Senin, 26 Mei 2014

Ketika Penguasa Nasrani Tersentuh Dakwah Rasulullah

Setelah hasil Perjanjian Hudaibiyyah tentang masa 10 tahun untuk tidak saling berperang antara Pihak Muslim dengan Pihak Kafir Quraisy bersama koalisinya, Rasulullah Saw memanfaatkan kesempatan itu untuk mengirimkan para sahabat untuk berdakwah kepada pembesar di berbagai negeri, yang sebagian besar dari mereka adalah penganut Nasrani. Menurut Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi, dalam Hidayatu Al-Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, umat Nasrani pada masa itu tersebar di sebagian belahan dunia. Di Syam, hampir semua penduduknya adalah Nasrani. Adapun di Maghrib, Mesir, Habasyah, Naubah, Jazirah, Maushil, Najran, dan lain-lain, meski tidak semuanya, namun mayoritas penduduknya adalah Nasrani.

Terhadap mereka, Rasulullah SAW senantiasa mendakwahkan tauhid. Sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Raja Najasyi, seorang Raja Nasrani yang tinggal di Ethiopia, negeri yang kala itu bernama Habasyah di benua afrika. Rasulullah SAW pun mengirimi surat kepadanya untuk bertauhid kepada Allah SWT. Berikut adalah pesan surat tersebut:

"Dari Muhammad utusan Islam untuk An-Najasyi, penguasa Abissinia (Ethiopia). Salam bagimu, sesungguhnya aku bersyukur kepada Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, dan aku bersaksi bahwa Isa putra Maryam adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam yang terpilih, baik dan terpelihara. Maka ia hamil kemudian diciptakan Isa dengan tiupan ruh dari-Nya sebagaimana diciptakan Adam dari tanah dengan tangan Nya. Sesungguhnya aku mengajakmu ke jalan Allah. Dan aku telah sampaikan dan menasihatimu maka terimalah nasihatku. Dan salam bagi yang mengikuti petunjuk."

Ketika Rasulullah saw menulis surat kepada Raja An-Najasyi untuk menjadi seorang muslim, maka Raja Najasyi mengambil surat itu, beliau lalu meletakkan ke wajahnya dan turun dari singgasana. Raja Najasyi  lalu mengirimkan surat kepada Rasulullah saw dan menyebutkan tentang keislamannya. Beliaupun masuk Islam melalui Ja’far bin Abi Tholib ra.

Raja An-Najasyi akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyyah yang berarti kala itu dakwah Islam berada pada periode Makkah. Rasulullah Saw memberitakan wafatnya kepada para sahabat, lalu melakukan shalat ghaib untuknya, serta mengabarkan bahwa Raja An-Najasyi kelak akan masuk surga.  

Ada Syubhat terkait Raja An-Najasyi

Begitu mulianya kedudukan Raja An-Najasyi sehingga Nabi saw menamakannya sebagai hamba yang shalih dan juga memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya. Namun, ada syubhat yang ‘mengganjal’ yang menyebutkan bahwa Raja An-Najasyi tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan setelah dia masuk Islam hingga meningal dunia. Benarkah demikian?
Marilah kita bahas agar tidak menjadi dalil pembenaran tentang bolehnya berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

1. Najasyi itu telah meninggal dunia sebelum sempurnanya Syariat Islam, jadi beliau secara pasti meninggal sebelum turunnya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

 “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridlai Islam itu sebagai agamamu,” (TQS. Al-Maidah:3)

Sebab ayat ini diturunkan pada Hajji Wadaa’, sedangkan Raja An-Najasyi meninggal dunia jauh sebelum penaklukan kota Mekkah sebagaimana yang disebutkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah Wan Nihayah 3/277.

Sarana-sarana perhubungan dan informasi saat itu tidak seperti zaman sekarang, di mana saat itu sebagian hukum syari’at tidak bisa sampai kepada seseorang, kecuali bila memaksakan diri datang kepada Nabi saw. Ini dibuktikan dengan kuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan yang lainnya dari Abdullah Ibnu Mas’ud bahwa beliau berkata:

“Kami dahulu mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam shalat maka beliau terus menjawabnya dan tatkala kami pulang dari negeri Najasyi kami mengucapkan salam kepada beliau, namun ternyata beliau tidak menjawab salam kami, dan justru setelah itu beliau berkata: “Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat kesibukan”.

