Jumat, 25 April 2014

Teladan Nabi Yusuf sebagai Pejabat Negara


Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan mukjizat kepada Nabi Yusuf ‘alaihi salam berupa kemampuan menakwilkan atau mengartikan mimpi. Ketika di penjara akibat fitnah, Nabi Yusuf menakwil mimpi dua orang tahanan, yang mana seorang akan dibebaskan dan akan kembali melayani raja. Seorang lagi, mantan bendaharawan kerajaan, akan dihukum mati. Takwil Yusuf ternyata benar. Kemampuannya itu tersiar, bahkan ia diminta menakwil mimpi Raja, yang ternyata akan datang masa subur dengan makanan berlimpah ruah selama 7 tahun, setelah itu tiba masa kemarau sepanjang 7 tahun pula.

Ketika itu pula, Raja menetapkan bersihnya Yusuf dari tuduhan zina dan memerintahkan agar Yusuf dikeluarkan dari penjara. Bahkan, Raja juga memuliakan Yusuf dan memberikan pilihan kepadanya untuk memilih jabatan yang ia mau, maka Yusuf berkata, 

“Jadikanlah aku bendaharawan negeri Mesir. Sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (TQS. Yusuf: 55).

Kisah teladan Nabi Yusuf dalam meminta amanah sebagai pejabat Negara ini ternyata digunakan sebagai qiyas oleh sebagian kaum muslimin tentang bolehnya kompromi dengan demokrasi, yang merupakan sistem kufur menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga berkembanglah syubhat tentang bolehnya masuk dalam pemerintahan demokrasi sebagai menteri, atau mungkin juga anggota parlemen atau bahkan meminta jabatan tersebut dengan mengqiyaskan pada kisah Nabi Yusuf as yang menjadi menteri di sisi raja yang kafir yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Marilah Kita bahas syubhat ini dengan taufiq Allah subhaanahu wa ta’aala:

Pertama : Sesungguhnya berhujjah dengan syubhat ini  untuk bisa masuk dalam kabinet atau parlemen pembuat hukum dan kebolehannya adalah batil, karena lembaga tersebut telah berdiri di atas dasar demokrasi yang dimana wewenang (uluuhiyyah), pembuatan perundangan (tasyrii’) dan wewenang pembolehan (tahlil) serta pelarangan (tahrim) di dalam agama ini adalah milik rakyat bukan milik Allah saja.

Kedua : Selama menjadi menteri, ternyata nabi Yusuf tidak pernah menerapkan hukum raja tapi tetap hukum Allah.

Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedangkan mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tidaklah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. (TQS Yusuf: 37-38).

Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja.” (TQS Yusuf 76).

Para ahli tafsir menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak pernah menerapkan undang-undang raja, tidak pernah tunduk kepadanya, dan tidak diharuskan untuk menerapkannya. Apakah ada dalam kementerian itu atau parlemen-parlemen mereka hal seperti ini.

Ketiga : Sesungguhnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam telah menjabat sebagai menteri dengan  anugerah (tamkiin) dari Allah subhaanahu wa ta’aala, Dia berfirman:

Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri mesir.” TQS Yusuf: 56.

Jadi kedudukan itu adalah tamkiin  dari Allah subhaanahu wa ta’aala, sehingga si raja atau yang lainnya tidak kuasa untuk mengganggunya atau mencopotnya dari kedudukan itu meskipun menyalahi perintah raja atau undang-undang dan keputusannya.  Hal ini merupakan perbedaan yang sangat jelas dan tidak mungkin diqiyaskan dengan kedudukan pejabat di pemerintahan demokrasi saat ini.

Sesungguhnya Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjabat sebagai menteri itu dengan perlindungan penuh lagi sempurna dari sang raja. Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman:

Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata:”Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada kami.” TQS Yusuf: 54

Bahkan raja memberikan kebebasan penuh tanpa dikurangi kepada Nabi Yusuf dalam jabatannya:

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir ini.” TQS Yusuf: 56.

Barangsiapa mengklaim bahwa jabatan menteri dalam pemerintahan demokrasi ini menyerupai keadaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam jabatannya, maka sungguh dia telah melakukan kedustaan dan telah mendustakan tazkiyah (penilaian suci) Allah subhaanahu wa ta’aala terhadap Yusuf ‘alaihissalam.

