Dikutip
dari vivanews.com, Komisi Kepolisian Nasional mengecam aksi bejat oknum Polisi
yang memperkosa anak di bawah umur. Apalagi tindakan tak bermoral yang
dilakukan seorang aparat penegak hukum itu dilakukan di kantor Polsek wilayah
Gorontalo.
"Sungguh
perbuatan yang memalukan dan sangat tidak pantas secara norma, moral dan hukum
dilakukan oleh anggota Polri," kata Hamidah Abdurrachman, Anggota
Kompolnas kepada VIVAnews, Sabtu 12 Oktober 2013.
Aksi
pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota Polisi di kantor Polsek di Gorontalo
itu disertai ancaman. Aksi bejat itu terungkap setelah korban berinisial IU
(16), menceritakan ke keluarganya. Mendengar cerita itu, orangtuanya pun marah.
Mereka kemudian mendatangi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Mapolda
Gorontalo untuk melaporkan kasus pemerkosaan terhadap anaknya.
Bagaimana Menurut
Islam?
Nabi
Shalallahu Alaihi Wasallam berkhutbah setelah terlebih dulu memuji dan
bersyukur kepada Allah. “Amma ba’du.
Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri
dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang mencuri seorang yang miskin maka
dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Apabila
Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya.” (HR.
Bukhari)
Hukum
Islam bagi seseorang yang melakukan pemerkosaan adalah dihukum mati. Banyak
yang heran dengan kejamnya hukuman ini. Bahkan menganggap Islam adalah agama
yang sadis, bar-bar! Jika kita
berikan satu pertanyaan kepada ratusan orang non muslim,
“Jika seseorang memerkosa istri anda, Ibu anda, atau Saudari anda.
Kemudian anda menjadi hakim di pangadilan si pemerkosa, hukuman apa yang akan
anda jatuhkan? Semuanya akan menghukum mati!, bahkan ada yang akan menyiksa
dulu sampai mati. Kemudian saya bertanya lagi, tetapi jika tindakan yang sama
(pemerkosaan) dilakukan kepada saudari orang lain, ibu orang lain, istri orang
lain, kenapa anda mengatakan hukuman mati untuk pemerkosa itu sadis dan tidak
berprikemanusiaan? Kenapa ada standar
ganda dalam penerapan hukum?” (DR. Zakir Naik, Islamic Research Foundation)
Syekh
Umar bin Muhammad bin Ibrahim dalam “Ahkam al-Janin fi al-Fiqh al-Islami”,
menjelaskan perkosaan dalam kajian fiqih dikenal dengan istilah ightishob.
Secara terminologi, kata itu berarti pengambilan
hak secara zalim dan dengan paksaan. Ini kemudian dipakai untuk perampasan
kehormatan perempuan secara paksa.
Hukum
positif yang kerap menjerat pelaku pemerkosaan tak bisa membuat jera, sehingga
cenderung membuat peningkatan kasus, buktinya seperti di Negara-negara yang
menerapkan hukum sekuler. Berbeda sekali jika diterapkan hukum Islam oleh
Mujahidin Taliban pada wilayah yang mereka kuasai di sebagian Afghanistan.
Hukum
Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua:
1) Pemerkosaan tanpa mengancam dengan
menggunakan senjata,
2) Pemerkosaan dengan Menggunakan Senjata
1)
Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata
Pelaku
pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika
dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka
dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama
mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban
pemerkosaan.
Imam
Malik mengatakan, “orang yang memperkosa
wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah
wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang
wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta
senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Hukuman dalam masalah
ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak
mendapatkan hukuman sama sekali.” (Kitab
Al-Muwaththa’, 2:734)
Menurut
pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Pemerkosa dijatuhi hukuman rajam atau cambuk.
Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, “Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.”
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil
pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua
kewajiban untuk pemerkosa, hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara
kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk.” (Kitab Al-Muntaqa Syarah Al-Muwaththa’, 5:268).
2. Pemerkosaan dengan Menggunakan Senjata
Orang
yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana
perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya,
hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu,
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka
mendapat siksaan yang besar.”
(QS. Al-Maidah: 33)
Dari
ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok:
1. Dibunuh,
2. Disalib,
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang,
misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan, dan
4. Diasingkan atau dibuang;
saat ini bisa diganti dengan penjara.
Pengadilan boleh memilih salah satu
di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dianggap paling sesuai untuk
pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud
keamanan dan ketenteraman di masyarakat.
Harus ada bukti
atau pengakuan pelaku
Ibnu
Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat
bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had,
jika terdapat bukti jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau
pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas
maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita
korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa
oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan
tolongnya.” ( Kitab Al-Istidzkar,
7:146)
Syeikh
Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar
di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang
menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui
atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain
hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut
darinya.” (Disarikan dari Fatawa
Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no.
72338).