Lantas, masihkah dianggap pantas bila ada seseorang muslim zaman kini yang beranggapan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah, dengan mengqiyaskan keadaan Najasyi yang belum turun sempurnanya syariat? naudzubillahi mindalik

2. Sesungguhnya Raja An-Najasyi telah menghukumi dengan apa yang Allah turunkan (sesuai dengan) apa yang (telah) sampai kepadanya. Barangsiapa yang mengklaim selain ini, wajib baginya menunjukkan bukti yang terang, sebgaimana firman-Nya:

“Katakanlah: Tunjukilah bukti kebenaran kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar” (TQS Al-Baqarah:111)

Beberapa bukti kuat yang menunjukkan bahwa Raja An-Najasyi menghukumi dengan apa yang sampai kepadanya dari apa yang Allah turunkan saat itu antara lain:

a.   Setelah mengikrarkan syahadatain, Raja Annajasyi melanjutkan untuk menunaikan kewajibannya untuk merealisasikan tauhid dengan meninggalkan agama nenek moyangnya, iman kepada kenabian Muhammad saw dan iman bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah (Sirah Ibnu Hisyam ilid 1: Halaman 301-302).

b.   Membuktikan bai’atnya terhadap Nabi saw dengan mengirim anaknya Arihaa Ibnu Ashhum Ibnu Abjur, sembari menunjukkan ta’dzimnya dengan menitipkan pesan dalam suratnya: “Bila engkau berkehendak saya datang kepadamu, tentu saya melakukannya wahai Rasulullah, karena sesungguhnya saya bersaksi bahwa apa yang engkau katakan adalah benar”.  Bahkan Raja An-Najasyi juga mengirimkan 60 laki-laki dari penduduk Habasyah kepada Nabi aw. Adapun surat itu disebutkan oleh Umar Sulaiman Al Asyqar dalam buku kecilnya (kutaib) yang berjudul Hukmul musyarakah fil wizarah wal majaalis anniyabiyyah. [Halaman 71 dalam kutaibnya itu, sedang risalah Najasyi ada dalam Zadul Ma’aad 3/60]

c. Sebagai komitmen syahadatain-nya, Raja An-Najasyi menolong kaum muhajiriin yang datang dengan  memberi mereka tempat serta jaminan keamanan dan perlindungan, tidak mengecewakan mereka dan tidak menyerahkan mereka kepada orang-orang Quraisy, bahkan, dia juga tidak membiarkan orang-orang Nashrani Habasyah mengganggu mereka, padahal para Muhajirin itu telah menampakkan keyakinan mereka yang benar tentang Isa ‘alaihissalam.

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah, Inilah kemuliaan Raja An-Najasyi, seorang yang telah tersentuh oleh dakwah tauhid serta diberi hidayah untuk mengenal dan mengamalkannya hingga akhir hayatnya. [dawlam-jbr]

PENUTUPAN DOLLY ADALAH SOLUSI

Rencana penutupan Lokalisasi pelacuran Dolly oleh Pemerintah Kota Surabaya pada 19 Juni 2014 mendatang, ternyata telah menuai pro-kontra dari berbagai pihak. Pihak yang kontra berargumen bahwa penutupan dolly akan membuat masalah sosial baru karena justru akan memicu para PSK untuk tetap beroperasi tetapi secara liar. Hal ini juga akan menyulitkan pemerintah untuk mengontrol mereka dan sulit mengontrol akibat yang ditimbulkannya seperti menyebarnya penyakit menular seksual seperti sipilis, HIV-AIDS dll.

Sementara di sisi lain dari kalangan ormas islam dan juga MUI Jatim memberikan dukungannya atas rencana Pemkot Surabaya untuk menutup Lokalisasi Dolly tersebut. Dukungan tersebut disampaikan oleh ketua MUI Jatim KH Abdussomad Buchory, saat bertemu dengan 58 organisasi islam di kantor MUI pada tanggal 8 Mei 2014 yang lalu. Dukungan juga disampaikan langsung oleh ketua PWNU Jatim KH. Moh. Hasan Mutawakkil ‘Alallah saat menemui Walikota Surabaya di Balai kota pada 2 Desember 2013 lalu.

Kenapa Menutup Pelacuran?

Pelacuran merupakan salah satu bentuk zina tersistem dan menjadi penyakit masyarakat yang penanganannya tidak mudah karena ternyata didukung oleh oknum pejabat dan oknum aparat keamanan. 

