Jumat, 17 Januari 2014

TAHUN BARU YANG MENIPU



Beberapa hari lagi masyarakat akan menyaksikan perayaan besar yang dilangsungkan semarak di seluruh dunia. Ya, itulah perayaan tahun baru masehi yang rutin disambut dan dimeriahkan setiap malam 1 Januari dengan berbagai acara dan kemeriahan.

Bagaimana Sejarahnya?

Perayaan tahun baru masehi merupakan pesta warisan dari orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mempersembahkan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat pemuja berhala [paganis] Romawi. Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pemujaan berhala [pagan] adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dsb.

Tahun Baru = Hari Raya Orang Kafir?

Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang dengan alasan sebagaimana berikut:

Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka.

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” HR. Muslim no. 2669

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”

Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. 

Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanah: 1)

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan sama sekali tidak ada unsur ritualnya. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka. Naudzu billah
Selain hal diatas, merayakan tahun baru juga merupakan pekerjaan yang banyak membawa mudharat baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Hal-hal yang membawa mudharat itu antara lain :
Pertama, Membuka Pintu Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan konser musik dan mengumbar aurat. Bahkan juga dilakukan minum khamar, berzina, dan kegiatan lain yang dapat mengganggu kaum muslimin . Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, dan dianjurkan memuliakannya dengan memperbanyak sholat malam. bukan untuk begadang sepanjang malam dengan menunggu malam pergantian tahun dengan kegiatan yang tidak ada nilai amal sholihnya sama sekali. Bukankah Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sebagian tanda dari baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan Tirmidzi dan lainnya)
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
Kedua. Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan. 

Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?!  Padahal Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya),  “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).

Saudaraku, Kaum Muslimin! 

Mari kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “Ketahuilah bahwa menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan membuatmu lalai dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” [h4n-prob]