Mengapa Jihad?
Syariat
jihad turun dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rabb pencipta manusia dan alam
semesta. Dia paling mengetahui hal-ikhwal para makhluk-Nya; baik sifat dan
tabiatnya. Karenanya jika Allah perintahkan jihad terhadap orang kafir nan
zalim, itu pastilah tepat. Karena keberadaan mereka hanya untuk membuat
kerusakan di di muka bumi. Sebagaimana firman-Nya ketika mengisahkan peperangan
antara tentara Thalut dan Jalut sehingga terbunuhlah Jalut,
“Seandainya Allah
tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti
rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas
semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 251)
Nampak
jelas anugerah Allah untuk alam raya ini melalui kewajiban jihad terhadap
orang-orang kafir dan melenyapkan tindakan perusakan mereka. Atas izin-Nya,
Allah memberikan kemenangan kepada mereka dan menjaga kemakmuran bumi ini.
Sebaliknya, ditinggalkannya jihad maka akan terjadi kerusakan di muka bumi dan
terhinakan umat Islam di hadapan umat-umat lain. Allah tidak akan mengangkat
kehinaan tersebut sehingga mereka kembali kepada ajaran agamanya dan kembali
angkat senjata melawan musuh-musuh mereka.
Hukum Jihad
Hukum
asal dari Jihad adalah fardhu kifayah. Hal ini bukan berarti kita boleh
meremehkannya dan bukan pula berarti tidak wajib atas umat. Tapi fardhu kifayah
apabila tidak ada yang menegakkannya maka seluruh umat berdosa. Hal ini sesuai
dengan kesepakatan ahli ilmu.
Karena
jihad termasuk ibadah yang paling mulia. Rasulullah SAW pernah ditanya, “Siapakah manusia yang paling utama?” Beliau
menjawab, “Seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.”
(Muttafaq ‘alaih)
Imam
Ahmad rahimahullahu berkata, “Aku tidak mengetahui
ada satu amal setelah shalat fardhu yang lebih utama daripada jihad.”
Ketika disebutkan kepada beliau tentang jihad, maka beliau menangis dan
berkata, “Tidak ada satu amal kebaikan
yang lebih utama daripadanya.”
Kapan Jihad Menjadi
Fardhu ‘Ain
Para
ulama telah menetapkan bahwa hukum jihad berubah dari farhu kifayah menjadi
fardhu ‘ain dalam tiga kondisi:
Pertama,
apabila dua pasukan sudah bertemu dan berhadapan berdasarkan firman Alla
Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur).” (QS. al-Anfal: 15)
Kedua,
apabila orang-orang kafir sudah memasuki negeri muslim, bagi penduduk negeri
wajib berperang melawan dan mengusir mereka. Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah
orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan daripadamu.” (QS. Al-Taubah: 123)
Ketiga,
Apabila imam sudah menunjukkan suatu kaum untuk keluar berjihad maka mereka
wajib keluar berdasarkan sabda Nabi SAW, “Maka
apabila kalian diperintah untuk keluar berjihad, maka keluarlah!.”
(Muttafaq ‘alaih)
Pembagian Jihad
Para
Ulama membagi jihad melawan orang-orang kafir menjadi dua, yaitu Jihad Difa’i (Jihad Bertahan) dengan
hukum fardhu kifayah dan Jihad Tholab
(Jihad menyerang) dengan hukum fardhu ‘ain.
Jihad
difa’i ini adalah untuk membela dien, kehormatan, dan jiwa. Bahkan peperangan
ini sifatnya terpaksa, mau atau tidak harus dilakukan. Sementara yang kedua
merupakan perang pilihan untuk menambah pemeluk dien, meninggikannya, dan untuk
menakut-nakuti musuh seperti dalam perang Tabuk.
Apa Hukum Jihad
Hari ini?
Adapun
saat ini; peperangan telah berlangsung di negeri-negeri kaum muslimin selama
bertahun-tahun, maka tiada lagi alasan seorang muslim di muka bumi ini menunda
untuk berpartisipasi dalam jihad. Ibnu Taimiyah: “Dan seluruh wilayah Islam itu ibarat satu negeri karena semua negeri
Islam itu ibarat satu negeri.”
Jihad hari ini adalah Jihad Difa’i dengan hukum fardhu ‘ain karena berbagai alasan
sebagai berikut :
1) Musuh
menyerang dan menguasai satu atau lebih daerah-daerah kaum muslimin,
buktinya meliputi :
a.
Jatuhnya Andalus (Spanyol) ke tangan orang-orang Nasrani dan terusirnya umat
Islam dari sana tahun 1492 M.
b.
Pada tahun 1917 M Palestina jatuh ke tangan Inggris dan pada tahun 1948 M
berdiri di atasnya negara Israel Raya.
c.
Daerah Turkistan telah jatuh ke tangan bangsa komunis. Turkistan Barat dijajah
oleh Russia dan dipecah menjadi lima negara kecil: Kirgistan, Turkmenistan,
Tajikistan, Uzbekistan dan Kazaktan. Turkistan Timur dijajah oleh Cina dan
diganti menjadi Sinkiang.
d.
Daerah India dahulu adalah wilayah daulah Mamalik (Mongol) Islam selama ratusan
tahun, kemudian jatuh ke tangan Inggris. Setelah merdeka sampai hari ini
kekuasaan dipegang oleh kaum paganis Hindu dan umat Islam sebagai bangsa
minoritas ditindas.
Masih banyak daerah kaum muslimin hari ini
yang berada di genggaman orang-orang kafir. Selama daerah-daerah kaum muslimin
itu belum terlepas dari tangan musuh maka jihad hukumnya fardhu ‘ain. Dr.
Abdulloh Azzam memperjelas bahwa hukum jihad pada hari ini sebagai fardhu ‘ain
sampai seluruh daerah yang pernah dikuasai kaum muslimin terbebaskan dari
kekuasaan orang-orang kafir dan kembali lagi ke pangkuan kaum muslimin.
2) Ditawannya
ribuan umat Islam di tangan musuh, demikian juga penuhnya penjara dengan
para da’i dan umat Islam.
Abdullah Azzam rahimahullah mengatakan jika
seorang perempuan muslimah tertawan maka seluruh umat Islam harus
membebaskannya meskipun menghabiskan seluruh harta, dan mengorbankan nyawa
mereka. Hari ini ribuan nyawa umat Islam terbantai, wanita-wanitanya dinodai,
harta mereka dirampas dan mereka tak menemukan perlindungan serta pembelaan,
maka jihad menjadi fardhu ‘ain sampai mereka semua mendapatkan haknya seperti
semula. Kekejaman ini terjadi karena penerapan sistem sekuler-demokrasi serta
meninggalkan dan mengganti syariat Islam dengan UU buatan manusia.
3) Runtuhnya
khilafah Islamiyah sejak 1924 M.
Imam Syaukani berkata: “Jika disyariatkan mengangkat amir untuk tiga orang yang berada di
tempat yang luas atau bersafar maka pensyariatannya untuk jumlah yang lebih
besar yang menempati desa-desa dan kota-kota. Dan dibutuhkan untuk mencegah
kezaliman dan menyelesaikan persengketaan lebih penting dan lebih berhak lagi”.
Karena itu hal ini menjadi dalil bagi yang berpendapat, ”Wajib bagi kaum muslimin untuk menegakkan pemimpin, para wali dan
penguasa” [Nailul Authar VIII/288].