Pelacuran adalah faktor pendukung tersebarnya zina di masyarakat, selain beberapa faktor pendukung lainnya seperti: majalah dan film porno, televisi dengan tayangan yang vulgar, sinetron umbar aurat, film layar lebar yang sering dengan bumbu aksi-aksi mesum, dan pertunjukan pornoaksi dalam bungkus hiburan musik, dan media-media lainnya.

Sebagai seorang muslim, kita harus mendukung upaya amar ma’ruf dan nahi munkar, untuk menutup lokalisasi dolly guna mencegah berkembangnya masalah perzinaan yang merembet ke masalah sosial lainnya. Tentunya, Penyelesaian terhadap masalah zina ini jika dikembalikan kepada manusia menimbulkan perdebatan (pro-kontra) yang tidak ada habisnya. Disinilah Islam datang sebagai aturan dari Allah SWT untuk menyelesaikan semua permasalahan hidup yang dihadapi manusia secara tuntas. Sebagaimana firman Allah di dalam QS. Al Maidah ayat 48 :

 “..maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu..”

Menurut Islam?

Islam telah melarang melakukan perbuatan zina, apalagi dilegalkan dalam kompleks pelacuran, yang jelas-jelas ini menantang hukum dan mengundang adzab Allah. Jangankan melakukannya, mendekati saja sudah tidak boleh. Tentunya perintah untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan keji yang dapat mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga kepada orang lain.

Banyak sekali dalil-dalil baik dari Al Quran maupun hadist yang melarang perbuatan zina ini. Bahkan sebagiannya disertai celaan yang hina bagi pelakunya dan hukuman yang mengerikan baik di dunia maupun di akhirat.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (TQS Al-Israa’: 32)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (TQS Al-Furqan: 68-69)

Bahkan dalam beberapa hadits disebutkan bahwa tersebarnya zina dengan seperangkat sarana-sarana pendukungnya merupakan isyarat bahwa hancurnya dunia ini memang semakin dekat, tinggal menunggu waktu.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan pada Qatadah, “Sungguh aku akan memberitahukan pada kalian suatu hadits yang tidak pernah kalian dengar dari orang-orang sesudahku. Kemudian Anas mengatakan,"Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah: sedikitnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, diminumnya khamr, merebaknya perzinaan." (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna "merebaknya perzinahan" adalah zina tersebar dan dianggap biasa sehingga orang-orang yang berzina tidak lagi sembunyi-sembunyi karena banyaknya orang yang melakukan zina. (Disarikan dari Fathul Baari)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidaklah akan binasa umat ini sehingga orang-orang lelaki menerkam wanita di tengah jalan (dan menyetubuhinya) dan di antara mereka yang terbaik pada waktu itu berkata, "alangkah baiknya kalau saya sembunyikan wanita ini di balik dinding ini." (HR. Abu Ya'la. Al Haitsami berkata, "perawi-perawinya shahih." Lihat Majmu' Zawaid: 7/331)

Gambaran semacam ini sudah nampak di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini, sebagaimana yang dilakukan para pelacur yang menjajakan dirinya di pinggir-pinggir jalan, di beberapa tempat keramaian atau tempat wisata. Bahkan, sebagian orang sudah berani merekam perbuatan bejatnya bersama pasangan zinanya. Hal ini dalam pandangan masyarakat modern yang belum mengenal kemuliaan Islam ternyata dianggap sebagai sebuah kebebasan yang diagungkan. Bahkan, orang yang berani melarang zina (termasuk yang melarang penutupan Dolly)  dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Maka sungguh tepat yang dikatakan Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma: "Mereka pada masa jahiliyah memandang zina yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tidaklah mengapa. Namun, mereka memandang buruk zina yang dilakukan dengan terang-terangan. Lalu Allah mengharamkan zina yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan." (Dinukil dari Fathul Baari)

Maka, penutupan lokalisasi Dolly memang solusi tepat bagi mereka yang sudah terjerumus atau enggan keluar dari kubangan haram segera kembali ke jalan yang benar serta meninggalkan segala bentuk keharaman dan mencari yang halal. Dan semoga Allah meneguhkan keimanan umat ini dari berbagai fitnah zaman yang menghawatirkan. Ya Allah, Tunjuki kami kepada kebenaran dan berilah kekuatan untuk mengikutinya. Dan palingkan kami dari kebatilan dan anugerahkan kami kekuatan untuk menjauhinya. Amin Ya Mujiibbas Sailiin [be-jbr]





Kamis, 15 Mei 2014

Amal Sholih Bukan Sambilan

Amal Sholih sebagai bukti iman dan taqwa bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat kita memiliki waktu luang dan bisa ditinggalkan saat sibuk. Tidak! Amal Islami terlalu agung dan mulia serta tidak bisa diperlakukan seperti itu. Menggabungkan diri dalam perjuangan agama [intima’] dengan beramal sholih tentu saja layak dan pantas dijalani lebih serius, bukan sekedar sambilan, atau bahkan menyepelekannya.

