Sesungguhnya kebaikan dan pembangunan spiritual adalah dengan jalan meneladani kepribadian Nabi SAW, dan petunjuknya serta meneladani figur-figur sahabat kenamaan, seperti Umar Bin Khattab, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah, dan Qa’qa radhiyallahu ‘anhum, demikian Syekh Abu Qotadah menjelaskan.
Dan pedoman itu adalah Siroh Nabawiyah, kisah teladan dari Rasulullah SAW., bersama para sahabat dalam berjuang menegakkan Islam, menegakkan peradaban manusia yang terbaik untuk saat itu dan seterusnya.
Di dalam Sirah Nabawiyah terdapat perang frontal yang menyeluruh, seperti pada Perang Badar, dan Perang Uhud. Ada ightiyaal (pembunuhan dengan tipu muslihat) dan pembersihan biang-biang kekafiran (seperti pembunuhan Ka’ab bin Asyraf dan biang kekafiran yang lain).
Di dalam Sirah Nabawiyah terdapat kesepakatan-kesepakatan dan perjanjian-perjanjian, seperti Perjanjian Hudaibiyah dan Kesepakatan Damai antara Rasulullah SAW., dengan Yahudi pada saat awal hijrahnya.
Di dalam Sirah Nabawiyah terdapat revolusi dan perubahan vertical yang menyeluruh, terdapat jihad defensif, seperti Perang Uhud, dan Perang Khandaq, dan juga ada perang Ofensif, seperti Futuh Mekkah dan Perang Hunain, bahkan Perang Mu’tah, Perang Tabuk dan beberapa perang yang lain yang berkumpul di dalamnya jihad defensif dan ofensif, serta mencerai beraikan dan menakut-nakuti musuh.
Demikianlah, Sirah Nabawiyah merupakan kisah riwayat yang kaya dan sarat dengan pengalaman, yang memenuhi jiwa seorang Muslim, mengayakan batinya dan menghidupkannya dengan adanya contoh yang baik bagi sebagian besar peristiwa peperangan dan taktik-taktiknya. Akan tetapi buku-buku Sirah Nabawiyah saat ini malah menjadi buku-buku untuk mendapatkan berkah, bukan buku-buku untuk ilmu dan pengetahuan.
Ilmu perang, taktik-taktik dan sarana-sarananya adalah ilmu-ilmu yang bersifat humanis dan telah populer, baik suka ataupun tidak. Sesungguhnya ilmu-ilmu itu termasuk perkara yang seharusnya kita menangisi umat Islam atas berpalingnya mereka dari ilmu-ilmu tersebut. Ilmu-ilmu itu lahir dari pengalaman empirik dan pengkajian dari kolektifitas akal yang sangat interes terhadap ilmu-ilmu, dan diambil dari tempat-tempatnya yang cuma diketahui oleh para pengkaji dan peneliti.
Kadang orang fasik kuat memahami ilmu tadi sedang orang beriman lemah memahaminya, dan saat itu kita mengeluh seperti Umar bin Khattab ra., mengeluhkan ketika dia mengatakan : “Ya Allah sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari kelemahan orang yang taqwa dan kekuatan orang yang fajir.”
Revolusi Islam : Perubahan Dari Darul Kufur Menjadi Darul Islam
Perjuangan Rasulullah SAW., bersama para sahabat adalah sebuah revolusi terbesar umat manusia di muka bumi ini, yakni sebuah Revolusi Islam mengubah Mekkah yang Darul Kufur (Negeri Kafir), menjadi Darul Islam (Negeri Islam). Seluruh episode perjuangan tersebut terekam dalam Siroh Nabawiyah yang dapat diputar ulang oleh seluruh kaum Muslimin saat ini.
Apalagi pada saat ini, tidak ada lagi Darul Islam (Negeri Islam) dalam pengertian yang hakiki, semenjak runtuhnya Khilafah Islam terakhir di Turki, pada tanggal 3 Maret 1924. Maka, sejak saat ini kaum Muslimin memulai kembali perjuangan untuk menapak tilasi jejak langkah Rasulullah SAW., bersama para sahabat yang mulia.
Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abu Abdillah Al Muhajir, rahimahullah, dalam kitabnya “Masailu min Fiqhil Jihad” yang kemudian diterjemahkan oleh Abu Nabila Farida Muhammad menjadi “Kupas Tuntas Fiqih Jihad” dan dipublikasikan oleh Maktabah Jahizuna, yang menjelaskan mengenai perubahan status Darul Islam.
Menurut beliau, perubahan status darul Islam menjadi darul kufri wal harbi, dijelaskan : sifat dari suatu dar bukan sifat yang menjadi kelaziman yang tetap baku, namun ia dapat berubah. Maknanya: bahwa dar kadang-kadang bisa berubah dari satu sifat kepada sifat yang lain, maka bisa pada suatu waktu darul kufri menjadi darul Islam, begitu pula darul Islam pada suatu waktu menjadi darul kufri.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh: Sifat suatu dar bisa saja berubah dari sifat darul kafiratau darul Islam atau darul Iman atau darus salam atau darul harbi atau darul tho’at atau darul maksiat ataudarul mu’minin atau darul fasiqin. Sifat-sifat ini bisa berubah dari satu sifat ke sifat lainnya sebagaimana bisa berubahnya seorang kafir menjadi beriman dan berilmu serta sebaliknya. (Al-Fatwa 27/45, lihat 18/282-284, 27/143-144)
Dan jumhur ulama dan para imam berpendapat bahwa darul Islam menjadi darul kufri wal harbi dengan sebab berlakunya hukum-hukum kafir di dalamnya tanpa harus menyertakan syarat yang lain, dan perkataan ini telah diterangkan sebelumnya sebagaimana telah disebutkan bahwa manath hukum dari status dar adalah bentuk hukum yang berlaku di dalamnya, bukan dengan syarat-syarat selainnya.
Telah berkata Ibnu Hazm rohimahulloh: Bahwa status suatu dar disandarkan pada hukum yang diberlakukan didalamnya, bentuk pemerintahan yang berlaku dan presidennya. (Al-Muhalla , 11/200)
Maka telah jelas, status negeri-negeri dimana kaum Muslimin hidup pada saat ini adalah persis sebagaimana Rasulullah SAW., hidup bersama para sahabat pada awalnya, yakni ketika di Mekkah yang statusnya adalah Darul Kufur. Maka, kaum Musliminpun harus meneladai bagaimana Rasulullah SAW., dan para sahabat mengubah Darul Kufur tersebut menjadi Darul Islam, dengan tetap melihat fakta hukum dan kondisi kaum Muslimin pada saat ini.
Menegakkan Darul Islam, Bisakah Melalui Demokrasi ?
Untuk kondisi saat ini menjadi penting untuk diajukan kembali apa yang pernah ditanyakan secara serius oleh Syekh Abu Qotadah dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad. Beliau mengatakan, jika ada yang bertanya, ‘Sekiranya ditakdirkan bagi satu upaya perjuangan demokrasi bisa mengantarkan Islam ke tampuk kekuasaan, maka apakah ini berarti bahwa pemerintahan itu tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam?”
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Syekh Abu Qotadah menjelaskan bahwa Daulah Islam yang hilang tidak akan tegak dengan cara syirik ini (demokrasi). Orang-orang Islam demokrat itu hendaknya mengekang kendali lamunan mereka untuk bisa meraih kebaikan atau sebagiannya melalui jalan parlemen dan demokrasi.
Banyak alasan yang kemudian akan dilontarkan mengapa mereka berjuang melalui jalan parlemen dan demokrasi. Ringkas alasan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abu Qotadah, mereka akan masuk dalam permainan demokrasi karena rasa percaya diri mereka bahwa rakyat akan memilih mereka, maka meraka akan sampai pada posisi yang memberikan hak kepada mereka untuk mengubah konstitusi (negara). Padahal di sebuah parlemen sebuah front atau gerakan, merupakan campuran tidak sejenis, dimana masing-masing akan mengikuti pandangan dan pikirannya. Dalam front tersebut terdapat faktor-faktor kelemahan internal yang menjadikan mereka tidak mampu keluar dengan satu sikap pandang yang benar dalam menghadapi kasus-kasus yang timbul dan dalam menghadapi kendala rintangan.
