Hari kemerdekaan 17 Agustus telah lewat, peringatan di berbagai pelosok negeri juga sudah berlalu dengan segala pernak-perniknya. Namun di balik peringatan tersebut masih tersisa pertanyaan mengenai status NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) menurut timbangan syariat Islam, apakah berstatus negara Islam (Darul Islam) atau negara kufur (Darul Kufur/Harby)?
Pembagian Negara
Para ulama membagi dunia menjadi dua negara, yaitu Daarul Islam dan Daarul Kufri. Hal ini didasari dengan kenyataan, bahwa akibat dari dakwah Rasulullah SAW maka manusia terpecah menjadi dua kelompok ; orang yang beriman kepada beliau dan orang yang kafir kepada beliau.
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” [terj. QS. An Nahl :36].
Allah Ta’ala kemudian memerintahkan kaum beriman untuk berhijrah, berpindah dari tengah-tengah orang-orang kafir menuju Madinah. Maka jadilah Madinah sebagai Daaru al Hijrah (negara tempat hijrah) cikal bakal Darul Islam. Di sanalah Rasulullah membina negara Islam, dan kewajiban hijrah ke Madinah terus berlanjut sampai terjadinya Fathu Makkah, bahkan kewajiban hijrah tetap berlaku atas setiap individu muslim yang tinggal di tengah orang-orang kafir.
“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik, supaya api keduanya tidak bertemu.” ( HR. Abu Daud )
Dengan itulah, negara terpecah menjadi Daarul Islam, yaitu tempat kaum muslimin berkuasa dan memerintah, dan Daarul Kufri, tempat kaum kafir berkuasa.
Definisi Darul Islam atau Darul Kufri
Imam ibnu Qayyim berkata, ”Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negara tersebut bukanlah daarul Islam, sekalipun negara tersebut berdampingan dengan sebuah daarul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah ; Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” [Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim, cet. Daarul Ilmi lil malayiin,1983 ].
Imam Asy Syarakhsi ”Sebuah negara berubah menjadi negara kaum muslimin dengan dipraktekkannya hukum-hukum Islam.” [As Siyaru al Kabiru 5/2197].
Al Qadhi Abu Ya’la Al Hanbali mengatakan, ”Setiap negara di mana hukum yang dominan (superioritas hukum) adalah hukum-hukum kafir adalah daarul kufri.” [Al Mu’tamadu Fi Ushuli Dien hal. 276, Daarul Masyriq, Beirut, 1974].
Standar penilaian Status Negara
Perkataan para ulama di atas telah menyebutkan dua sebab dalam menghukumi sebuah negara :
Pertama. Kekuatan dan dominasi. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, Karena sebuah tempat {wilayah) dinisbahkan kepada kita (muslimin) atau kepada mereka (kafirin) berdasar kekuatan dan dominasi.
Kedua. Jenis hukum yang diberlakukan di tempat tersebut, sebagaimana terdapat dalam semua pendapat ulama yang kami nukil di atas.
Setelah diteliti, dua sebab ini ternyata kembalinya kepada satu sebab, yaitu alasan hukum yang berlaku di negara tersebut. Antara dua pendapat ini sebenarnya tidak ada kontradiksi, karena dominasi dan hukum itu dua hal yang berkaitan erat.
Syubhat dalam menilai status negara
Saat ini, banyak pihak telah salah ketika mengira bahwa dengan menetapnya banyak umat Islam di beberapa negara dengan aman dan mampu melaksanakan beberapa syiar agama mereka, seperti : adzan, sholat, shaum dan lain-lain, sudah cukup untuk menganggap negara tersebut sebagai negara Islam. Bahkan sebagian pihak menyatakan: “Bagaimana kalian mengatakan negara fulan adalah negara kafir, padahal di ibukotanya ada lebih dari seribu masjid?”
Padahal itu semua jelas bukan merupakan standar dalam menilai status sebuah negara, sebagaimana telah kami jelaskan pendapat para ulama di atas.
1. Agama mayoritas warga negara tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara. Dasarnya adalah Khaibar yang ditinggali oleh kaum Yahudi. Ketika Rasulullah saw menaklukkannya pada tahun 7 H, Rasulullah saw menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya (HR Bukhari no. 4248), Rasulullah saw lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {HR Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negara Khaibar adalah kaum Yahudi --- sampai ketika Umar bin Khathab mengusir mereka pada masa kekhilafahannya ---, meski demikian hal ini tidak menghalangi status Khaibar sebagai sebuah negara Islam, karena Khaibar di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar.
Namun status sebuah negara juga tidak otomatis mengubah status agama individu di dalamnya. Dan begitu pula sebaliknya.
2. Pelaksanaan sebagian syiar Islam atau syiar kafir tidak berpengaruh terhadap status sebuah negara. Dasarnya, ketika masih di Makkah, Rasulullah saw sudah melaksanakan Islam secara terang-terangan. Beliau mendakwahkan Islam, menampakkan secara terang-terangan permusuhan dan berlepas dirinya beliau dari orang-orang musyrik dan apa yang mereka ibadahi (turunnya QS Al Kafiirun). Sebagian sahabat r.a juga melaksanakan sholat dan membaca Al Qur’an secara terang-terangan. Meski demikian, Makkah tidak berubah statusnya menjadi sebuah negara Islam. Kaum muslimin bahkan berhijrah dari Makkah karena dikuasai orang-orang kafir.
Demikian juga sebaliknya. Adanya beberapa orang kafir –seperti ahlu dzimah— di sebuah negara Islam dan mereka melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka secara terang-terangan, tidaklah mengubah status negara menjadi negara kafir, karena pelaksanaan ajaran-ajaran agama kafir mereka secara terang-terangan bukan berasal dari kekuasaan mereka, melainkan dari izin kaum muslimin.
Kesimpulan
Dari berbagai keterangan di atas, akhirnya kita dapat menilai secara ilmiah status sebuah negara termasuk NKRI kita ini. Karena seiring dengan banyaknya persoalan di negeri ini baik secara ekonomi, politik, akhlaq dan lain sebagainya, maka sudah selayaknya bagi kita untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan dengan mengusahakan berlakunya syariat Islam sebagai sumber segala sumber hukum agar tercipta Baldatun Thoyyibatun wa robbun Ghofur di negeri ini sebagai cikal bakal khilafah Islamiyah di muka bumi. Amiin. Wallahu ‘alam bishowab. (wid)