Hari
ini, istilah jihad kembali mendapat sorotan, umat Islam pun nyaris kembali pada
era ketakutan akan syariat jihad, seiring beragam upaya dari kaum kafir dan
munafiq yang menggembosi jihad dengan cara memunculkan aneka ragam syubhat. Bagaimana
seharusnya kita memaknai jihad sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya saw? Mari kita simak uraian di bawah ini.
MEMAHAMI MAKNA JIHAD
Dari SEGI BAHASA, kata al-jihad
diambil dari kata kerja, “jahada-yajhadu-jahdan/juhdan”
(جَهَدَ – يَجْهَدُ
– جَهْدًا-- جُهْدًا)
Artinya
adalah daya kemampuan apabila ada (الظا مّة)
pada kata جُهْدً
Adapun
bila terdapat fathah pada huruf jim (جَهْدً)
artinya: keletihan/kejerihpayahan (المشقة).
Allah
berfirman:
وَالَّذِينَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ
“Dan
(orang munafik itu mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar (batas
akhir) kesanggupannya (At-Taubah:
79)
Jihad
juga bermakna puncak (hal yang paling maksimal)
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ
أَيْمَانِهِمْ
“Dan
mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah mereka yang sungguh-sungguh. (An-Nûr: 53)
Demikian
pula di kalangan orang-orang Arab, dikenal adanya ungkapan berikut:
جَهَدَ دَبَّتَهُ وَاجْهَدَ
هَا أِذَا حَمَلَ عَلَيْهِ وَالسّير غَيْر طَاقَتُهَا
Artinya:
“Dia membebani hewan tunggangannya serta bepergian dengannya melewati batas
kemampuan hewan tersebut.”
جَاهَدُ فِي سَبلِ
الله – مُجَاهَدَةٌ وجِهَادًا وَاْلاِجتِهَادٌ وَالتَّجَاهُد
Artinya:
“Berjihad fi sabilillah, mujahadah, jihadan, ijtihad-tajahud (kata-kata ini)
bermakna: Pengerahan segala daya
kemampuan.”
Pendek
kata, kata Al-Jahdu, Al-Juhdu, Al-Jihad, secara bahasa bermakna: “Apa
yang ditempuh seseorang dengan pengerahan segala daya kemampuan maksimal yang
dimilikinya untuk memperoleh sesuatu yang dia senangi atau terhindar dari
sesuatu yang dia benci.” (Lihat: Lisanul Arab oleh Ibnul Mandzhur)
Dari
Segi Istilah Syar’i, Telah kita
sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur'an, As sunah dan pendapat para ulama
salaf yang menyimpulkan makna syar'i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir.
Telah
disebutkan dalam kitab Al-Bada’i (karya Al-Kasani, Ulama terkenal
Madzhab Hanafi)
بَزَلَ الوَسَعَ وَالطَاقَةٌ فِى القِتَا لٍ فِي سَبِيلِ اللهِ
عَزَّوجَلَّ بِ النَّفْسٍ وَالمَالٍ وَ الَِّسَانٍ وَ غَيْرُ ذَلِك
Artinya; “Pengerahan
segala daya kemampuan maksimal dalam berperang di jalan
Allah azza wa jalla dengan diri, harta, lisan dan lain sebagainya.”
Dalam
kitab Fathul Bari II/6 karya Ibnu
Hajar, Ulama Madzhab Syafii disebutkan:
قال ابن هجر : و شَرْ ءًا بزل الجهد فِي ِقتَالِ اْلكُفَّارِ
Artinya:
“Dan
secara syar’an, jihad adalah pengerahan segala kemampuan maksimal dalam memerangi
orang-orang kafir.”
SYUBHAT DALAM MEMAHAMI JIHAD
Penting bagi kita untuk terlebih dahulu memahami
definisi syubhat, sebagaimana dalam hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam
berikut :
Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui
oleh banyak manusia. Barangsiapa yang menghindari syubhat itu berarti dia telah
membersihkan diri untuk agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus ke
dalam syubhat itu berarti dia terjerumus ke dalam perkara yang haram . . . [muttafaqun Alaihi]
Dari Hadits diatas dapat difahami bahwa Syubhat
adalah perkara yang tidak diketahui hukumnya oleh orang banyak karena masih
samar kehalalan maupun keharamannya sehingga berdampak kerancuan berfikir dalam
perkara dien. Syubhat terhadap suatu perkara bisa muncul karena ketidakjelasan
status hukumnya, atau ketidakjelasan sifat atau faktanya. Barangsiapa yang
masih ragu-ragu terhadap suatu perkara, dan belum jelas kebenaran baginya, maka
harus dia jauhi untuk menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Ibnul Qayyim al Jauzy dalam Al-Fawaid mengatakan bahwa syubhat adalah salah satu pintu penyebab
manusia masuk neraka. Solusi jitu agar kita tidak terjerumus dalam syubhat
adalah dengan ilmu shohih yang bersumber dari Al-Qur’an dan Assunnah
berdasarkan pemahaman assalafush sholih
Terdapat
sejumlah Syubhat untuk mengaburkan pengertian jihad yang dilakukan musuh-musuh
Islam yakni kaum kafir dan munafiq agar umat ini tidak lagi memahami syariat
jihad yang telah ditetapkan Allah. Adapun syubhat-syubhat tersebut adalah
sebagai berikut:
A. SYUBHAT PERTAMA DAN BANTAHANNYA
Jihad bermakna perang adalah jihad ashghar (jihad kecil)
sedangkan jihad melawan hawa nafsu [jihadunnafs] adalah jihad akbar (jihad
besar).