Lalu, kita lanjutkan perbincangan dengan mengulang pertanyaan, apakah jika sekelompok ummat sampai ke tampuk kekuasaan melalui cara demokrasi dan memberlakukan syari’at, maka apakah pemerintahan tadi menjadi pemerintahan Islam dengan cara tersebut?
Dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad, Syekh Abu Qotadah menjawab pertanyaan tersebut secara tegas, yakni TIDAK! Karena setiap hukum, meski bersesuaian dengan syari’at Islam dalam definisi dan sifatnya, tapi ia diwajibkan lewat jalan parlemen dan pilihan rakyat, maka ia sekali-sekali belum dikatakan sebagai hukum Islam, tapi adalah hukum thoghut kafir!
Mengapa demikian? Suatu hukum bisa menjadi syar’i dan Islami haruslah dilihat lebih dahulu elemen-elemen dasarnya. Elemen yang paling utama dalah melihat kepada pembuat hukum, siapa dia? Jika pembuat hukumnya adalah Allah, maka hukum itu adalah hukum Islam. Dan jika pembuat hukumnya adalah selain Allah, maka hukum itu adalah hukum thoghut kafir.
Maka dari itu, nilai-nilai akhlak yang benar yang didakwahkan oleh agama Nasrani tidak dianggap sebagai akhlak Islami, oleh karena si pembuat hukum bukanlah pihak yang membuat hukum syar’i. Jadi hukum syar’i memperoleh kekuatannya, oleh karena ia datang dari Dzat yang mempunyai hak untuk mengeluarkan peintah ini, dan Dia adalah Rabbul Alamin.
Supaya hukum itu menjadi hukum syar’i, maka sifat dan bentuknya pun harus syar’i, jika tidak, maka ia bukan hukum syar’i. Hukum yang berasal dari parlemen memperoleh kekuatan dari pemilik kedaulatan alam sistem demokrasi. Bisa jadi rakyat saja, dan bisa jadi rakyat dan rajanya atau amirnya (pemimpinnya). Hukum yang bersumber dari parlemen keluar dengan kalimat “Atas nama rakyat” atau “Keputusan para wakil parlemen”. Ia adalah hukum thoghut, memperoleh kekuatannya dari Tuhan yang batil.
Adapun hukum Islam, maka sumber datangnya adalah dengan kalimat “Bismillah”. Maka mereka yang mengkaji tentang pemberlakuan syari’at Islam melalui jalan parlemen, maka mereka harus merujuk kembali pada elemen-elemen dasar hukum syar’i, bagaimana hukum itu menjadi hukum Islam, dan bagaimana hukum itu menjadi hukum thoghut kafir?
Syekh Abu Qotadah menjelaskan dengan tegas, sesungguhnya hukum yang datang dari Dewan Perwakilan Rakyat atau parlemen tidak bisa dinamakan dengan hukum Islam, kendati ia bersesuaian dengan hukum syar’i dalam bentuk dan zhahirnya. Maka dari itu, jika Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan pengharaman khamer (alkohol) terhadap rakyat, maka ketetapan ini tidak dianggap sebagai hukum Islam kendati ia bersesuaian dengan syari’at Islam dalam bentuk larangan dan pengharaman khamer. Sebabnya ialah bahwa hukum syar’i tidak menjadi syar’i dan Islami kecuali apabila penentuan caranya adalah syar’i dan Islami. Jadi jelaslah sudah, untuk menegakkan Darul Islam tidak akan bisa dicapai melalui sistem syirik demokrasi.
