Jumat, 31 Mei 2013

IDEOLOGI TAK PERNAH TERPENJARA


(an-najah.net) – Orang yang dipenjara tidak selalu identik dengan pelaku kejahatan dan dosa. Yusuf as, misalnya, merupakan sosok yang diabadikan oleh Allah di Al-Qur’an, sebagai insan mulia, namun dipenjara bukan karena kesalahan yang diperbuatnya. Tidak bermaksud menyamakan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga harus menerima ujian di penjara selama tujuh kali, dengan total waktu mencapai lima tahun.
Ia dipenjara karena tuduhan palsu yang dibuat-buat karena kedengkian, fitnah, dan kebencian tanpa alasan. Namun, pengalamannya ini telah mewariskan banyak keajaiban. Dengan itu ia justru meninggalkan banyak pengaruh dan tulis yang mengabadikan namanya.
Berikut ini kronologi Ibnu Taimiyyah di penjara:
Penjara Pertama
Di Damaskus pada 693 H, ia hanya sebentar di penjara, namun dampak dan hasilnya cukup besar. Kejadiannya berawal dari seorang Nasrani bernama Assaf yang disaksikan oleh kaum muslimin, menghina Nabi saw. Ketika berita ini sampai kepada Ibnu Taimiyyah, ia pun segera menemui Zainuddin Al-Fariqi, guru di Darul Hadits pada masanya. Keduanya akhirnya sepakat untuk mengangkat persoalan itu kepada pejabat pemerintah di Damaskus, Izzuddin Ubaik.
Assaf akhirnya didatangkan bersama kuasa hukumnya sekaligus yang menyewa dirinya untuk menghina Nabi saw. Namun, karena kalah dalam persidangan, Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Zainuddin justru mendapatkan hukuman. Keduanya dilempari dengan batu. Penguasa setempat juga ikut melempari keduanya di hadapan Assaf. Kemudian, ia memanggil keduanya dan meminta kerelaan atas perbuatannya.
Assaf yang beragama Nasrani itu mengaku-aku telah masuk Islam. Namun, dalam perjalanannya ke Hijaz, ia dibunuh oleh keponakannya sendiri. Ini mungkin pembalasan dari Allah atas kezalimannya terhadap dua orang saleh tersebut.
Dalam peristiwa ini, Ibnu Taimiyyah menulis sebuah buku yang terkenal dengan judul: Ash-Sharimul Maslul ala Syatimir Rasul (Pedang Terhunus atas Penghina Rasul saw).  Kitab ini menjadi rujukan setiap umat ini mendapati orang yang menghina para nabi dan utusan Allah.
Penjara Kedua
Kali ini ia dipenjara di Kairo, selama satu tahun setengah, mulai Jumat 26 Ramadhan 705 H sampai Jumat 23 Rabiul Awwal 707. Pada awalnya ia di tempatkan di Penjara Burj, dan kemudian ditransfer ke Penjara Qal’atul Jabal.
Di penjara ini ia tidak sendirian, tetapi bersama dengan Abdullah, Abdurrahman, dan muridnya Ibrahim Al-Ghayani. Mereka bertiga ini memang selalu bersama Ibnu Taimiyyah  dalam perjalanannya ke Kairo.
Penyebabnya, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah pada rangkuman peristiwa Tahun 705, adalah persoalan tauhid asma’ wa sifat, yaitu tentang Arsy, Kalam, dan Nuzul (turunnya Allah).
Ibnu Taimiyyah menunjukkan sikap heroik dan kejujuran dalam memenang keyakinan tentang Allah yang mengisi jiwa dengan iman dan kesungguhan untuk beramal.
Ketika ia dikeluarkan dari penjara, saudaranya Abdullah, yang dihormati manusia ketika itu menyebut orang-orang yang memenjarakannya sebagai orang yang zalim dan suka permusuhan. Namun, Ibnu Taimiyyah tidak menyukai itu dan mengatakan kepadanya, “Katakanlah: Ya Allah, berilah mereka cahaya yang menuntun ke jalan kebenaran.”
Penjara ketiga
Di Mesir, selama dua pekan, mulai 3/10/707 sampai 18/10/707 H.
Penyebabnya karena ia menulis sebuah buku tentang istighatsah yang dikenal dengan bantahan atas pemikiran para pengikut Abu Bakar Al-Arabi, tokoh sufi.
Penjara keempat
Di Mesir juga, di Ruang Demarkasi, selama dua bulan atau lebih, mulai Syawal  707 sampai awal 708 H.
Penyebabnya karena provokasi yang dikendalikan oleh kelompok sufi mistis Al-Hululi, yang mengambil keuntungan dari kedekatan mereka dengan penguasa setempat waktu itu.
Penjara kelima
Di Alexandria pada 1/3/709 sampai 8/10/709 H, yakni selama tujuh bulan. Ia dipenjara karena makar dari para pendukung tokoh sufi yang dikuatkan oleh penguasa ketika itu.
Mereka bertekad untuk membuang Ibnu Taimiyyah ke Siprus, dan mengancam akan dibunuh. Ketika ancaman itu disampaikan kepadanya, ia  menjawab dengan ungkapan yang mengesankan, “Kalau aku dibunuh, itu adalah kesyahidan bagiku. Bila aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan menyambut seruanku. Kalau mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal.”
Mereka pun putus asa dan meninggalkan Ibnu Taimiyyah.
Allah telah berjanji untuk membela orang beriman. Hanya beberapa bulan di penjara, Raja Nasir Muhammad bin Qalawun berkuasa menggantikan si pengkhianat, Jaishankar. Qalawun membebaskan Ibnu Taimiyyah memanggilnya agar pindak ke Kairo. Ia pun mendapatkan kehormatan dan kemuliaan di sisi Raja. Raja meminta fatwa kepadanya agar para ulama yang berpihak kepada Jaishankar dibunuh saja.
Namun, Ibnu Taimiyyah tahu keinginan Raja bahwa ia hanya ingin terbebas dari gangguan mereka dan balas dendam atas dirinya. Ia pun berkata, “Mereka adalah orang-orang mulia di kerajaanmu. Kalau engkau membunuh mereka, engkau tidak akan mendapatkan pengganti.”
Setelah tinggal di Kairo, masyarakat dari banyak lapisan selalu meminta fatwa kepadanya agar orang-orang yang memusuhinya diperangi. Namun, ia menjawab, “Saya telah memaafkan siapa pun yang menyakitiku. Adapun orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allahlah yang akan membalasnya.”
Ia kemudian kembali ke Damaskus, didampingi oleh Sultan untuk memerangi bangsa Tatar pada 8/10/719 H. Tujuh tahun lamanya ia meninggalkan Damaskus karena dipenjara empat kali selama dua setengah tahun.
Penjara keenam
Kali ini bada di Damaskus selama hampir enam bulan, mulai Kamis 12/7/720 sampai Senin 10/1/721 H. Penyebabnya adalah persoalan sumpah perceraian.
Di penjara ini ia menulis banyak makalah dan buku, di antaranya adalah bantahan terhadap persoalan sumpah dalam perceraian itu sendiri.
Penjara ketujuh
Di Damaskus selama dua tahun tiga setengah bulan, mulai dari Senin 6/8/726 sampai Senin malam 20/11/728 H. Di penjara inilah ia wafat dan jenazahnya dikeluarkan menuju pemakamannya. Penyebabnya adalah persoalan ziarah ke tempat-tempat suci.
Dalam persoalan ziarah ini, Syaikhul Islam menyampaikan dua pendapat, yaitu pendapat Imam Malik yang melarang ziarah kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Aqsha. Kedua adalah pendapat sebagian penganut mazhab Syafi’i dan Hambali yang membolehkan hal itu. Sebenarnya, tidak ada alasan lain untuk memusuhi Ibnu Taimiyyah selain karena hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Semoga Allah memberikan tempat yang baik bagi Ibnu Taimiyyah atas keteguhannya meski dicela. 

