Minggu, 12 Januari 2014

Hukuman Pemerkosa



Dikutip dari vivanews.com, Komisi Kepolisian Nasional mengecam aksi bejat oknum Polisi yang memperkosa anak di bawah umur. Apalagi tindakan tak bermoral yang dilakukan seorang aparat penegak hukum itu dilakukan di kantor Polsek wilayah Gorontalo.

"Sungguh perbuatan yang memalukan dan sangat tidak pantas secara norma, moral dan hukum dilakukan oleh anggota Polri," kata Hamidah Abdurrachman, Anggota Kompolnas kepada VIVAnews, Sabtu 12 Oktober 2013.

Aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh anggota Polisi di kantor Polsek di Gorontalo itu disertai ancaman. Aksi bejat itu terungkap setelah korban berinisial IU (16), menceritakan ke keluarganya. Mendengar cerita itu, orangtuanya pun marah. Mereka kemudian mendatangi Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Mapolda Gorontalo untuk melaporkan kasus pemerkosaan terhadap anaknya.

Bagaimana Menurut Islam?

Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berkhutbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tidak dihukum), tetapi jika yang mencuri seorang yang miskin maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Apabila Fatimah anak Muhammad mencuri maka aku pun akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari)

Hukum Islam bagi seseorang yang melakukan pemerkosaan adalah dihukum mati. Banyak yang heran dengan kejamnya hukuman ini. Bahkan menganggap Islam adalah agama yang sadis, bar-bar! Jika kita berikan satu pertanyaan kepada ratusan orang non muslim, 

Jika seseorang memerkosa istri anda, Ibu anda, atau Saudari anda. Kemudian anda menjadi hakim di pangadilan si pemerkosa, hukuman apa yang akan anda jatuhkan? Semuanya akan menghukum mati!, bahkan ada yang akan menyiksa dulu sampai mati. Kemudian saya bertanya lagi, tetapi jika tindakan yang sama (pemerkosaan) dilakukan kepada saudari orang lain, ibu orang lain, istri orang lain, kenapa anda mengatakan hukuman mati untuk pemerkosa itu sadis dan tidak berprikemanusiaan? Kenapa  ada standar ganda dalam penerapan hukum?” (DR. Zakir Naik, Islamic Research Foundation)

Syekh Umar bin Muhammad bin Ibrahim dalam Ahkam al-Janin fi al-Fiqh al-Islami, menjelaskan perkosaan dalam kajian fiqih dikenal dengan istilah ightishob. Secara terminologi, kata itu berarti pengambilan hak secara zalim dan dengan paksaan. Ini kemudian dipakai untuk perampasan kehormatan perempuan secara paksa.

Hukum positif yang kerap menjerat pelaku pemerkosaan tak bisa membuat jera, sehingga cenderung membuat peningkatan kasus, buktinya seperti di Negara-negara yang menerapkan hukum sekuler. Berbeda sekali jika diterapkan hukum Islam oleh Mujahidin Taliban pada wilayah yang mereka kuasai di sebagian Afghanistan.

Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua: 
1) Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata, 
2) Pemerkosaan dengan Menggunakan Senjata

1) Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata
Pelaku pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.

Imam Malik mengatakan, “orang yang memperkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Kitab Al-Muwaththa’, 2:734)

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Pemerkosa dijatuhi hukuman rajam atau cambuk. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, “Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.” Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk.” (Kitab Al-Muntaqa Syarah Al-Muwaththa’, 5:268).

2. Pemerkosaan dengan Menggunakan Senjata
Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
(QS. Al-Maidah: 33)

Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok: 
1. Dibunuh, 
2. Disalib, 
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang, misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan, dan 
4. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa diganti dengan penjara

Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dianggap paling sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan dan ketenteraman di masyarakat.

Harus ada bukti atau pengakuan pelaku

Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” ( Kitab Al-Istidzkar, 7:146)
   
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.” (Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338).

Jelas bahwa Hukum Allah jauh lebih baik daripada hukum jahiliyyah buatan manusia seperti KUHP dan lainnya. Penerapan Hukum Allah menjamin berkurangnya angka kejahatan. Sementara hukum penjara buatan manusia, selain merampas dana untuk fakir miskin guna pembangunan penjara, makanan bagi para penjahat, serta gaji para penjaganya, juga menimbulkan kejahatan lainnya. Wallohu 'alam (jbr)