Kamis, 08 Mei 2014

Memang, Demokrasi Adalah Agama



“Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan.
Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI
dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”


Saudaraku kaum muslimin, Semoga Allah melimpahkan kepada kita hidayah untuk senantiasa teguh dalam menjalankan Al-haq dan menjauhi Al-Bathil. Shalawat dan salam mari kita panjatkan kepada Nabi Muhammad yang telah menjadi teladan dalam menegakkan kebenaran; keluarga, para shahabat serta segenap kaum muslimin yang istiqomah meneladani perjuangan beliau. 

Penting diketahui bahwa Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
§  Sumber hukum bukan Allah, akan tetapi rakyat
§  Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan manusia
§  Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
§  Kebenaran adalah suara terbanyak
§  Tuhannya banyak dan beraneka ragam

Sebagian manusia masih merasa aneh bahkan ada yang marah saat demokrasi (yang merupakan hukum para penguasa) disebut sebagai Dien, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (Dien Al Malik)…” (TQS. Yusuf [12]: 76)

Undang-undang telah Allah namakan sebagai dien yang berarti agama atau jalan hidup yang ditempuh, sedangkan demokrasi itu memiliki undang-undang selain Islam.

Jadi, dien (agama) kafir itu ternyata bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja, akan tetapi Demokrasi adalah juga dien, bahkan termasuk Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme juga adalah dien, serta Sekulerisme adalah dien. Akan tetapi, Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.

1.   Sumber Hukum bukan Allah akan tetapi Rakyat.

Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya: 
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (TQS. Al An’am [6]: 57)

2.  Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan manusia

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sumber hukum dalam Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau yang disetujui oleh mereka. Dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua ragam pemeluk dien dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.

Sungguh ini adalah kerusakan yang besar dan kekafiran yang nyata bagi yang memperjuangkan demokrasi ini. Naudzu billahi min dzalik

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: 
Barang siapa yang meninggalkan syari’at yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).

Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang Yasiq/Ilyasa: 
“Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu  bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.

3.  Memberikan Kebebasan Berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat

Demokrasi adalah dien yang melindungi, mengakui serta menjamin kebebasan semua agama. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.

Maka dari itu, ternyata dien Demokrasi telah menghalalkan pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah SAW  bersabda: 
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”. (HR Bukhori, shahih)

Apabila seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman menurut ajaran demokrasi (padahal dalam Islam hal ini adalah pembunuhan yang diperkenankan). Hal yang serupa adalah ketika dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda untuk mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah ajaran kafir lagi syirik, yang dapat membawa kemurtadan bagi yang mengusungnya bahkan ajaran yang dapat membatalkan keislaman, walaupun mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya. Wallohu ‘alam bish showwab. (wid-jbr)