Dasarnya (anggapan mereka) hadits Nabi saw ketika kembali seusai perang Badar:
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اللأَصْغَر اِلَى الْجِهَادِ الاكْبَر
Artinya:
“Kita kembali dari jihad kecil menuju
jihad besar.”
BANTAHAN ATAS SYUBHAT PERTAMA
1. Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu
Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah
(211). Dan Syaikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan hadits di atas dalam
Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits
tersebut sebagai hadits “Mungkar”.
Dan dari uraian beliau diketahui bahwa hadits
ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy dalam Al-Fawa`id Al-Muntaqoh,
Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd, Al-Khatib dalam Tarikh-nya dan Ibnul Jauzy dalam
Dzammul Hawa, dan juga dipahami bahwa
selain dari Ibnu Rajab, hadits ini juga dilemahkan
oleh Al-Baihaqy, Al-’Iraqy dalam Takhrijul Ihya` dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Takhrijul Kasysyaf. Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin
‘Abdul Lathif dalam Tabyidh Ash-Shohifah Bi Ushul Al-Ahadits Adh-Dho’ifah hal
76 hadits no. 25.
2. Hadits ini sering dibawakan para khatib
dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan
lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (“La ashla lahu). Tidak ada
seorang pun hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun
perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling
mulia.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak
benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia.
Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil
mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia
sayangi. Ungkapan ini sering pula dilontarkan oleh mereka yang hidupnya tenggelam
di dalam kemewahan dan kemudahan memperoleh fasilitas yang disediakan oleh
pemerintah thaghut masa kini. Naudzu
billahi min dzalik!.
3. Ungkapan ini
jelas bertentangan dengan makna syar’i tentang jihad, bertentangan dengan
banyak nash yang menunjukkan keutamaan jihad bermakna qital. Diantaranya:
Abu
Hurairah r.a menuturkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah saw
sembari berkata, ‘Tunjukkan kepadaku suatu amal perbuatan yang menandingi
jihad.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak aku peroleh.’ (Kemudian) beliau saw
bersabda, ‘Apakah engkau sanggup apabila seorang mujahid keluar (berperang),
kemudian kamu masuk masjidmu dan mengerjakan shalat tanpa henti dan berpuasa
tanpa berbuka? Rasulullah saw melanjutkan, ‘Dan siapa yang mampu berbuat
demikian?’.” (H.R
Al-Bukhari)
B. SYUBHAT KEDUA DAN BANTAHANNYA
Terdapat
juga pendapat sesat yang mengatakan, “Seringkali orang mengartikan jihad
secara sempit, yaitu diartikan dengan perang padahal jihad memiliki
makna yang sangat luas seperti menuntut ilmu, dakwah dan lain sebagainya.”
BANTAHAN ATAS SYUBHAT KEDUA
1. Kata
‘seringkali’
sama sekali tidak tepat dan tidak realistis pada masa kini! Justru pada zaman ini yang paling banyak
dikumandangkan adalah jihad dalam arti bahasa yang meliputi segala bentuk
kejerihpayahan atau perjuangan termasuk menuntut ilmu, berdakwah dan lain-lain.
Sangat jarang dan langka, para mubaligh
melalui mimbar-mimbar masjid atau ceramah atau tabligh akbar atau tulisan yang
menjelaskan jihad dalam arti syar’i yaitu berperang di jalan Allah.
2. Kata ‘sempit’
merupakan pilihan kata yang melecehkan
syariat Islam. Sebab telah diterangkan sebelumnya bahwa telah disepakati
para fuqoha bahwa arti jihad secara syar’i adalah memerangi orang-orang kafir
untuk meninggikan kalimatullah ta’ala. Adapun
jika seseorang menyebut kata jihad atau fi sabilillah, hendaknya arti yang
pertama kali dipahami adalah jihad bermakna syar’i. jadi pengungkapan kata
jihad sebagai perang bukanlah mempersempit makna jihad, tetapi sebagai bentuk
aplikasi pelurusan makna jihad agar sesuai dengan kehendak syari’at Islam.
3. Bila
dikatakan bahwa jihad itu memiliki peringkat-peringkat, maka ini adalah
perkataan yang lebih baik dan lebih fair.
Sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim
Al-Jauziyyah yang tersebut dalam kitab
Zaadul Ma’ad, “Jika hal ini telah
dimengerti, maka jihad terdiri dari 4
peringkat, 1: Jihadunnafs (mengekang hawa nafsu), 2: Jihadusy-syaithan (melawan godaan
setan), 3: jihadul kuffar (memerangi
orang-orang kafir) dan 4: jihadul
munafiqin (dengan argumen dan hujjah).” Kemudian beliau memerinci
keempat maratibul jihad tadi menjadi tiga belas martabat
(peringkat/klasifikasi).
Persoalannya,
pada hari ini lebih banyak membesarkan jihadunnafs yang mengarah kepada distorsi
jihadul kuffar dan hal ini terbukti bahwa mayoritas umat Islam tidak mengerti
jihadul kuffar apalagi istilah-istilah seputar jihad. Seperti persoalan seputar
hukum jihadul kuffar hari ini, apakah hari ini jihad fardhu kifayah atau kah
fardhu ‘ain dan lain sebagainya. Bahkan, fenomena dan realita menunjukkan terjadinya
sindrom jihad phobia yang berdampak pada
pe-label-an mujahidin sebagai teroris dan jihadnya dianggap sebagai aksi teror.