Keempat: Bila masih bersikukuh bahwa meminta jabatan dalam kementerian atau anggota parlemen itu sama sekali tidak menentang tauhid maka bisakah diqiyaskan dengan diri nabi Yusuf yang tak pernah muncul darinya loyalitas penuh (tawalli) terhadap orang-orang kafir, atau tasyrii’ bersama Allah, bahkan dia selalu berkomitmen tauhid lagi melarang akan adanya penentangan terhadapnya .

Teladan yang Bisa Diambil

Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah termasuk orang-orang pilihan yang telah Allah teguhkan kedudukan mereka di muka bumi yang senantiasa mereka menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Dan tidak diragukan lagi oleh orang yang mengetahui pokok ajaran Islam bahwa sesungguhnya ma’ruf yang paling agung di dalamnya adalah Tauhid yang merupakan inti ajaran dalam dakwah Yusuf ‘alaihissalam, sedangkan kemungkaran yang paling besar adalah Syirik yang telah dihati-hatikan oleh Yusuf, dia membenci, dan berlepas diri para pelakunya

Bahkan, setelah Allah meneguhkan kedudukannya dia langsung terang-terangan mendakwahkan millah bapak-bapaknya yaitu Ya’qub, Ishaq dan Ibrahim seraya dia memerintahkan untuk bertauhid serta tidak menghukumi perkara dan tidak ikut membantu untuk menghukumi dengan selain apa yang Allah turunkan, dia juga tidak membantu para arbaab yang membuat hukum dan perundang-undangan serta dia tidak berloyalitas kepada mereka sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang yang terpedaya dalam jabatan-jabatan mereka saat ini.

Adapun terkait sebagian orang-orang (semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk teguh menempuh Al Haq)  yang terpedaya dan justru membolehkan syirik dan perbuatan kekufuran dengan alasan maslahat dakwah untuk masuk di kabinet dan parlemen adalah perbuatan mencampuradukan yang haq dengan yang batil. Bukankah maslahat paling besar dalam kehidupan ini adalah tauhid, sedangkan kerusakan paling besar adalah kerusakan syirik dan menjadikan tandingan (bagi Allah). Wallohu ‘alam bish showwab.

Disarikan dari “Demokrasi Sesuai Ajaran Islam?” tulisan Asy-Syaikh Abu Ashim Al Maqdisi, millahibrahim.com (ekb-jbr)

Rabu, 16 April 2014

BEGINILAH KEMULIAAN WANITA ISLAM

Allah Ta’ala menjadikan keindahan ada dalam wanita meskipun pada hakikatnya antara pria dan wanita sama di hadapan-Nya. Betapa indahnya sang wanita jika dihiasi dengan syariat Allah. Ia menjadi anak yang taat kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jika ia menikah, ia menjadi penyayang bagi suaminya. Jika ia menjadi ibu, ia menyayangi dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Dari wanita shalehah seperti inilah lahir pejuang-pejuang yang tangguh dan pemimpin yang bijaksana. Perhatikan keadaan wanita pada masa Rasulullah saw. dengan generasi salafush shalih sesudahnya. Mereka, kaum wanita itu, ada di balik segala keberhasilan dan kecemerlangan peradaban Islam. Semoga wanita dewasa ini bisa mengikuti jejak para pendahulunya.




Wanita dalam Al-Qur’an

Di dalam Al-Qur’an terdapat 114 surah. Di dalamnya tidak ada satu pun surah tentang pria (ar-rijal), tapi menariknya ada surah tentang wanita (An-Nisaa’), bahkan lebih spesifik ada surah Maryam, meskipun dia bukan nabi. Keberadaan kaum wanita sama mulianya dengan kaum pria di hadapan Allah, sehingga inilah bantahan bagi gagasan kesetaraan gender, emansipasi wanita serta feminism yang menganggap Islam menganak tirikan atau bahkan merendahkan kedudukan wanita.

“Maka, Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …’” (TQS Ali Imran, 3: 195).

Keberadaan wanita sebagaimana pria dalam kehidupan ini mengalami ujian yang bermacam-macam. Namun, mereka juga harus tetap tegar dan shalihah seperti yang dicontohkan Al-Qur’an dengan Asiyah, istri Fira’un yang sabar dalam menghadapi ujian dari suaminya, atau seperti Maryam yang tabah menghadapi ujian hidup tanpa suami. Sebaliknya, jangan seperti istri Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. yang berkhianat terhadap suaminya dan tidak taat kepada Allah.