Dakwah Dan Jihad, Menuju Revolusi Islam Menegakkan Darul Islam
Syekh Abu Bakar An Najiy-hafizahullah- dalam bukunya The Management of Savagery (Manajemen Kebiadaban) menjelaskan bahwa menurut sunnah kauniyah, ada dua kekuatan yang mampu meredam ketidakstabilan dalam masyarakat ini yaitu :
Pertama: Kekuatan rakyat (People Power). Syaratnya adalah, tidak adanya gangguan kepentingan pribadi yang menunggangi kekuatan ini dan media bersatu bersama rakyat. Namun sayangnya, seringkali setelah beberapa masa berlalu ketika rakyat lengah, militer langsung mengambil alih revolusi ini untuk mempertahankan sistem lama atau mempertahankan rotasi rezim yang berkuasa ke salah satu blok.
Kedua: Kekuatan militer (Army Power). Kekuatan inilah yang mampu mengembalikan masyarakat kepada keadilan, ideologi bangsa dan kestabilan. Jika kekuatan militer yang berkuasa ini dipegang oleh orang-orang mulia dan berakal (baca : Mujahidin), maka kezhaliman akan hilang dan keadilan akan tegak. Kelompok ini akan menekan kerusakan yang terjadi dengan ideologinya yang ditopang kekuatan militer.
Syekh Abu Bakar An Najiy melanjutkan penjelasannya dalam buku Manajemen Kebiadaban tersebut, khususnya terkait masalah kekuatan dua blok. Menurut beliau, dua blok yang menggenggam dunia mencengkram dengan dua kekuatan terpusat. Maksud dari dua kekuatan terpusat adalah kekuatan militer raksasa terpusat yang mengontrol kawasan jauh dan yang dekat. Mereka menundukkan kawasan-kawasaan untuk taat patuh pada aturan-aturan markas.
Tidak diragukan lagi tentang fakta kekuatan raksasa yang Allah karuniakan kepada Amerika dan Rusia dalam menguasai manusia. Namun sebenarnya jika kita teliti lebih dalam lagi dan kita logikakan, Amerika atau Rusia dengan sistem kontrol terpusatnya tidak akan bisa mengendalikan Mesir atau Yaman misalnya, kecuali jika negara-negara tersebut suka rela untuk tunduk.
Benar, kekuatan yang mereka miliki memang sangat kuat ditambah lagi dengan dukungan kekuatan dari negara-negara boneka yang mengangkangi dunia Islam. Tapi mereka merasa kekuatan militer saja belum cukup, sebab itu dua blok ini menambalnya dengan kekuatan propaganda palsu yang memberikan informasi sesat bahwa kekuatan mereka tak terkalahkan serta mampu menguasai darat dan lautan seakan-akan mereka memiliki kekuatan pencipta dan penciptaan.
Hal yang menarik, dua blok ini kemudian bisa yakin akan ke-dajjal-an propaganda ciptaan mereka sendiri bahwa mereka memiliki segala kekuatan penuh untuk menguasai setiap inci dunia. Mereka yakin bahwa mereka memiliki kekhususan kekuatan ketuhanan. Maka mereka menganggap kekuatan dajjal propaganda ini sebagai kekuatan yang mampu menundukkan manusia, bukan hanya menakut-nakutinya saja tapi juga menyetir manusia untuk mencintai kekuatan ini karena kekuatan ini mengajak pada kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan sosial dan slogan-slogan lainnya.
Maka ketika negara-negara bertekuk lutut di bawah ilusi kekuatan palsu dan mengikut kehendak mereka, disinilah cerita kejatuhan kekuatan palsu tersebut berawal. Paul Kennedy, seorang penulis berkebangsaan Amerika pernah menganalisa : Sesungguhnya Amerika telah memperluas penggunaan kekuatan militer dan memperluas strateginya di luar batas kewajaran yang menyebabkan keruntuhannya.
Kekuatan raksasa ini didukung oleh kemanunggalan masyarakat dan lembaga-lembaga penopang. Kekuatan militer sedigdaya apapun (senjata, teknologi dan prajurit) tidak akan kuat tanpa kemanunggalan rakyat dan lembaga-lembaga pendukung. Kekuatan sebesar apapun akan runtuh tanpa kohesi rakyat.