Amal sholih dalam Islam bukan seperti aktivitas dalam klub sains-ilmiah, komunitas profesi atau hobi atau ekskul sekolah/kampus yang cukup dikerjakan untuk sekedar tujuan riset, mengembangkan bisnis, atau pula bisa ditinggalkan saat lulus. Atau cukup dikerjakan saat masih bujang dan boleh ditinggalkan setelah menikah. Atau kita curahkan waktu sebelum kita mendapat pekerjaan dan setelah mendapatkannya kita tinggalkan

Sekali-kali tidak! Amal Islami bukanlah seperti itu. Perkara amal islami dan intima' kepadanya sama dengan perkara 'ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim tidak melepaskan diri dari amal islami kecuali bersamaan dengan keluarnya ia dari kehidupan ini. Sebagaimana Allah telah berfirman

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian (ajal)” (TQS al-Hijr : 99)

Al-Qur'an tidak mengatakan 'Sembahlah Rabbmu sampai kamu diterima sebagai pegawai atau usahamu maju dan berkembang pesat atau sampai kamu menikah atau pula tercapainya hasrat dan keinginan dst’.

Para pendahulu kita as-salafush shalih memahami benar hakekat yang sangat penting dalam dienullah ini.

Kita dapati 'Ammar bin Yasir, beliau berangkat perang saat usia beliau telah mencapai 90 tahun. Beliau berangkat perang saat tulang-belulang beliau sudah rapuh, tubuh telah renta, rambut telah memutih, dan kekuatan sudah jauh berkurang.

Adalah Abu Sufyan yang masih bisa membakar semangat para pasukan muslimin untuk berperang saat beliau berumur 70 tahun. 

Begitu pun dengan Yaman dan Tsabit bin Waqasy. Keduanya tetap berangkat ke medan perang Uhud meski telah lanjut usia dan Rasulullah saw menempatkan mereka bersama kaum wanita, di bagian belakang pasukan.

Bahkan, Rasulullah SAW telah melaksanakan 27 pertempuran. Muhammad bin Ishaq berkata, "Jumlah seluruh perang yang dikomandoi langsung di lapangan oleh Rasulullah SAW adalah 27." Lalu beliau menyebutnya satu persatu. [al-Bidayah wa Nihayah 5/217].

Semua peperangan itu beliau jalami setelah usia beliau lewat 54 tahun. Bahkan perang Tabuk, perang yang paling berat bagi kaum muslimin, diikuti dan dipimpin langsung oleh beliau saat umur beliau telah mencapai 60 tahun.

Bagaimana Hari Ini?

Kita dapat saksikan, ternyata, ada sebagian kaum muslimin yang masih istiqomah dan tsiqoh meneladani para salafush sholih dalam ber amal sholih. Bahkan ada yang berusaha meningkatkannya dalam rangka mencapai maqom dan keutamaan sebagai Ath-Thoifah Manshuroh, sebagaimana termaktub dalam hadits Nabi SAW,

"Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang berperang menegakkan agama Allah, mengalahkan musuh mereka, dan tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang hari kiamat atas mereka, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian. Kemudian Allah mengirim angin seperti angin misk, sentuhannya seperti sentuhan sutera, dan ia tidak meninggalkan jiwa yang di dalam hatinya terdapat iman seberat biji sawi, kecuali ia akan mencabutnya, kemudian tinggallah seburuk-buruk manusia, terhadap merekalah kiamat akan terjadi." (H.R Muslim).

Namun, ada juga sebagian kaum muslimin yang meninggalkan amal Islami setelah hasrat dan keinginannya tercapai; semisal: lulus dan meraih gelar sarjana, berhasil mendapatkan pendamping hidup idaman, meraih pekerjaan/ jabatan idaman, berkembangnya usaha dan beraneka pencapaian duniawi lainnya. Marilah kita renungkan bahwa sesungguhnya urusan dien dan Islam itu bukan urusan main-main, sebagaimana Firman-Nya:

.. Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (TQS An-Nur. (24) : 15)

Marilah kita tepati janji yang telah kalian ikrarkan di hadapan Allah

.. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan di minta pertanggung jawabnya. (TQS Al-Ahzab (33) : 15)

....Maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri...(TQS Al-Fath (48):10)

Jangan Sampai Menimpa Kita!