Wanita pada Masa Rasulullah

Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah saw. Juga tidak ketinggalan ikut berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ternyata giat belajar dan memperdalam ilmu dien kepada Rasulullah saw.

Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria.

Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam majelis ilmunya Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah,

Ya Rasulullah saw, engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. 

Maka, Rasulullah saw. menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR Ibnu Abdil Bar).

Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma’ binti Abi Bakar dan Fatimah.

Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia becerita,

”Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, ”Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud.”

Kaum Wanita pada Masa Berikutnya

Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah al-Fikir. Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan. Tiba-tiba istrinya bertanya,

”Di mana saya menjumpai Anda ketika perang sedang berkecamuk?” Dia menjawab,”Di kemah komandan Romawi atau di surga.”

Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar!

Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimipin oleh Harun al-Rasyid, ada seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad. Wanita itu pun ternyata menyaksikan ceramahnya dan mengirimkan surat untuk ulama tsb, 

”Aku mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmatnya.”
Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita Muslimah yang disandera itu.

Teladan bagi Wanita Kini

Kalau kita cermati perkembangan wanita dewasa ini, memang cukup mengkhawatirkan ditambah lagi berbagai upaya musuh Islam untuk menghancurkan kaum hawa dengan berbagai cara melalui media massa yang merusak, maka tantangannya semakin berat. Namun tak kalah menggembirakannya ternyata juga banyak kaum wanita berjilbab syar’i serta mulai banyak munculnya majelis ilmu khusus wanita.

Ternyata demikianlah solusi bagi wanita di akhir zaman. Kalau tidak berbekal ilmu agama yang cukup dan disertai semangat juang yang tinggi, niscaya wanita pada zaman sekarang sulit untuk selamat dari jebakan dan fitnah akhir zaman. Wallohu 'alam (bams-prob)

Sabtu, 12 April 2014

Beda Sunni dengan Syiah

Konflik Sunni-Syi’ah bukan persoalan baru, melainkan telah berlangsung semenjak beberapa abad yang lalu. Bahkan di Indonesia, konflik sunni-syi’ah pun sering terjadi, baik yang sempat maupun tidak sempat diekspose media masa. Biasanya, saat terjadi perseteruan antara Sunni dan Syi’ah, yang selalu disalahkan dan dianggap tidak toleran adalah kelompok mayoritas (sunni) sebagaimana yang pernah terjadi di Puger, Jember dan juga Mayoritas Sunni di Suriah.



Apakah Definisi Sunni dan Syiah?

Sunni adalah istilah lain untuk ahlus sunnah, tidak ada perbedaan di antara dua istilah ini. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya, dan dalam memahami dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW tersebut mereka meneladani praktek dan pemahaman para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka. Dan makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rasulullah SAW tentang satu golongan yang selamat pada hadits yang diriwayatkan Tirmidzi: ”yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku dihari ini”.

Syiah menurut terminologi syariat, bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk menjadi khalifah kaum muslimin, begitu pula sepeninggal beliau (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal karya Ibnu Hazm)

Kapan Syiah Muncul?

Syiah mulai muncul setelah pembunuhan khalifah Utsman bin ‘Affan. Pada masa kekhalifahan Ali, syiah muncul tetapi masih menyembunyikan pemahaman mereka dan tidak menampakkannya kepada Ali dan umat Islam. Saat itu mereka terbagi menjadi tiga golongan.

Golongan Pertama yang menganggap Ali sebagai Tuhan. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali). Andaikan aku yang melakukannya aku tidak akan membakar mereka karena Nabi pernah melarang penyiksaan sebagaimana siksaan Allah (dibakar), akan tetapi aku pasti akan memenggal batang leher mereka, karena Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah ia“. 

Golongan Kedua yaitu Sabbah (pencela). Ali mendengar tentang Abu Sauda (Abdullah bin Saba’) bahwa ia pernah mencela Abu Bakar dan Umar, maka Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk membunuhnya, akan tetapi ia melarikan diri. 

Golongan Ketiga yaitu Mufadhdhilah, mereka yang mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Padahal telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Muhammad, “Sebaik-baik umat ini setelah nabinya adalah Abu Bakar dan Umar”.