Tolak Bubarkan Densus = Ahok Membuat Permusuhan terhadap Islam

densus 88-tribunnews-jpeg.imageWakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah melecehkan dan meremehkan umat Islam dengan menolak pembubaran Densus 88. Padahal pasukan antiteror milik kepolisian itu jelas telah melakukan pembantaian terhadap umat Islam.

Demikian dikatakan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya, seperti dilansir itoday, Jumat (24/5/2013).
“Ahok cenderung meremehkan kajian Komnas HAM dan elemen-elemen umat Islam, khusunya para tokohnya yang bersikap tegas dan rasional untuk mendorong dilakukannya evaluasi total kinerja dan anggaran Densus 88 serta BNPT. Kalau perlu sampai pembubaran,” kata Harits.

Kata Harits, pernyataan Ahok yang membela keberadaan Densus 88 akan memunculkan permusuhan terhadap umat Islam.
“Jangan salah kalau kemudian masyarakat memvonis si Ahok telah membuat permusuhan terhadap Islam dan umatnya,” tegas Harits.

Harits melihat pernyataan Ahok terkait Densus 88 itu menunjukkan sikap yang arogan. “Jadi saya melihatnya Ahok arogan dan ngawur berkomentar tanpa kajian utuh.Dan umat Islam harus terus waspada dan memonitor tiap manuver si Ahok dan pasangannya Jokowi,” papar Harits.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ahok memastikan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta menolak pembubaran Densus 88.
“Kami sebagai pimpinan daerah di sini dengan jelas mendukung Densus 88,” ujar Ahok  dalam sambutannya di acara penanggulangan terorisme dan narkoba di Balaikota Jakarta, Rabu (22/5/2013) malam.