Siapapun yang dikuasai oleh nafsu ammarah bissu' [yang condong berbuat keburukan], ditipu oleh setan, atau mengundurkan diri dari medan amal islami hendaklah merenungkan firman Allah ini,

Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). (TQS 9 : 75-76).

Sesungguhnya perkara amal islami ini sangat penting bagi seorang muslim sebagai komitmen tauhidnya dan sebaik-bekal yang dapat menghantarkannya ke jannah-Nya. Wallahu’alam bish showwab. [bud-jbr]

Kamis, 08 Mei 2014

Memang, Demokrasi Adalah Agama



“Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan.
Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI
dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”


Saudaraku kaum muslimin, Semoga Allah melimpahkan kepada kita hidayah untuk senantiasa teguh dalam menjalankan Al-haq dan menjauhi Al-Bathil. Shalawat dan salam mari kita panjatkan kepada Nabi Muhammad yang telah menjadi teladan dalam menegakkan kebenaran; keluarga, para shahabat serta segenap kaum muslimin yang istiqomah meneladani perjuangan beliau. 

Penting diketahui bahwa Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
§  Sumber hukum bukan Allah, akan tetapi rakyat
§  Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan manusia
§  Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
§  Kebenaran adalah suara terbanyak
§  Tuhannya banyak dan beraneka ragam

Sebagian manusia masih merasa aneh bahkan ada yang marah saat demokrasi (yang merupakan hukum para penguasa) disebut sebagai Dien, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (Dien Al Malik)…” (TQS. Yusuf [12]: 76)

Undang-undang telah Allah namakan sebagai dien yang berarti agama atau jalan hidup yang ditempuh, sedangkan demokrasi itu memiliki undang-undang selain Islam.

Jadi, dien (agama) kafir itu ternyata bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja, akan tetapi Demokrasi adalah juga dien, bahkan termasuk Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme juga adalah dien, serta Sekulerisme adalah dien. Akan tetapi, Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.

1.   Sumber Hukum bukan Allah akan tetapi Rakyat.

Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya: 
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (TQS. Al An’am [6]: 57)

2.  Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan manusia

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sumber hukum dalam Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau yang disetujui oleh mereka. Dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua ragam pemeluk dien dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.

Sungguh ini adalah kerusakan yang besar dan kekafiran yang nyata bagi yang memperjuangkan demokrasi ini. Naudzu billahi min dzalik

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: 
Barang siapa yang meninggalkan syari’at yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma’ kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).

Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata tentang Yasiq/Ilyasa: 
“Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu  bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu‘alaihi wa sallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.

3.  Memberikan Kebebasan Berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat

Demokrasi adalah dien yang melindungi, mengakui serta menjamin kebebasan semua agama. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.

Maka dari itu, ternyata dien Demokrasi telah menghalalkan pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, padahal Rasulullah SAW  bersabda: 
“Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”. (HR Bukhori, shahih)

Apabila seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman menurut ajaran demokrasi (padahal dalam Islam hal ini adalah pembunuhan yang diperkenankan). Hal yang serupa adalah ketika dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda untuk mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah ajaran kafir lagi syirik, yang dapat membawa kemurtadan bagi yang mengusungnya bahkan ajaran yang dapat membatalkan keislaman, walaupun mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya. Wallohu ‘alam bish showwab. (wid-jbr)

Minggu, 04 Mei 2014

Terbukti kan, Hukum Islam Lebih Baik

Fakta yang Mencengangkan

Jakarta International School (JIS) menjadi sorotan ketika seorang siswa TK JIS menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan di sekolah itu sendiri (JIS). Kelakuan petugas itu adalah pelampiasan dendamnya karena ternyata dia sendiri pernah menjadi korban seorang paedofil asal AS, William James Vahey, yang ternyata juga pernah 10 tahun mengajar di Jakarta International School (JIS).



Lain tempat, lain pula beritanya. Pengadilan syariah di kota Kano, Nigeria utara, menjatuhkan hukuman mati atas seorang pria dengan cara rajam setelah dinyatakan bersalah memperkosa anak berusia 12 tahun. Pria yang dijatuhi hukuman itu berusia 63 tahun. Ia juga dinyatakan bersalah menularkan virus HIV kepada anak perempuan itu.