Dalam sejarah syiah mereka terpecah menjadi lima sekte utama yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat dan Ismailliyah. Dari kelima sekte tersebut yang paling penting untuk diangkat adalah sekte imamiyyah atau rafidhah yang sejak dahulu hingga saat ini berjuang keras untuk menghancurkan kalangan ahlus sunnah, dan dengan berbagai cara menyebarkan berbagai macam kesesatannya. 

Terkait sebutan Rafidhah adalah karena mereka menolak mengakui khalifah Abu Bakar ra dan 'Umar bin Khaththab ra dan penolakan mereka atas sanjungan Zaid bin 'Ali bin Husain terhadap dua orang terbaik umat itu. Mereka menyikapi jawaban Zaid bin Ali bin Husain dengan "Rafadhnaka" yang artinya kami menolak jawabanmu, akhirnya mereka dikenal dengan nama Rafidhah.

Adapun syi’ah di Indonesia yang tergabung dalam organisasi IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) -dimana tokohnya yakni Jalaluddin ‘Rahmat’ menjadi Caleg sebuah partai nasionalis- merupakan syi’ah Rafidhoh yang merupakan kelompok mayoritas yang tersebar hingga kini karena telah memiliki sebuah pemerintahan di Iran.

Apa Kesesatannya?

1.   Tentang Al-Qur’an
Didalam kitab Al-Kafi (dalam versi mereka seperti shahih al-Bukhari), karya Abu  Ja’far  Muhammad Bin Ya’kub Al-Kulaini (2/634), dijelaskan bahwa Al-Qur’an kita dan mereka tidak sama. Mereka juga meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada di tengah-tengah kita sekarang ini telah mengalami perubahan.

2.    Tentang Sahabat
Al-Kulaini meriwayatkan, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad, kecuali tiga orang: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman Al- Farisi.” (Al-kafi: 8/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa ah-lil Bait hlm. 45) Mereka mencintai Ali Bin Abi Tholib secara berlebihan dan memusuhi para sahabat Rosululloh, terlebih lagi Abu Bakar dan Umar. Bahkan istri-istri nabi mereka anggap fasik dan kafir.

3.    Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang menyelisihi keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “wahai abu umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.”(Dinukil dari firaq Mu’ashirah : 1/196)

4.    Tentang Raj’ah
Raj’ah  adalah  keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal (Reinkarnasi). ‘Ahli tafsir’ mereka, al Qummi ketika menafsirkan Surah an-Nahl 85 [Dan apabila orang-orang lalim telah menyaksikan azab, maka tidaklah diringankan azab bagi mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh], berkata, “yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, “Nabi kalian dan Amirul Mukminin (Ali bin Abu Thalib) serta para imam akan kembali kepada kalian.”

5.      Tentang Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa al-bada’  ini terjadi pada Allah juga! Al-Kulaini dalam al-Kāfi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi (penetapan sifat) al-Bada’.”

Perbedaan yang tidak mungkin disatukan

Beberapa perbedaan menonjol yang membuktikan mustahilnya gagasan penyatuannya Sunni – Syiah yaitu
1.    Pembawa agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Syi’ah diusung seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ al-Himyari. (Majmū’ Fatāwā: 4/435)
2. Rukun Islam menurut agama Islam adalah: syahadatain, shalat, zakat, puasa, dan haji. sedangkan rukun Islam ala Syi’ah adalah: shalat, puasa, zakat, dan haji, dan kekuasaan (imamah).
3.    Rukun iman menurut Islam ada 6: Iman kepada Allah, para malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhir, qadha’ dan qadar. Adapun rukun iman versi Syi’ah ada 5: tauhid, kenabian, imamah, keadilah dan kiamat.
4.     Shalat jum’at menurut Islam wajib hukumnya, sedang menurut Syi’ah tidak.
5.    Islam meyakini bahwa orang terbaik setelah Rasulullah adalah Abu Bakar (sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih), dan beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi saw serta beliau adalah orang terbaik setelah Nabi saw.