Politisi Gerindra tersebut tak peduli dengan anggapan partai atau pihak lain tentang sikapnya dan Joko Widodo. Dia menilai Jakarta masih membutuhkan Densus 88 untuk memberangus kejahatan tak biasa (extra ordinary crime) itu. Dia pun tak peduli jika tidak dipilih kembali ketika mengikuti kembali dalam bursa pencalonan kepala daerah atau negara.
“Gubernur dan saya berkomitmen, kami akan taat pada konstitusi di Indonesia, kepada UUD’45, Pancasila dan Indonesia. Kita mempertahankan, kita tidak peduli orang tidak pilih kami lagi nanti karena tindakan yang tidak populer semacam ini. Jadi malam ini kami tegaskan, kami mendukung Densus 88 untuk tidak dibubarkan. Itu komitmen kita,” tandasnya.

PENTINGNYA DOA DALAM BERJIHAD


Wajib diyakini setiap muslim, kemenangan tidak hanya ditentukan oleh sebab fisik saja. Inti utamanya terletak pada ketergantungan diri kepada Allah, Rabb semesta alam. Ini diwujudkan dengan memperbanyak doa saat di medan jihad. Yakni kaum muslimin dan para mujahidin menengadahkan tangan-tangan mereka kepada Allah dengan penuh ketundukan dan kerendahan, agar Allah menolong agama-Nya dan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Dengan izin Allah, kemenangan atas musuh Islam akan diraih.

Namun perlu diketahui, doa harus pula disiapkan dengan upaya untuk meraih kemenangan berupa persiapan kekuatan dan senjata dalam jihad, yang berupa Jihad Bil Anfus (jihad dengan jiwa), perbekalan dan biaya dalam jihad bil maal, dan jihad media sebagai praktek jihad bil alsun (lisan); serta sarana-sarana lain yang dibutuhkan dalam perang antara kekuatan Islam dan kekuatan kafir.

Sesungguhnya para sahabat telah mempraktekkan doa untuk kemenangan Islam ini; bersamaan dengan itu mereka maju ke medan perang. Mereka serius berdoa dengan segala ketundukan dalam menjalankan proyek perjuangan untuk kemenangan agama Allah. Karenanya sebelum berangkat perang, mereka diingatkan bahwa sebab utama kemenangan adalah doa. Penyempurnanya adalah perjuangan, amal, dan personel mujahidin. Adapun orang yang banyak berdoa tapi tidak punya proyek nyata (jihad) untuk kemenangan agama ini, maka ia seperti seorang pelajar yang memiliki prestasi buruk lalu ia bedoa kepada Allah agar sukses dalam studinya dan lulus dengan nilai baik. Tapi ia tidak belajar dan tidak melakukan persiapan ujian, apakah ia akan sukses dalam studinya tersebut? Pastinya tidak. Maka perlu diketahui, dien ini memerlukan pasukan-pasukan yang siap memenangkannya di seluruh lapangan perjuangan.

Kemenangan bukan hanya dengan doa saja sebagaimana pula tidak dengan kekuatan fisik semata. Tidak pula ditentukan oleh banyaknya jumlah personelnya. Sesungguhnya kemenangan bisa diraih dengan menggabungkan semua itu dan tidak memisahkan sebagiannya dari yang lain.


Allah telah mengisahkan tentang Thaluth dan pasukannya saat pasukan Iman berjumlah lebih sedikit ini akan menghadapi pasukan Jalut yang berjumlah lebih besar, mereka berdoa:
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (QS. Al-Baqarah: 250)

Maka mereka berhasil mengalahkan dan menghancurkan tentara Jalut dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sebab-sebab yang mereka usahakan, "Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut." (QS. Al-Baqarah: 251)

Doa Rasulullah Saat Perang Badar

Sejarah peperangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membuktikan pentingnya doa dalam amaliyah jihad. Yakni saat perang Badar, tepatnya pada malam peperangan, di mana para sahabat tertidur kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau tidak tidur di malam itu. Beliau shalat di bawah batang pohon dan banyak berdoa di sujudnya "Ya Hayyu Ya Qayyum," beliau mengulang-ulangnya  dengan meminta pertolongan kepada Allah. (Al-Bidayah wa al-Nihayah: 5/82)

Kemudian saat pagi tiba dan terlihatlah pasukan Quraisy, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam berdoa,
اللّهُمّ هَذِهِ قُرَيْشٌ قَدْ أَقْبَلَتْ بِخُيَلَائِهَا وَفَخْرِهَا ، تُحَادّك وَتُكَذّبُ رَسُولَك ، اللّهُمّ فَنَصْرَك الّذِي وَعَدْتنِي ، اللّهُمّ أَحِنْهُمْ الْغَدَاةَ
"Ya Allah, Inilah Quraisy, mereka datang dengan segala kesombongan dan kebanggan mereka. Mereka menantang-Mu dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, kurniakan kemenangan yang telah Engkau janjikan kepadaku . Ya Allah, binasakanlah mereka pada pagi ini." (Sirah Ibnu Hisyam: 3/164)

