Kamis, 10 April 2014

Antara Birul Walidain dan Jihad Fie Sabilillah



Berbakti kepada kedua orang tua [birul walidain] merupakan salah satu amal sholih yang mulia. Bahkan, Al Quran banyak menyebutkan keutamaannya. Alloh Ta’ala berfirman:

“Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (Terj QS An Nisa: 36).

Di dalam ayat ini perintah berbakti kepada dua orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama yaitu Tauhid. Hal ini menunjukkan sangat utamanya amal sholih ini di sisi Alloh ‘Azza wa Jalla. Bahkan, ada hadits Nabi SAW yang menyebutkan kedudukan birul walidain diatas jihad fi sabilillah,

Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Alloh?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Alloh.’” (HR. Al Bukhori no. 5970).

Ini dikuatkan lagi oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya) [HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782]

Apakah Jihad bertentangan dengan Birrul Walidain?

Sesungguhnya jihad merupakan amal yang agung dan sangat mulia. Ketika masih dalam status hukum yang fardhu kifayah pelaksanaannya diwajibkan meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang merujuk kepada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.

Namun ada hadits lain yang berbunyi:

Demi (Alloh) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku benar-benar akan tinggalkan keduanya lalu aku akan berangkat berjihad. Rosul bersabda: "Engkau lebih tahu." (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, lihat Fat-hul Bari II/141)

Dalam memadukan pemahaman dua hadits tersebut Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fathul Bari: "Hadist yang pertama untuk jihad yang fardlu kifayah sedangkan hadits yang kedua adalah untuk jihad yang fardlu 'ain."

Kapan Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?

Penting diketahui bahwa hukum dasar jihad adalah fardhu kifayah, yang artinya : jika sebagian kaum muslimin sudah melaksanakannya maka kaum muslimin lainnya telah gugur kewajibannya dan jika mereka tidak ikut berjihad, maka tidak berdosa. 

Para ulama telah menetapkan bahwa saat ini, status hukum yang fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain karena 3 kondisi:

Pertama, apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan, berdasarkan firman Allah Ta’ala

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (terj QS. al-Anfal: 15)

Kedua, apabila orang-orang kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri wajib berperang melawan dan mengusir mereka. Firman-Nya :

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (terj QS. Al-Taubah: 123)

Asy Syahid [insya Alloh] Syaikh Abdulloh Azzam rahimahulloh berkata jihad telah menjadi fardlu 'ain semenjak jatuhnya Andalusia [Spanyol] ke tangan orang-orang Nasrani, dan hukumnya belum berubah sampai hari ini. Dan jihad akan tetap fardlu 'ain sampai kita mengembalikan seluruh wilayah yang dahulu merupakan wilayah Islam, ke tangan kaum muslimin

Ketiga, Apabila imam (ulil amri) sudah menerintahkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka wajib keluar berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Maka apabila kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.” (Muttafaq ‘alaih)

Ketika Sudah Fardhu ‘Ain

Imam al-Shon’ani (penyusun Kitab Subulussalam Syarh Bulughul Marom) berkata,

“Mayoritas ulama berpendapat, diharamkan seorang anak berjihad apabila kedua orangtuanya atau salah satunya melarangnya, dengan syarat keduanya adalah muslim. Karena berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain sedangkan jihad adalah fardhu kifayah. Maka apabila jihad [sudah] menjadi fardhu ‘ain, tidak perlu minta izin. Jika dikatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua juga fardhu ain dan jihad juga dalam kondisi fardhu ‘ain, maka keduanya sama.

Apa alasan diutamakannya jihad?’ Aku katakan, ‘Karena kemaslahatan jihad lebih umum/luas, karena dia untuk menjaga dien dan membela kaum muslimin, maka maslahatnya yang lebih lebih luas didahulukan daripada selainnya’.”

Jadi?

Adalah sesuatu yang wajar manakala orangtua kita suatu saat akan mengalami sakit dan sebagai anak berkewajiban untuk menjaga, melindungi dan merawatnya. Memang, tidak berangkat jihad akan dapat melindungi jiwa kedua orang tua. Namun keengganan berartisipasi dan meninggalkan jihad justru akan menyebabkan kehancuran agama. Maka, dalam mengamalkan agama, kita perlu memahami sebuah kaedah bahwa kepentingan agama itu lebih didahulukan daripada kepentingan jiwa. Melindungi agama itu lebih didahulukan daripada melindungi jiwa.

Bahkan, Tidak ada seorang ulama' pun yang mengatakan wajib meminta ijin dalam melaksanakan hal-hal yang fardlu 'ain, walaupun kepada seorang Kholifah sekalipun. Termasuk Tidak ada keharusan untuk ijin kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara fardlu 'ain, seperti jihad fi sabilillah. Wallohu A’lam (ekb-jbr)