Ada hubungan dengan Yahudi

1.  Agama Yahudi mengatakan, tidak sah kerajaan kecuali pada keturunan Nabi Daud, Syi’ah mengatakan tidak sah kepemimpinan kecuali pada keturunan Ali            .
2.    Yahudi mengatakan, tidak ada jihad fi sabilillah sampai bangkitnya Dajjal dan turun pedang dari langit. Syi’ah berkata, tidak ada jihad fi sabilillah sampai muncul al-Mahdi dan terdengar suara memanggil dari langit.
3.    Orang-orang Yahudi mengubah Taurat, dan Syi’ah mengubah Al-Qur’an.
4.   Orang Yahudi memusuhi Jibril dan mengatakan dia adalah musuh kami dari kalangan malaikat. Syi’ah mengatakan Jibril keliru lantaran menyampaikan wahyu kepada Muhammad.

Apa Kata Ulama? 

Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rah ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakar dan Umar, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah.“ Kemudian  ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya) orang lain…” (Siyar A’lamin Nu-balā’, 7/253)

Demikianlah saudaraku, pembahasan ringkas mengenai Syi’ah dan perbedaan mereka. Maka kita  dapat tahu bahwa gerakan penyatuan antara Sunni-Syi’ah adalah mustahil untuk dicapai. Semoga dapat menjadi pencerahan bagi kita agar selalu waspada dengan konspirasi mereka dalam menghancurkan Islam. Wallohu A’lam (jibrl-bwi)

Kamis, 10 April 2014

Antara Birul Walidain dan Jihad Fie Sabilillah



Berbakti kepada kedua orang tua [birul walidain] merupakan salah satu amal sholih yang mulia. Bahkan, Al Quran banyak menyebutkan keutamaannya. Alloh Ta’ala berfirman:

“Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (Terj QS An Nisa: 36).

Di dalam ayat ini perintah berbakti kepada dua orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama yaitu Tauhid. Hal ini menunjukkan sangat utamanya amal sholih ini di sisi Alloh ‘Azza wa Jalla. Bahkan, ada hadits Nabi SAW yang menyebutkan kedudukan birul walidain diatas jihad fi sabilillah,

Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Alloh?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Alloh.’” (HR. Al Bukhori no. 5970).

Ini dikuatkan lagi oleh hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:
“Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam dia minta izin untuk berjihad, maka Nabi bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berjihadlah kepada keduanya.” (berbaktilah padanya) [HR. Bukhari, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Al Jihad bi idzni Abawain, Juz. 10, Hal. 188, No hadits. 2782]

Apakah Jihad bertentangan dengan Birrul Walidain?

Sesungguhnya jihad merupakan amal yang agung dan sangat mulia. Ketika masih dalam status hukum yang fardhu kifayah pelaksanaannya diwajibkan meminta izin kepada orang tua. Ini merupakan pendapat jumhur ulama yang merujuk kepada hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang telah disebutkan di atas.

Namun ada hadits lain yang berbunyi:

Demi (Alloh) yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku benar-benar akan tinggalkan keduanya lalu aku akan berangkat berjihad. Rosul bersabda: "Engkau lebih tahu." (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, lihat Fat-hul Bari II/141)

Dalam memadukan pemahaman dua hadits tersebut Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fathul Bari: "Hadist yang pertama untuk jihad yang fardlu kifayah sedangkan hadits yang kedua adalah untuk jihad yang fardlu 'ain."

Kapan Jihad Menjadi Fardhu ‘Ain?

Penting diketahui bahwa hukum dasar jihad adalah fardhu kifayah, yang artinya : jika sebagian kaum muslimin sudah melaksanakannya maka kaum muslimin lainnya telah gugur kewajibannya dan jika mereka tidak ikut berjihad, maka tidak berdosa. 

Para ulama telah menetapkan bahwa saat ini, status hukum yang fardhu kifayah berubah menjadi fardhu ‘ain karena 3 kondisi:

Pertama, apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan, berdasarkan firman Allah Ta’ala

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).” (terj QS. al-Anfal: 15)

Kedua, apabila orang-orang kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri wajib berperang melawan dan mengusir mereka. Firman-Nya :

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (terj QS. Al-Taubah: 123)

Asy Syahid [insya Alloh] Syaikh Abdulloh Azzam rahimahulloh berkata jihad telah menjadi fardlu 'ain semenjak jatuhnya Andalusia [Spanyol] ke tangan orang-orang Nasrani, dan hukumnya belum berubah sampai hari ini. Dan jihad akan tetap fardlu 'ain sampai kita mengembalikan seluruh wilayah yang dahulu merupakan wilayah Islam, ke tangan kaum muslimin