Memang, sudah saatnya syariat Islam ditegakkan sehingga para pelaku paedofil dan para pemerkosa itu dihukum sesuai hukum Islam yang terbukti dan terjamin keadilannya. Sebagaimana yang diakui oleh Harvard University, lembaga pendidikan sekuler terkemuka dunia. Di pintu masuk utama fakultas hukum universitas tersebut terpampang teks Al-Qur’an Surat An Nisa, ayat 135 yang sengaja didedikasikan sebagai pedoman keadilan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walau pun terhadap diri mu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabat mu jika dia (yang terdakwa) kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Fakta di atas tidak aneh, mengingat seluruh hukum sekuler yang masih berlaku, ternyata tidak ada yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan tidak ada hukum yang mampu membuktikan keberadaannya menjadi lebih baik, selain hukum dari Allah SWT.

Keistimewaan Hukum Islam

Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai Jawabir dan Jawazir. Keistimewaan ini tidak akan kita temui di luar daripada hukum Islam.

Ketika hukum syariah Islam diterapkan dan diberlakukan kepada orang-orang yang melakukan tindakan, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai Jawabir. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, “Kalian berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri dan tidak menolak melakukan perbuatan yang ma’ruf. Siapa saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia maka hukuman itu akan menjadi penebus (siksa akhirat) baginya. Dan siapa saja yang melanggarnya kemudian Allah menutupinya (lolos dari hukuman dunia), maka urusan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak maka akan memaafkannya.” [HR Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit].

Sebagai  contoh, ada dua orang yang berzina yaitu Maiz Al-Aslami dan Al-Ghomidiyah. Perbuatan mereka sudah barang tentu tanpa diketahui oleh siapapun tapi karena didorong oleh ketaqwaannya, akhirnya mereka menghadap kepada Rasulullah SAW untuk meminta dihukum rajam dan disucikan.

Dari Buraidah, Ia menuturkan: “Seorang Wanita yang disebut Al Ghamidiyah datang menemui Rasulullah Salallahu’alaihi wa sallam Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah aku!” 

Tapi Rasulullah menolak pengakuannya tersebut. Keesokan harinya, Ia datang kembali kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa Anda menolak pengakuanku? Mungkin Anda menolakku sebagaimana menolak pengakuan Ma’iz? Demi Allah, saat ini aku sedang Hamil”. Rasulullah mengatakan, “Baiklah, kalau begitu kamu pergi dulu sampai kamu melahirkan anakmu”. 

Seusai melahirkan, Wanita itu kembali menghadap Rasulullah sambil menggendong bayinya itu dalam selembar kain seraya melapor, “Inilah bayi yang telah aku lahirkan“. Beliau bersabda, ”susuilah bayi ini hingga di sapih”. Setelah disapih, wanita tesebut kembali menghadap beliau dengan membawa bayinya sedang ditangannya memegang sepotong roti. Ia berkata, “Wahai Nabi, aku telah menyapihnya. Ia sudah bisa memakan makanan”. 

Beliau lalu menyerahkan anak itu kepada seorang pria dari kalangan umat islam, kemudian Beliau memerintahkan agar menggali lubang sampai diatas dada, lalu memerintahkan orang-orang untuk merajam wanita tersebut. 

Saat itu Khalid bin Walid membawa batu di tangannya lantas melemparkannya kearah kepala wanita itu hingga darahnya memuncrat hingga mengenai wajah Kholid bin Walid. Tak ayal Khalid memaki wanita itu. Mendengar makian Khalid kepada wanita itu, Rasulullah mengatakan,”Sabar Khalid! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang seandainya dilakukan oleh seorang pemungut cukai (pajak) niscaya ia akan diampuni”. (HR. Muslim no. 1695)

Dalam sebuah riwayat disebutkan, 

“Kemudian Rasulullah mensholatkannya. Umar bertanya, ”Engkau mensholatinya, wahai Rasulullah, padahal ia telah berzina?” Beliau menjawab, “Ia telah bertaubat dengan taubat yang sekiranya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah niscaya mencukupinya; apakah kamu menemukan taubat yang lebih baik daripada orang yang menyerahkan jiwanya karena Allah”. (HR.Muslim,11/374.)

Dalam hadist lain, Rasulullah SAW berkata: “Bahwa sesungguhnya sekarang Maiz [setelah diqishosh] sedang berenang di sungai-sungai di surga.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi].

Keunggulan berikutnya, pemberlakukan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya perbuatan tindak kriminal yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir. Sebagai contoh, ketika diterapkannya hukum qishosh, maka qishosh tersebut akan mencegah terjadinya tindakan balas dendam kepada keluarga korban kepada pelaku atau keluarga pelaku.

