sebab itu berilah aku izin untuk memberinya syafaat.’ Maka keduanya pun memberi syafaat.” (HR Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim)

Perhatian yang Luar Biasa

Orang-orang shalih terdahulu memiliki perhatian luar biasa kepada bulan Ramadhan ini. Perhatian mereka ditunjukkan jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba. Disebutkan bahwa para shahabat –radhiyallahu ‘anhum ajma’in- selama enam bulan pertama memanjatkan doa kepada Allah agar mereka disampaikan di bulan Ramadhan, kemudian di enam bulan setelahnya mereka berdoa agar mereka dipertemukan dengan bulan mulia ini. Hal semacam ini tentu merupakan bukti kuat akan antusias kuat mereka dalam menggapai pahala besar padahal secara umum mereka telah dijamin masuk surga.

Jika mereka yang jelas-jelas manusia yang dijamin surga saja begitu hebatnya dalam berlomba-lomba dalam kebaikan, tentu kita sebagai manusia akhir jaman yang tidak ada yang menjamin surga, tentu lebih berhak untuk banyak melakukan ibadah dengan lebih serius dan lebih bagus lagi.

Terkhusus aktifitas membaca Al-Quran, mereka memiliki perhatian yang sangat. Dalam Lathaif Al-Ma’arif, Ibnu Rajab –rahmatullah ‘alaih- menjelaskan, “Kebiasaan orang-orang terdahulu di bulan Ramadhan ialah membaca Al-Quran dalam shalat dan selainnya.”

Jibril –‘alaihissalam- selalu mendatangi baginda Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di setiap Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Pengkhususan Jibril bulan Ramadhan tentu menjadi sinyal kuat bahwa Ramadhan benar-benar waktu istimewa sehingga ia pantas menjadi waktu tadarus Al-Quran.

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau menceritakan, “Adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan sosok yang paling dermawan. Terlebih lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpainya untuk mengajarinya Al-Quran. Jibril menemui beliau di setiap malam Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Maka ketika Jibril menjumpainya, beliau adalah orang yang paling dermawan, lebih dari angin yang bertiup.”

Lihatlah Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu- bagaimana beliau bersama Al-Quran di bulan Ramadhan. Dikhabarkan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya. Beliau membaca Al-Quran di setiap rakaat shalat yang beliau kerjakan.

Begitu juga sahabat Ubai bin Ka’b –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran di setiap delapan harinya. Sementara sahabat Tamim Ad-Dari mampu mengkhatamkannya dalam setiap pekannya. Salah satu Imam madzhab kita, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i –rahmatullah ‘alaih-, di bulan berkah ini mampu mengkhatamkan Al-Quran sebanyak enam puluh kali selain Al-Quran yang beliau baca di waktu shalat. (Lathaif Al-Ma’arif : 191)

Penutup

Perlu disadari, begitu besarnya keutamaan-keutamaan yang ada di Bulan Ramadhan itu hanya akan didapat bagi setiap muslim yang serius mencarinya. Seorang yang hanya berleha-leha dan mengikuti rutinitas biasa, dia akan mendapat sesuai apa yang diupayakannya. Balasan yang akan diperoleh seseorang itu sebanding dengan apa yang ia lakukan atau usahakan. Semoga Allah Jalla wa ‘Ala memberikan kita kekuatan untuk bisa lebih memanfaatkan bulan Ramadhan kali ini. Wallohu ‘alam bish showwab. [duat-jember]