Beberapa hari lagi masyarakat akan
menyaksikan perayaan besar yang dilangsungkan semarak di seluruh dunia. Ya,
itulah perayaan tahun baru masehi yang rutin disambut dan dimeriahkan setiap
malam 1 Januari dengan berbagai acara dan kemeriahan.
Bagaimana Sejarahnya?
Perayaan tahun baru masehi merupakan pesta
warisan dari orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mempersembahkan
hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates,
Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah,
satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai
filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada
tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar
Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah
diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius
Caesar dibantu oleh Sosigenes,
seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan
baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan
orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun
46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat
tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa
menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar
terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius
atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti
Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Fakta ini menyimpulkan bahwa perayaan tahun
baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru
masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat pemuja
berhala [paganis] Romawi. Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern
dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pemujaan berhala [pagan]
adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini
dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak
cahaya kembang api, dsb.
Tahun Baru = Hari Raya Orang Kafir?
Turut merayakan tahun baru statusnya sama
dengan merayakan hari raya orang kafir. Dan ini hukumnya terlarang dengan
alasan sebagaimana berikut:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan
meniru kebiasaan mereka.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian
sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang
kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun
akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang
diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
HR. Muslim no. 2669
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan
hadits di atas menjelaskan, “Yang
dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang
hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum
muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum
muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan
dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau
karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk
loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka.
Padahal Allah melarang kita
untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan
menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa
kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan
doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut
merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah
bersabda di hadapan penduduk madinah, “Saya
mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan
sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya
terbaik untuk kalian; Idul Fitri dan
Idul Adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud,
dan Nasa’i).
Perayaan Nairuz
dan Mihrajan yang dirayakan penduduk Madinah,
isinya hanya bermain-main dan makan-makan sama sekali tidak ada unsur ritualnya.
Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya
terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan
orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya,
termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara
mereka. Naudzu billah
Selain hal diatas, merayakan tahun baru juga
merupakan pekerjaan yang banyak membawa mudharat baik bagi diri sendiri maupun
orang lain. Hal-hal yang membawa mudharat itu antara lain :
Pertama, Membuka Pintu Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam
tahun baru dengan konser musik dan mengumbar aurat. Bahkan juga dilakukan minum
khamar, berzina, dan kegiatan lain yang dapat mengganggu kaum muslimin . Bahkan
bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT
telah menjadikan malam untuk berisitrahat, dan dianjurkan memuliakannya dengan
memperbanyak sholat malam. bukan untuk begadang sepanjang malam dengan menunggu
malam pergantian tahun dengan kegiatan yang tidak ada nilai amal sholihnya sama
sekali. Bukankah Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda: “Sebagian tanda dari
baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna
baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan Tirmidzi dan lainnya)
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah
upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim
dikerjakan para ahli maksiat.
Kedua. Meniru Perbuatan Setan dengan
Melakukan Pemborosan.
Jika kita
perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000
untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu
yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah
berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru
perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari
itu?! Padahal Allah Ta’ala telah
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
Mari kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “Ketahuilah bahwa menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan membuatmu lalai dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.” [h4n-prob]