Allah SWT berfirman : 

“Dan dalam Qishosh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [TQS Al Baqarah ayat 179]

Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, 

“Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan... Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishosh di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”

Saudaraku Kaum Muslimin,
kita semestinya bangga dan turut berperan dalam berjuang menegakkan berlakunya syariat Islam. Hanyalah Islam yang menjadi agama sekaligus sebagai sebuah jalan hidup yang terjamin kesempurnaan dan kemuliaannya yang harus ditegakkan secara kaffah dalam naungan Daulah Islamiyah (Khilafah ala Minhajin Nubuwah) melalui jihad fie sabilillah. Wallohu ‘alam bish showwab.  (bud-jbr)

'Bidadari' dibalik Tegarnya sang Mujahid

Dibalik pasangan yang hebat ada cinta yang kuat. Mungkin itulah kalimat yang pas bagi pasangan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Dewi Siti Kaltsum. Dua sejoli yang mengalami pasang surut dalam penegakan Darul Islam puluhan tahun silam. Kisahnya menjadi epik bagi generasi Islam puluhan tahun mendatang. Iya sebuah cerita cinta dari Malangbong, Garut, Jawa Barat, untuk cahaya Islam di bumi Indonesia.
Perkenalan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kaltsum terjadi saat pimpinan Darul Islam tersebut tengah mampir ke Malangbong, Garut, tahun 1928. Kebetulan Ayahanda Dewi adalah Ardiwisastra, salah seorang Ulama, Ajengan, dan Tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ternama di Garut. Niat Kartosoewirjo menyambangi kediaman Ardiwisastra semata-mata mengumpukan dana bagi keberangkatan KH. Agoes Salim ke Belanda demi berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Dewi, kembang Malangbong yang kala itu tengah mengarungi masa dewasa, melihat sosok laki-laki yang berbeda mengetuk pintu rumahnya. 
“Siapa ya?” tanya Dewi dalam hatinya. Laki-laki itu bagi Dewi tidak seperti laki-laki pada umumnya. Kartosoewirjo pandai bicara, namun bukan gombal. Pengetahuannya tentang Islam pun begitu luas yang menunjukkan dia bukan orang sembarangan.
Kala itu, Kartosoewirjo tengah menjabat Sekretaris Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pada Desember 1927, Kartosoewirjo terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia-sebelumnya masih bernama Partij Sjarikat Islam Hindia Timoer. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam di seluruh Nusantara.
Dewi pun mulai tahu aktivitas Kartosoewirjo yang penuh dengan dunia gerakan. Maklum saat itu Dewi mulai berkecimpung dalam bidang penuh resiko tersebut. Darah pergerakan turun dari sang ayah yang terkenal gigih melawan Belanda dengan semangat perlawanan Islam terhadap Imperialisme Barat.
Dewi amat terkesan dengan sikap hidup sang ayah. Pada usia delapan tahun, ibunya sudah mengajaknya berjalan kaki belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Dan itu amat membekas dalam hatinya.
Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.
Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Kartosoewirjo resmi menikahi Dewi di Malangbong. Ardiwisastra, sang mertua sendiri, sama sekali tidak melihat sang menantu dari fisik. Akhlak dan kejujuranlah yang tampaknya membuat Ardiwisastra menjodohkannya dengan sang putri yang kala itu menjadi kembang desa di Malangbong.
Rupanya Dewi pun mengakui hal serupa. Secara jujur, ia tidak menjadikan wajah sebagai prasyarat pinangan sang Imam diterima, “Kalau disebut karena cinta, Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek,” tutur Dewi lugu kepada majalah Tempo, tahun 1983.
Rupanya Dewi tidak salah pilih. Ia mengaku mendapatkan selaksa cinta yang tinggi dari suaminya. Laki-laki soleh yang menyerahkan segala hidupnya demi Islam. Laki-laki penuh sahaja yang dikenal sebagai biduk kasihnya sepanjang masa. Dengarlah tuturan Dewi berikut ini:
“Aku memang tidak salah pilih. Disinilah aku mulai mengenal dan belajar tentang sikap dan sifat suamiku. Ia ternyata seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab pada keluarganya dan menyayangiku. Ia tak segan–segan memperkenalkanku, istrinya yang dari kampung dengan kawan-kawan seperjuangannya yang terpelajar dan terhormat.
