“Demokrasi diambil dari bahasa
Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti hukum atau kekuasaan.
Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan
rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI
dengan
“Kedaulatan berada di tangan rakyat”
Saudaraku
kaum muslimin, Semoga Allah melimpahkan kepada kita hidayah untuk senantiasa
teguh dalam menjalankan Al-haq dan menjauhi Al-Bathil. Shalawat dan salam mari
kita panjatkan kepada Nabi Muhammad yang telah menjadi teladan dalam menegakkan
kebenaran; keluarga, para shahabat serta segenap kaum muslimin yang istiqomah
meneladani perjuangan beliau.
Penting diketahui bahwa Demokrasi memiliki
beberapa ajaran, di antaranya:
§ Sumber hukum bukan
Allah, akan tetapi rakyat
§ Hukum yang dipakai
bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan manusia
§ Memberikan kebebasan
berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
§ Kebenaran adalah
suara terbanyak
§ Tuhannya banyak dan
beraneka ragam
Sebagian
manusia masih merasa aneh bahkan ada yang marah saat demokrasi (yang merupakan
hukum para penguasa) disebut sebagai Dien, sebagaimana Allah Subhanahu
Wa Ta’ala mengatakan:
“Tidaklah
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (Dien Al
Malik)…” (TQS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang
telah Allah namakan sebagai dien yang berarti agama atau jalan hidup yang ditempuh,
sedangkan demokrasi itu memiliki undang-undang selain Islam.
Jadi,
dien (agama) kafir itu ternyata bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha,
Konghucu, Shinto, dan Majusi saja, akan tetapi Demokrasi adalah juga dien, bahkan
termasuk Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme juga adalah dien, serta Sekulerisme
adalah dien. Akan tetapi, Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi
adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam
atau yang mengaku bukan Islam.
1.
Sumber Hukum bukan Allah akan tetapi Rakyat.
Dikarenakan
rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah
rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Padahal
sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“…menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah…” (TQS. Al An’am [6]: 57)
2. Hukum
yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan manusia
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa sumber hukum dalam Demokrasi adalah rakyat, maka sudah
pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya)
atau yang disetujui oleh mereka. Dikarenakan dien Demokrasi ini adalah
menyatukan semua ragam pemeluk dien dan mengakuinya serta menampung semua
aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat
semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Islam tidak
akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan
mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.
Sungguh
ini adalah kerusakan yang besar dan kekafiran yang nyata bagi yang
memperjuangkan demokrasi ini. Naudzu billahi min dzalik
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata:
“Barang
siapa yang meninggalkan syari’at yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah
penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa
hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa
gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih
mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir
dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ibnu
Katsir rahimahullah juga
berkata tentang Yasiq/Ilyasa:
“Ia
adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari
berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang
lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar
pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi
aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al
hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam.
Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah
dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit
atau banyak”.
3. Memberikan Kebebasan Berkeyakinan dan
mengeluarkan fikiran dan pendapat
Demokrasi
adalah dien yang melindungi, mengakui serta menjamin kebebasan semua agama.
Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan
mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama
lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi
terhadapnya.
Maka
dari itu, ternyata dien Demokrasi telah menghalalkan pintu kemurtadan
serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal
Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mengganti agamanya,
maka bunuhlah”. (HR Bukhori, shahih)
Apabila
seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu membunuh orang
murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman menurut ajaran demokrasi (padahal
dalam Islam hal ini adalah pembunuhan yang diperkenankan). Hal yang serupa
adalah ketika dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran
dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.