Ketiga, Apabila imam (ulil amri) sudah menerintahkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka wajib keluar berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Maka apabila kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.” (Muttafaq ‘alaih)

Ketika Sudah Fardhu ‘Ain

Imam al-Shon’ani (penyusun Kitab Subulussalam Syarh Bulughul Marom) berkata,

“Mayoritas ulama berpendapat, diharamkan seorang anak berjihad apabila kedua orangtuanya atau salah satunya melarangnya, dengan syarat keduanya adalah muslim. Karena berbakti kepada kedua orang tua adalah fardhu ‘ain sedangkan jihad adalah fardhu kifayah. Maka apabila jihad [sudah] menjadi fardhu ‘ain, tidak perlu minta izin. Jika dikatakan, ‘Berbakti kepada kedua orang tua juga fardhu ain dan jihad juga dalam kondisi fardhu ‘ain, maka keduanya sama.

Apa alasan diutamakannya jihad?’ Aku katakan, ‘Karena kemaslahatan jihad lebih umum/luas, karena dia untuk menjaga dien dan membela kaum muslimin, maka maslahatnya yang lebih lebih luas didahulukan daripada selainnya’.”

Jadi?

Adalah sesuatu yang wajar manakala orangtua kita suatu saat akan mengalami sakit dan sebagai anak berkewajiban untuk menjaga, melindungi dan merawatnya. Memang, tidak berangkat jihad akan dapat melindungi jiwa kedua orang tua. Namun keengganan berartisipasi dan meninggalkan jihad justru akan menyebabkan kehancuran agama. Maka, dalam mengamalkan agama, kita perlu memahami sebuah kaedah bahwa kepentingan agama itu lebih didahulukan daripada kepentingan jiwa. Melindungi agama itu lebih didahulukan daripada melindungi jiwa.

Bahkan, Tidak ada seorang ulama' pun yang mengatakan wajib meminta ijin dalam melaksanakan hal-hal yang fardlu 'ain, walaupun kepada seorang Kholifah sekalipun. Termasuk Tidak ada keharusan untuk ijin kepada kedua orang tua dalam perkara-perkara fardlu 'ain, seperti jihad fi sabilillah. Wallohu A’lam (ekb-jbr)

Jauhilah Sifat-Sifat Munafik!

Sungguh, hal yang tidak bisa kita pungkiri hari ini, di mana kemungkaran, kemaksiatan, dan kemunafikan telah menjamur dan merajalela. Sebagian di antara kita, ada yang enggan dan berat hati lagi menghiraukan nasihat serta petuah yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagiannya lagi nekat menerobos dan menerjang hukum-hukum Allah Subhânahu wa Ta’âlâ hanya dengan dalih tidak selaras dengan akal dan pikiran manusia.  Lâ haula wala quwwata illâ billâh.

Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwasanya menerobos dan menerjang hukum-hukum Allah dengan dalih tidak selaras dengan akal dan pikiran merupakan tanda-tanda kemunafikan. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (terj QS an-Nisâ, [4]: 61)

Ada Apa dengan Munafik?

Munafik adalah istilah yang berasal dari kata nifaq. Secara bahasa (etimologi), Nifaq berarti salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lobang yang lain. (Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (V/98) oleh Ibnul Atsiir)

Nifaq menurut syara’ (terminologi) adalah menampakkan keislaman dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain.

Apabila yang disebut adalah munafik maka yang dimaksud adalah kata munafiq yang berarti orang yang melakukan perbuatan nifaq.

Nifaq adalah penyakit hati yang berbahaya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya. Dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (Terj QS Al-Baqarah: 10)

Apa saja Jenisnya?

1. Nifaq I’tiqadi adalah nifaq dalam keyakinan dan merupakan nifaq besar (Nifaq Akbar), di mana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan kekufuran.

Nifaq Akbar jenisnya ada empat macam, yaitu :
a.    Mendustakan Rasulullah SAW atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
b.    Membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa,
c.     Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam,
d.    Tidak senang dengan kemenangan atau kebangkitan Islam.

2. Nifaq ‘Amali adalah nifaq perbuatan yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq, tetapi masih tetap ada iman di dalam hati (nifaq asghar).