“Bahkan dua bulan setelah kami berada di Jakarta, mungkin atas prakarsa teman-temannya, perkawinan kami dirayakan di rumah Pak Cokroaminoto. Aku ingat benar pesta yang sederhana tapi amat mengesankan itu ber-langsung pada tanggal 12 Zulhijjah. “. Oleh istrinya, Kartosoewirjo dikenal sebagai seorang lelaki yang tinggi akhlaknya, suami yang sangat santun pada sang istri dan penuh kasih sayang pada anak-anaknya. Ini pernah diutarakannya Dewi sendiri yang menuturkan kisahnya kepada Tatang Sumarsono, yang dimuat bersambung di suatu majalah Amanah.
Pada perkembangannya, kecintaan dan keikhlasan Dewi terhadap suaminya betul-betul diuji saat mengarungi perjuangan. Dewi, anak kyai itu, berkembang menjadi istri diluar pada umumnya. Jika para pribumi yang menikah dengan Meneer Belanda biasa menikmati pesta pora beserta alunan nada. Dewi harus ikut bergerilya menghindari kejaran tentara Indonesia.
Jika para kembang Desa memilih hidup berdiam diri atas kondisi yang ada, bersama suami, Dewi malah keluar-masuk hutan demi tegaknya Syariat Islam di bumi Nusantara. Dewi sudah menasbihkan diri untuk bertahan diliputi rasa takut semata-mata pengabdian besar seorang istri terhadap sang suami.
Lantas, apakah kunci yang membuat Dewi bisa mempertahankan cintanya kepada Kartosoewirjo meski hidup dan mati adalah dua kata yang dekat kepadanya? Yang mau hidup penuh kesederhanaan walau sang ayah terkenal sebagai ningrat di Jawa Barat? Adalah pendidikan agama yang menjadi kunci kekuatan Dewi untuk tidak mengeluh dan tetap sabar meski hidup penuh kesederhanaan.
“Akibatnya, kami memang tak punya rumah tetap, pindah dari rumah sewa ke rumah sewa lainnya. Tapi aku sendiri tidak mengeluh. Sebagai istri yang mendapat pendidikan agama cukup lekat dari orangtua, kuterima segalanya dengan rasa syukur. Karena itulah, boleh jadi kehidupan keluarga kami berjalan tenang, kalau tidak dikatakan bahagia.” Aku Dewi.
Bersama Kartoesowirjo, Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah.
Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.
Sebagai perempuan, Dewi mulanya takut hidup di hutan. Kala itu Dewi sudah menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya. Gurat kesedihan mulai timbul dalam sekat wajahnya meratapi impian tak sesuai kenyataan. Namun, sosok Kartosoewirjo lah yang setia berada disampingnya, untuk menghibur, meyakinkan, dan “menggenggam kuat jemari di tangannya”. Dan Dewi langsung merasa tenteram.
Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Kartosoewirjo, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.
Betapa besar cinta Kartosoewirjo kepada istrinya. Ia menangis di depan istrinya, bukan ia kalah terhadap rezim sekuler yang mencoba membunuhnya, bukan jua menyesal atas perjuangannya yang meski meminta taruhan nyawa, namun air mata itu adalah bukti cinta Kartosoewirjo yang besar kepada sang istri, ya kembang Malangbong yang senantiasa menemaninya meski hidup penuh onak dan duri.
Air mata Dewi semakin jatuh. Ia menangis sejadi-jadinya. Rasa bangga bercampur haru meliputi hatinya karena memiliki sosok suami seperti Kartosoewirjo yang tetap meyakinkannya tentang arti cinta sebenarnya: Cinta kepada Allahuta’ala, karena dunia hanyalah persinggahan sementara.
Cinta mereka akhirnya harus usai, cinta Dewi kepada suaminya mesti dipisahkan timah panas ketika aparat keamanan menangkap Kartosoewirjo setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat dan menghukum matinya pada September 1962.
Dewi pun menyusul cinta sejatinya itu pada tahun 1998. Lahir pada 1913, Dewi wafat dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat.
Namun pepatah “cinta sejati akan dibawa sampai mati” memang betul adanya. Di pemakaman ini Kartosoewirjo masih memendam cinta, cintanya kepada sang istri yang telah menemaninya puluhan tahun baik suka maupun duka. “Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong,” kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo.
Inilah kisah cinta sejati yang tertutup di tengah pemberitaan miring tentang NII pasca dibonceng oleh NII KW IX.. Semoga Allah mempertemukan mereka kembali di jannah kelak. Allahuma aminAllahua’lam.(pz)