Faktor runtuhnya negara adikuasa ini dirangkum dalam kalimat “faktor peradaban modern” seperti kerusakan ideologi, kehancuran moral, ketidakadilan sosial, egoisme dan indivudualisme, kemewahan, kenyamanan dan kenikmatan cinta dunia, dan seterusnya.
Semakin tinggi intensitas faktor-faktor dan kesemrawutan ini semua, akan mempercepat kehancuran kekuatan tersebut. Faktor-faktor ini telah muncul dengan sangat cepat dan aktif, namun ada pula yang kemunculannya lambat sehingga dibutuhkan sebuah pendorong agar lebih aktif agar kekuatan tersebut segera runtuh.
Jika faktor-faktor tersebut dapat dipercepat, maka kekuatan itu akan segera runtuh sekalipun mereka memiliki kekuatan militer yang kuat, sebagaima telah kami katakan, bahwa sekuat apapun militer dan sekuat apapun propaganda tidak akan tegak tanpa dukungan rakyat.
Lalu apa yang terjadi jika faktor pendukung kehancuran kekuatan tersebut bukan hanya dipicu dengan faktor peradaban modern tapi ditambah dengan pemicu lain yaitu serangan langsung pada kekuatan militer mereka . Serangan pada kekuatan militer mereka ini secara otomatis akan turut menghancurkan sumber kekuatan ketiga mereka yaitu propaganda. Hancurnya propaganda mereka akan mencabut kewibawaaan mereka yang menggambarkan tidak ada kekuatan yang mampu berdiri di hadapan mereka.
Ini persis yang terjadi pada nasib si Uni Sovyet (Rusia) ketika masuk dalam konfrontasi militer dengan kekuatan yang lebih lemah bahkan tidak sebanding dengan (Mujahidin Afghanistan). Tapi kekuatan yang lebih lemah tersebut mampu menghancurkan sisi militer dan yang paling penting dari konfrontasi ini adalah, mengaktifkan faktor peradaban modern di dalam negara Rusia sendiri, yaitu:
- Lunturnya doktrin ateisme dan pengakuan pada agama lain yang percaya adanya kehidupan akhirat dan tuhan.
- Cinta dunia, kesenangan, kemewahan dan budaya individualisme.
- Para pejabat atau tentara Sovyet yang selamat kembali ke rumahnya menemukan para istri mereka telah selingkuh ketika ditinggal tugas (kerusakan moral).
- Ketidakadilan sosial jelas tampak ketika situasi ekonomi melemah karena perang, ketika uang sulit didapat ditambah krisis keuangan dan korupsi merajalela.
Kondisi kekacauan dan faktor-faktor yang dibahas Syekh Abu Bakar An Najiy di atas kini tengah melanda Rezim kafir murtad di banyak negara, khususnya negara-negara dimana mayoritas kaum Muslimin tinggal dan berada. Kondisi ini kemudian dikenal dengan istilah Arab Springs atau mengutip istilah dari Syekh Anwar Al Awlaki-rahimahullah- dalam Majalah Inspire disebut sebagai Tsunama Revolusi.
Perbedaan Antara Seorang Revolusioner Dengan Seorang Mujahid?
Pertanyaan di atas menjadi layak untuk diajukan di saat ramai revolusi-revolusi yang tengah dilakukan oleh umat manusia untuk menumbangkan suatu rezim dan menegakkan rezim baru yang lain. Syekh Abu Qotadah Al Fhilistin menjelaskan kepada kita dalam bukunya Al Jihad wal Ijtihad.
Menurut beliau, para tokoh revolusioner di abad ini kebanyakan dari golongan kiri, dan ia adalah gerakan-gerakan kudeta yang oleh sebagian orang sering disebut dengan gerakan pembebasan! Menurut beliau, nama itu tidaklah sesuai dengan hakikat sebenarnya.