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: 
“Kesimpulannya, kemunafikan asghar semuanya kembali kepada berbedanya seseorang ketika sedang sendiri dan ketika terlihat (bersama) orang lain” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 747)

Inilah Perbedaannya
1.   Nifaq Akbar : menjadikan pelakunya keluar dari Islam, 
    Nifaq Asghar : tidak sampai mengeluarkan dari Islam.
2.   Nifaq Akbar : tidak mungkin bersatu dengan keimanan, 
    Nifaq Asghar : mungkin ada pada seorang yang beriman.
3.  Nifaq Akbar : pelakunya kekal di neraka, 
   Nifaq Asghar : pelakunya tidak kekal di neraka. (Lihat Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Waspadai Bahayanya!

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (terj QS An-Nisa: 145)

Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: 
“Sebagian orang mengira kemunafikan hanyalah ada di zaman Rasulullah SAW saja, tidak ada kemunafikan setelah zaman beliau. Ini adalah prasangka yang salah. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Kemunafikan pada zaman ini lebih dahsyat dari kemunafikan di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mereka berkata: ‘Bagaimana (bisa demikian)?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang munafik di zaman Rasulullah SAW menyembunyikan kemunafikan mereka. Adapun sekarang, mereka (berani) menampakkan kemunafikan mereka’.”

Saudaraku sekalian . . .

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita berhati-hati dan menjauhi orang-orang munafik sebagaimana firman-Nya: 
“Mereka (orang-orang munafik) adalah musuh maka hati-hatilah dari mereka…” (terj QS Al-Munafiqun: 4)

Marilah kita Bersandar kepada Allah, meminta kemudahan, ketetapan hati, dan keistiqamahan untuk berjalan di atas apa yang Allah Ta’âlâ ridhai. Mari kita jaga keluarga, dan orang-orang yang diamanatkan urusannya di atas pundak kita dari murka dan azab Allah Ta’âlâ
Nas’alullah al-’afwa wal afiyah. Wallahu A’lam (and-lmj)

Selasa, 08 April 2014

Islam Bersatu : Harapan Yang Tidak Salah Kaprah

Saudaraku Kaum Muslimin, tak jarang kita mendengar respon negatif, ketika ada seorang muslim mencoba menasihati saudaranya sesama muslim yang masih melakukan hal-hal yang dilarang dalam Islam. Yang ternyata larangan itu dilakukan karena beberapa alasan, seperti : ketidak tahuan, kurangnya  pemahaman dan bahkan kesengajaan.

Respon yang paling populer diantaranya adalah :
"Hei! Jangan memecah belah, kan masih ada celah kebaikan yang bisa kita manfaatkan!"
"Kenapa sih harus menjelek-jelekkan orang lain atau kelompok lain? Jangan merasa yang paling benar!"
“Masih sama-sama Islam kan, kok gampang menyesat-sesatkan bahkan mengkafir-kafirkan”
Dan masih banyak beragam respon negatif lainnya

Dari sini bisa disimpulkan bahwa ternyata masih ada pemahaman yang cenderung salah kaprah tentang konsep persatuan kaum muslimin.

Ketika seseorang berkata "Janganlah kalian melakukan Maksiat!" - Apakah berarti orang itu sedang memecah belah antara muslim maksiat dengan muslim taat?

Ketika seseorang berkata "Janganlah kalian berbuat Bid'ah!" - Apakah berarti orang itu sedang memecah belah antara muslim yang berbuat bid'ah dan yang berbuat sunnah?

Ketika seseorang berkata "Janganlah kalian berbuat Syirik!" - Apakah berarti orang itu sedang memecah belah antara muslim yang berbuat Syirik dan yang bertauhid ?

Sama sekali tidak! orang itu bukan sedang memecah belah, dan justru orang itu sedang dalam usaha untuk menghilangkan sebab-sebab terjadinya perpecahan kaum muslimin.

