Pada
acara Dialog “Ormas-Ormas Islam dalam
Mempertahankan NKRI”, di Sahid Hotel, Jakarta Pusat, pada Sabtu (11/5/2013
terlontarkan tuduhan Khawarij dari KH Said Aqil Siradj [ketua PB NU] kepada
ust. Abu Bakar Ba’asyir. KH Sa’id dalam menjelaskan pemahaman khawarij tersebut
tidak tuntas dan mengesampingkan aspek substanstifnya. Beliau mengutip hadist
Nabi SAW yang menceritakan sosok Dzulkhuwaisir yang begitu sombong meminta
Rasulullah berbuat adil.
“Nanti dari umatku akan
muncul seperti orang ini, hafal Qur’an, dalilnya Qur’an tapi tidak melewati
tenggorokannya, artinya tidak paham secara substansif. Mereka itu sejelek-jelek
manusia bahkan lebih jelek daripada binatang. Saya tidak termasuk mereka,
mereka tidak termasuk kami”
KH Said mengatakan prediksi Rasulullah ini
terbukti tahun 40 H, ketika Sayyidina Ali keluar dari rumahnya mengimami shalat
Subuh dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam; Qaimul
Lail, Shaimun Nahar, Hafizhul Qur’an. Yang membunuh Sayyidina Ali ini tiap
hari puasa, tiap malam tahajjud, dan hafal Qur’an. KH Said Aqil begitu sering
mengulang-ulang ciri Khawarij tersebut diatas padahal ciri itu sebenarnya
gambaran seorang Muslim yang taat. Apakah khawarij itu karena rajin shalat
malam dan lain sebagainya? padahal ada perkara mendasar di sana soal Khawarij
Apa dan Bagaimana
Khowarij?
Secara
bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar (kharij). Adapun
secara istilah, khawarij dinisbatkan pada sekelompok orang yang keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang
telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu'awiyyah dalam perang
Shiffin (37H/657).
Imam
Asy-Syahrastaniy menjelaskan “tiap-tiap
orang yang keluar dari imam yang haq, yang
telah disepakati jama’ah, maka ia dinamakan khawarij, baik itu terjadi
di masa sahabat, yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat, ataupun pada
masa tabi’in serta imam [pemimpin kaum muslimin] pada setiap masa Ibnu Hazm
menambahkan bahwa istilah khawarij dinisbatkan pada semua kelompok atau pecahan
yang dulu keluar dari
barisan Ali ibn Abi Thalib r.a atau yang mengikuti paham mereka, kapanpun itu
terjadi
Secara
substansif sebenarya aqidah khawarij adalah mengkafirkan orang yang melakukan
dosa besar, sedangkan prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan
yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar, Ahlu Sunnah tidak
mengkafirkanya. Adapun substansi dari kisah Dzilkhuwaisir
adalah paham mengkafirkan yang serampangan
terhadap Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan menerapkan syariat Islam. Jauh berbeda dengan pemerintah sekarang
yang tidak menerapkan hukum Islam.
Dalam peringatan ust. Abu Bakar
Ba’asyir yang tertuang dalam buku tadzkiroh III, yang di dalam isinya yaitu
memperingatkan bahwasanya wajibnya umat
islam untuk bersumber hukum dengan syari’at islam. Siapapun yang menentang syari’at
islam serta memilih syari’at yang bertentangan dengan Islam maka disebut
sebagai thoghut. Maka siapapun yang
membela thoghut, maka akan menjadi bagian dari thogut itu sendiri. Termasuk
didalamnya Densus 88.
Motivasi Ust. Abu Bakar Ba’asyir
mengeluarkan buku Tadzkiroh tersebut adalah untuk memahamkan masyarakat Islam pada
umumnya akan wajibnya syari’at Islam serta menginginkan Indonesia ini menjadi
Negara yang diridhoi Allah SWT. Dan, di akhir bukunya beliau siap berdiskusi terbuka apabila ada ulama-ulama
yang menilai materi buku tadzkirohnya ada yang menyimpang, serta siap untuk
bermubahalah dengan mereka.
Apa yang dimaksud Mubahalah
Mubahalah sendiri berasal dari kata bahlah
atau buhlah yang bermakna kutukan
atau melaknat. Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon
dan berdoa kepada Allah supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang batil
atau menyalahi pihak kebenaran.
Peristiwa mubahalah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap
pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana disebutkan
dalam QS. Ali Imron (3): 61; "Marilah kita memanggil anak-anak
kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami
dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta
supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."
Jumlah delegasi Kristen Najran yang mendatangi Nabi Muhammad SAW
berjumlah 2 orang (lihat Riwayat Bukhari dan Tafsir Ibnu Katsir). Memang yang
datang adalah 60 orang berkuda, 3 diantaranya adalah al-Aqib alias Abdul-Masih,
al-Ayham alias as-Sayyid dan Abu Haritsah bin 'alqamah. Tetapi yang berdialog
langsung dengan Nabi hanya 2 orang (yaitu al-Aqib dan as-Sayyid).
Mubahalah yang pernah diajukan oleh Rasulullah pun pada masa itu
bukan karena kehabisan kata tetapi untuk mencari titik puncak penyelesaian
semua diskusi, sebab tidak mungkin Islam mengakui ketuhanan al-Masih yang
jelas-jelas manusia biasa dan utusan Allah sementara kaum kristen Najran yang
Trinitas itupun tidak mau menerima konsepsi Tauhid Islam dan tetap
mempertahankan keberhalaannya meskipun dalam hal ini Abu Haritsah bin 'Al-Qamah
(satu dari 3 orang pimpinan Najran) sebenarnya mengakui kebenaran Islam dan
kenabian Muhammad SAW.
Apabila pembuktian positif sudah diberikan tetapi masih ditolak
juga maka mubahalah adalah puncak dari semua pembuktian akan kebenaran yang sudah
diyakini. Ketika kita telah berani berkata atas nama Allah dan kebenaran-Nya,
maka harusnya kitapun berani untuk membuktikan kejujuran dan kebenaran kita itu
dihadapan Allah. Mubahalah -anggap saja- tidak berbeda dengan memberikan
kesaksian dalam suatu persidangan, walaupun hakim yang menentukan siapa yang
sebenarnya benar dan siapa yang sebenarnya salah sekaligus menjatuhkan
hukuman-Nya kepada terdakwa.
Tidak ada sumpah pocong maupun kata-kata aneh dalam melakukan
mubahalah. Semisal: kalau mati mayat tidak diterima bumi, atau disambar petir
dan sejenisnya, al-Qur'an hanya mengajarkan kata-kata demikian: "Marilah kita ajak anak-anak kami dan
anak-anak kamu dan perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan
kaum kami dan kaum kamu, kemudian kita berdoa dan kita jadikan laknat Allah
atas orang-orang yang dusta ! " (QS. Ali Imron (3): 61)
Semoga Allah merahmati semua kaum muslimin serta melindunginya
dari makar kaum kafir dan munafiqin yang tiada kenal henti melemahkan aqidah
kaum muslimin. Wallahu a’lam.