Rabu, 22 Mei 2013

MUBAHALAH


Pada acara Dialog “Ormas-Ormas Islam dalam Mempertahankan NKRI”, di Sahid Hotel, Jakarta Pusat, pada Sabtu (11/5/2013 terlontarkan tuduhan Khawarij dari KH Said Aqil Siradj [ketua PB NU] kepada ust. Abu Bakar Ba’asyir. KH Sa’id dalam menjelaskan pemahaman khawarij tersebut tidak tuntas dan mengesampingkan aspek substanstifnya. Beliau mengutip hadist Nabi SAW yang menceritakan sosok Dzulkhuwaisir yang begitu sombong meminta Rasulullah berbuat adil.
“Nanti dari umatku akan muncul seperti orang ini, hafal Qur’an, dalilnya Qur’an tapi tidak melewati tenggorokannya, artinya tidak paham secara substansif. Mereka itu sejelek-jelek manusia bahkan lebih jelek daripada binatang. Saya tidak termasuk mereka, mereka tidak termasuk kami”

KH Said mengatakan prediksi Rasulullah ini terbukti tahun 40 H, ketika Sayyidina Ali keluar dari rumahnya mengimami shalat Subuh dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam; Qaimul Lail, Shaimun Nahar, Hafizhul Qur’an. Yang membunuh Sayyidina Ali ini tiap hari puasa, tiap malam tahajjud, dan hafal Qur’an. KH Said Aqil begitu sering mengulang-ulang ciri Khawarij tersebut diatas padahal ciri itu sebenarnya gambaran seorang Muslim yang taat. Apakah khawarij itu karena rajin shalat malam dan lain sebagainya? padahal ada perkara mendasar di sana soal Khawarij

Apa dan Bagaimana Khowarij?

Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar (kharij). Adapun secara istilah, khawarij dinisbatkan pada sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu'awiyyah dalam perang Shiffin (37H/657).

Imam Asy-Syahrastaniy menjelaskan  “tiap-tiap orang yang keluar dari imam yang haq, yang  telah disepakati jama’ah, maka ia dinamakan khawarij, baik itu terjadi di masa sahabat, yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat, ataupun pada masa tabi’in serta imam [pemimpin kaum muslimin] pada setiap masa Ibnu Hazm menambahkan bahwa istilah khawarij dinisbatkan pada semua kelompok atau pecahan yang dulu keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a atau yang mengikuti paham mereka, kapanpun itu terjadi

Secara substansif sebenarya aqidah khawarij adalah mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sedangkan prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah  adalah tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar, Ahlu Sunnah tidak mengkafirkanya. Adapun substansi dari kisah Dzilkhuwaisir adalah paham mengkafirkan yang serampangan terhadap Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan menerapkan syariat Islam. Jauh berbeda dengan pemerintah sekarang yang tidak menerapkan hukum Islam.

Dalam peringatan ust. Abu Bakar Ba’asyir yang tertuang dalam buku tadzkiroh III, yang di dalam isinya yaitu memperingatkan bahwasanya wajibnya umat islam untuk bersumber hukum dengan syari’at islam. Siapapun yang menentang syari’at islam serta memilih syari’at yang bertentangan dengan Islam maka disebut sebagai thoghut. Maka siapapun yang membela thoghut, maka akan menjadi bagian dari thogut itu sendiri. Termasuk didalamnya Densus 88.

Motivasi Ust. Abu Bakar Ba’asyir mengeluarkan buku Tadzkiroh tersebut adalah untuk memahamkan masyarakat Islam pada umumnya akan wajibnya syari’at Islam serta menginginkan Indonesia ini menjadi Negara yang diridhoi Allah SWT. Dan, di akhir bukunya beliau siap  berdiskusi terbuka apabila ada ulama-ulama yang menilai materi buku tadzkirohnya ada yang menyimpang, serta siap untuk bermubahalah dengan mereka.

Apa yang dimaksud Mubahalah

Mubahalah sendiri berasal dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna kutukan atau melaknat. Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang batil atau menyalahi pihak kebenaran.

Peristiwa mubahalah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana disebutkan dalam QS.  Ali Imron (3): 61; "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."

Jumlah delegasi Kristen Najran yang mendatangi Nabi Muhammad SAW berjumlah 2 orang (lihat Riwayat Bukhari dan Tafsir Ibnu Katsir). Memang yang datang adalah 60 orang berkuda, 3 diantaranya adalah al-Aqib alias Abdul-Masih, al-Ayham alias as-Sayyid dan Abu Haritsah bin 'alqamah. Tetapi yang berdialog langsung dengan Nabi hanya 2 orang (yaitu al-Aqib dan as-Sayyid).

Mubahalah yang pernah diajukan oleh Rasulullah pun pada masa itu bukan karena kehabisan kata tetapi untuk mencari titik puncak penyelesaian semua diskusi, sebab tidak mungkin Islam mengakui ketuhanan al-Masih yang jelas-jelas manusia biasa dan utusan Allah sementara kaum kristen Najran yang Trinitas itupun tidak mau menerima konsepsi Tauhid Islam dan tetap mempertahankan keberhalaannya meskipun dalam hal ini Abu Haritsah bin 'Al-Qamah (satu dari 3 orang pimpinan Najran) sebenarnya mengakui kebenaran Islam dan kenabian Muhammad SAW.

Apabila pembuktian positif sudah diberikan tetapi masih ditolak juga maka mubahalah adalah puncak dari semua pembuktian akan kebenaran yang sudah diyakini. Ketika kita telah berani berkata atas nama Allah dan kebenaran-Nya, maka harusnya kitapun berani untuk membuktikan kejujuran dan kebenaran kita itu dihadapan Allah. Mubahalah -anggap saja- tidak berbeda dengan memberikan kesaksian dalam suatu persidangan, walaupun hakim yang menentukan siapa yang sebenarnya benar dan siapa yang sebenarnya salah sekaligus menjatuhkan hukuman-Nya kepada terdakwa.

Tidak ada sumpah pocong maupun kata-kata aneh dalam melakukan mubahalah. Semisal: kalau mati mayat tidak diterima bumi, atau disambar petir dan sejenisnya, al-Qur'an hanya mengajarkan kata-kata demikian: "Marilah kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu dan perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan kaum kami dan kaum kamu, kemudian kita berdoa dan kita jadikan laknat Allah atas orang-orang yang dusta ! " (QS. Ali Imron (3): 61)

Semoga Allah merahmati semua kaum muslimin serta melindunginya dari makar kaum kafir dan munafiqin yang tiada kenal henti melemahkan aqidah kaum muslimin. Wallahu a’lam.