Berbakti
kepada kedua orang tua [birul walidain]
merupakan salah satu amal sholih yang mulia. Bahkan, Al Quran banyak
menyebutkan keutamaannya. Alloh Ta’ala berfirman:
“Sembahlah Alloh dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapak.” (Terj QS An Nisa: 36).
Di dalam
ayat ini perintah berbakti kepada dua orang tua disandingkan dengan amal yang
paling utama yaitu Tauhid. Hal ini menunjukkan sangat utamanya amal sholih ini di
sisi Alloh ‘Azza wa Jalla. Bahkan, ada hadits Nabi SAW yang menyebutkan
kedudukan birul walidain diatas jihad fi sabilillah,
Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya
kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Alloh?’ Beliau menjawab,
‘mendirikan sholat pada waktunya,’
Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,
‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di
jalan Alloh.’” (HR. Al Bukhori no. 5970).
Ini dikuatkan lagi oleh hadits dari Ibnu
Umar Radhiyallahu ‘Anhu,
beliau berkata:
“Datang
seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka
Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi
bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya) [HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi
idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782]
Apakah Jihad bertentangan dengan Birrul
Walidain?
Sesungguhnya
jihad merupakan amal yang agung dan sangat mulia. Ketika masih dalam status
hukum yang fardhu kifayah pelaksanaannya
diwajibkan meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan pendapat jumhur ulama
yang merujuk kepada hadits Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam yang telah
disebutkan di atas.
Namun
ada hadits lain yang berbunyi:
Demi (Alloh) yang telah mengutusmu dengan
kebenaran, aku benar-benar akan tinggalkan keduanya lalu aku akan berangkat
berjihad. Rosul bersabda: "Engkau lebih tahu." (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, lihat Fat-hul Bari II/141)
Dalam
memadukan pemahaman dua hadits tersebut Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fathul
Bari: "Hadist yang pertama untuk
jihad yang fardlu kifayah sedangkan
hadits yang kedua adalah untuk jihad yang
fardlu 'ain."
Kapan
Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?
Penting
diketahui bahwa hukum dasar jihad
adalah fardhu kifayah, yang artinya :
jika sebagian kaum muslimin sudah melaksanakannya maka kaum muslimin lainnya
telah gugur kewajibannya dan jika mereka tidak ikut berjihad, maka tidak
berdosa.
Para
ulama telah menetapkan bahwa saat ini, status hukum yang fardhu kifayah berubah menjadi fardhu
‘ain karena 3 kondisi:
Pertama, apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan, berdasarkan
firman Allah Ta’ala
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu
dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu
membelakangi mereka (mundur).” (terj QS. al-Anfal: 15)
Kedua, apabila orang-orang
kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri wajib berperang
melawan dan mengusir mereka. Firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan
daripadamu.” (terj QS. Al-Taubah: 123)
Asy Syahid [insya Alloh] Syaikh Abdulloh Azzam rahimahulloh
berkata jihad telah menjadi fardlu 'ain semenjak jatuhnya Andalusia [Spanyol]
ke tangan orang-orang Nasrani, dan hukumnya belum berubah sampai hari ini. Dan
jihad akan tetap fardlu 'ain sampai kita mengembalikan seluruh wilayah yang
dahulu merupakan wilayah Islam, ke tangan kaum muslimin
Ketiga, Apabila imam (ulil
amri) sudah menerintahkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka wajib
keluar berdasarkan sabda Nabi SAW,
“Maka apabila
kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.” (Muttafaq ‘alaih)
Ketika Sudah Fardhu ‘Ain
Imam
al-Shon’ani (penyusun
Kitab Subulussalam Syarh Bulughul Marom) berkata,
“Mayoritas ulama berpendapat, diharamkan
seorang anak berjihad apabila kedua orangtuanya atau salah satunya melarangnya,
dengan syarat keduanya adalah muslim. Karena berbakti kepada kedua orang tua
adalah fardhu ‘ain sedangkan jihad adalah fardhu kifayah. Maka apabila jihad [sudah]
menjadi fardhu ‘ain, tidak perlu
minta izin. Jika dikatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua juga fardhu ain
dan jihad juga dalam kondisi fardhu ‘ain, maka keduanya sama.
Apa alasan diutamakannya jihad?’ Aku
katakan, ‘Karena kemaslahatan jihad lebih umum/luas, karena dia untuk menjaga
dien dan membela kaum muslimin, maka maslahatnya yang lebih lebih luas didahulukan daripada selainnya’.”
Jadi?
Adalah sesuatu
yang wajar manakala orangtua kita suatu saat akan mengalami sakit dan sebagai
anak berkewajiban untuk menjaga, melindungi dan merawatnya. Memang, tidak
berangkat jihad akan dapat melindungi jiwa kedua orang tua. Namun keengganan
berartisipasi dan meninggalkan jihad justru akan
menyebabkan kehancuran agama. Maka, dalam mengamalkan
agama, kita perlu memahami sebuah kaedah bahwa kepentingan agama itu lebih
didahulukan daripada kepentingan jiwa. Melindungi agama itu lebih didahulukan
daripada melindungi jiwa.
Bahkan, Tidak ada seorang ulama' pun yang mengatakan wajib meminta ijin
dalam melaksanakan hal-hal yang fardlu 'ain, walaupun kepada seorang Kholifah sekalipun.
Termasuk Tidak ada keharusan untuk ijin kepada kedua orang tua dalam
perkara-perkara fardlu 'ain, seperti jihad fi sabilillah. Wallohu A’lam (ekb-jbr)