Syekh Abu Qotadah melanjutkan, gerakan-gerakan perlawanan ini telah berhasil mewujudkan sasaran-sasarannya, seperti gerakan-gerakan Mao Tse Tung di Cina, Revolusi Bolshewik di Rusia, Revolusi Fidel Castro di Cuba dan kawannya Che Geoffara.
Menurut Syekh Abu Qotadah, revolusi-revolusi golongan kiri ini kemudian ditulis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan banyak kemudian dibaca oleh para pemuda Muslim yang akhirnya terpengaruh dengan gerakan dan pola gerilya gerakan-gerakan tersebut. Padahal menurut beliau, gerakan-gerakan kiri ini dalam melakukan revolusi tidak memiliki dimensi-dimensi moral dan prinsip-prinsip moral yang mengatur mereka atau mewajibkan suatu ikatan atau hubungan terhadap orang yang berjalan di dalamnya.
Syekh Abu Qotadah memberikan permisalan terhadap gerakan tersebut yakni bagaikan buku-buku menu masakan yang tersebar di pasar-pasar, dimana para penyusunnya hanya peduli soal jadinya masakan dan kelezatan rasanya. Maka dalam buku tersebut akan didapatkan si pemasak membubuhkan sedikir khamer, atau sedikit ganja, dan sejenisnya.
Ironisnya, Syekh melanjutkan, seorang Muslim relegius membaca buku-buku tadi disertai dengan decak kagum dan hormat terhadap penulis tersebut, yang dia anggap sebagai pakar berpengalaman di bidangnya. Dia membaca dengan penuh gairah disertai dengan banyak ketundukan dan kepatuhan, lalu dia berdalih daripadanya sesudah itu kepada keadaannya sebagai penganut Islam guna mengembalikan banyak hal yang telah dibacanya dengan prinsip-prinsip Islam yang diyakininya, yang kemudian akan menimbulkan tarik-menarik antara prinsip yang dihormatinya dalam masalah tersebut dengan prinsip-prinsip Islam yang diyakininya. Na’udzu billah min dzalik!
Kebalikannya, umat Islam, para aktivis dan pejuang revolusi Islam tidak pantas dan tidak selayaknya membangun spiritual dengan meneladani dan mengikuti Che Geoffara, Mao Tse Tung, Lenin, serta tokoh-tokoh paganis sesat lainnya. Membangun spiritual dengan petunjuk orang-orang yang mendapat petunjuk adalah dengan “mendalami” bukan dengan “memilih” (sepotong-sepotong) sirah nabawiyah dan fiqh para imam. Adapun membangun spiritual dengan petunjuk kaum paganis adalah dengan mendalami biografi dan perjuangan mereka.
Ada hubungan yang sangat erat antara sirah nabawiyah dengan alam ghaib, yakni berupa hubungan sebuah gerakan dan perjalanannya yang sama sekali tidak merusak sunatullah yang berlaku di alam wujud dengan alam ghaib pada sebagian sunatullah yang berlaku di alam semesta. Diantara sunnah tersebut adalah timbulnya rasa takut di diri musuh, pengaruh do’a yang dipanjatkan oleh orang-orang yang lemah diantara mereka. Sungguh, masalah ini tidak akan diperhatikan kecuali oleh orang yang mendalami sunnah Nabi SAW dan sirah nawabiyah.
Syekh melanjutkan, jari telunjuk doa yang menengadah ke atas langit setara dengan sabetan pedang dan luncuran tombak, ratapan tangis ibu yang kematian anak dan jeritan orang-orang yang teraniaya adalah laksana panah malam yang mana Allah SWT., mencerai beraikan musuh dan orang-orang kafir dengannya.
Sesungguhnya manusia paling agung, paling bernyali, dan paling gagah berani, Muhammad SAW., dalam perang Badar dahulu bermunajat kepada Tuhannya, oleh karena munajat termasuk sunnah terbesar yang menjadi tumpuan orang-orang Islam untuk mengalahkan musuh dan orang-orang kafir!