Jadi jika ditanya, Bagaimana cara membuat kaum muslimin bersatu? Jawabannya adalah kita harus berusaha menghilangkan segala sebab yang dapat membuat kaum muslimin berpecah belah. Ternyata ada 3 hal yang dapat meyebabkan kaum muslimin berpecah belah yaitu : 1. Syirik,
2. Bid'ah, 3. Maksiat (menyelisihi syariat)

Marilah kita fahami, Persatuan kaum muslimin bukan berarti meniadakan saling menasehati, bukan berarti harus menghormati dan mendiamkan orang yang berbuat Syirik, Bid'ah dan Maksiat (menyelisihi syariat) dengan alasan adalah hal yang biasa dalam perbedaan pendapat.
Fahamilah, Persatuan kaum muslimin bukan berarti tidak mengingkari perkara-perkara yang Munkar dan menyimpang. Fahamilah Juga, Persatuan Kaum Muslimin haruslah di atas Tauhid bukan Syirik, harus di atas Sunnah bukan Bid'ah dan Persatuan Kaum Muslimin harus di atas Taat bukan Maksiat. Jika tidak demikian, lalu di atas apa kita akan bersatu jika tidak di atas Alqur'an dan Sunnah dan dengan pemahaman para Sahabat Rasul?

Kelompok Islam = Membuat Perpecahan ?

Lalu bagaimana dengan kelompok-kelompok Islam yang ada seperti sekarang ini? apakah itu tidak termasuk memecah belah?

Berkelompok-kelompok (berjama'ah) itu tidaklah mengapa, bahkan sangat dianjurkan menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok Islam yang jelas jalan perjuangannya, yang mempunyai tujuan dalam rangka menegakan dienul Islam maka bukanlah suatu bentuk perpecahan, justru itu bentuk komitmen tauhid dalam rangka mewujudkan Khilafah Islamiyah

Begitu juga dengan perbedaan pendapat para ulama, jika ada 3 pendapat para ulama dalam suatu perkara, maka kita diwajibkan memilih pendapat yang paling kuat diantara 3 pendapat tersebut, bukan membuat pendapat yang ke 4. Dengan catatan, Ulama yang dimaksud adalah ulama yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Sunnah bukan ulama sinetron atau ulama artis atau bahkan ulama Su’ (yang buruk).

Pahami juga, perbedaan pendapat yang dimaksud adalah pendapat yang syar'i, berbeda pendapat tidak masalah selama masih syar'i atau ada dasar dalilnya dan bukan urusan ushul dien (pokok dien Islam).

Sedangkan perkara Syirik dan Bid'ah bukanlah suatu pendapat, melainkan suatu bentuk penyimpangan. Jadi, tidak boleh kita artikan jika ada Ulama, Ustadz ataupun siapa saja yang berbuat Syirik dan Bid'ah adalah sebuah perbedaan pendapat yang kita harus biarkan atau hormati. Justru sebaliknya, itulah segala bentuk penyimpangan itu wajib kita ingkari.

Dari bahasan yang singkat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika ingin Kaum Muslimin bersatu, maka bersatulah di atas Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush shalih. Dan rangkullah kaum muslimin yang berpotensi menyimpang dengan berusaha menghilangkan segala perkara-perkara penyimpangan yang dapat memecah belah ummat (syirik, bid'ah & maksiat / meyelisihi syariat).

Allah 'azza wa jalla berfirman:

"Katakanlah (Muhammad)," Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah,dan aku tiada termasuk orang-orang musyrik." (TQS Yusuf : 108).

Istiqomah [mungkin] memang sulit, akan tetapi itu tidak menunjukkan bahwa istiqomah mustahil bagi orang-orang yang beriman. Oleh karenanya marilah kita berdo'a kepada Allah SWT agar diberikan ketetapan di atas Islam dan Sunnah Nabi-Nya, hidup dan wafat di atas keduanya, karena tidak ada kemuliaan bagi seorang muslim kecuali karena berpegang teguh kepada keduanya.

Dari 'Abdullah bin 'Umar ra, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang-orang yang menyelisihi Sunnahku." (HR. Ahmad dalam Musnad-Nya, II/50, 92, Ibnu Abi Syaibah, Kitaabul Jihad, V/575, no. 98)

Berkata Imam Ibnu Qudamah rhm, "Dalam mengikuti Sunnah Rasulullah Muhammad SAW terdapat keberkahan dalam mengikuti syari'at, meraih keridhaan Allah SWT, meninggikan derajat, menenteramkan hati, memenangkan badan, menjadikan syaithan marah, dan berjalan di atas jalan yang lurus." (Dharuratul Ihtimam, hal. 43)

"Yaa muqallibal qulub, tsabit qalbi 'ala dinik." Wahai Dzat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas Dien (milah, manhaj & syariat). -Mu (yang lurus). (nas-jbr)