Diriwayatkan dari Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Pada perang Badar, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melihat para sahabatnya berjumlah 300 lebih sedikit, dan melihat kepada kaum musyrikin berjumlah seribu lebih. Kemudian beliau menghadap kiblat sambil mengangkat tangan dengan selendang dan surban di pundaknya, beliau berdoa,
اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِى مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِى اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِى الأَرْضِ
"Ya Allah, penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, tidak ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini." (HR. Muslim dan Ahmad)

Beliau terus menerus meminta pertolongan dan berdoa kepada Allah sehingga jatuhlah kain surban dari kedua pundaknya. Abu Bakar menghampiri dan meletakkan kembali kain surban itu di pundaknya. Abu Bakar terus berada di belakang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, lalu berkata:
يَا نَبِىَّ اللَّهِ كَذَاكَ مُنَاشَدَتُكَ رَبَّكَ فَإِنَّهُ سَيُنْجِزُ لَكَ مَا وَعَدَكَ
"Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikan-Nya kepadamu.

Inilah keadaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallamdan para sahabatnya dalam perang Badar, mereka banyak berdoa kepada Allah. karenanya, Allah menyifati mereka sbeagai orang-orang yang banyak beristighatsah (memohon pertolongan) kepada-Nya, banyak berharap dan berdoa kepada-Nya,
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّى مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ مُرْدِفِينَ
"(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut"." (QS. Al-Anfal: 9)

Pertanyaan bagi kita, di mana posisi kita dari meneladani Rasulullah bersama para sahabatnya dalam mendoakan kemenangan untuk mujahidin dan mendoakan kehinaan atas musuh-musuh mereka?

Bagi mujahidin (aktifis jihad) saat berperang agar banyak menengadahkan tangan kepada Allah dengan penuh kerendahan untuk memohon pertolongan kepada-Nya. Harapannya, Allah akan mengijabahi doa kita sehingga menaklukkan musuh-musuh kita, memenangankan peperangan kita, menambah jumlah pasukan dari sisi-Nya sebagaimana yang pernah diberikan kepada Rasulullah dan para sahabatnya, yakni pasukan malaikat yang diutus dari sisi-Nya saat mereka berdoa kepada Allah dalam perang Badar. Dengan ini orang-orang kafir menjadi ciut hatinya dan lari terbirit-birit dengan kekalahan.


Ringkasnya, doa dan memohon pertolongan kepada Allah dalam peperangan harus menyatu dalam diri mujahidin saat berada medan jihad. Doa menjadi senjata utama yang tak boleh mereka tinggalkan. Karenanya Syaikh al-Mujahid Abu Hamzah Al-Muhajir dalam kitabnya Zaad al-Mujahid, mencantumkan doa sebagai bekal bagi mujahidin para bab-bab awal dari kitabnya tersebut, yang ini menunjukkan pentingnya bekal doa dalam jihad.

Imam Al-Tirmidzi menulis bab dalam kitab Jami'-nya, "Bab tentang doa apabila berperang". Lalu beliau menyebutkan hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila berperang, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ أَنْتَ عَضُدِي وَأَنْتَ نَصِيرِي وَبِكَ أُقَاتِلُ
"Ya Allah, Engkau adalah lenganku (penolongku). Engkau adalah pembelaku. Dengan pertolongan-Mu aku berperang" (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi. Syaikh A-Albani berkata: Shahih).

Semoga Allah melimpahkan kesabaran kepara para mujahidin di mana saja mereka berada, meneguhkan pendirian mereka, dan menghadiahkan kemenangan untuk mereka. Semoga kita dijadikan sebagai bagian dari mereka. Aamiin! Wallahu Ta'ala A'lam.

Selasa, 28 Mei 2013

MEWASPADAI FITNAH DUHAIMA



Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian serius tentang tanda-tanda kemunculan Dajjal adalah Fenomena Fitnah Duhaima’. Sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW, Duhaima’ yang bermakna kelam atau gelap gulita merupakan satu fitnah yang mengiringi kedatangan dajjal. Maka menjadi suatu hal yang sangat urgen untuk mengetahui hakikat dan bentuk dari fitnah ini.

Riwayat yang menyebutkan akan terjadinya fitnah ini adalah sebagaimana dikisahkan dari Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya ia berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk di hadapan Rasulullah SAW memperbincangkan tentang berbagai fitnah, beliau pun banyak bercerita mengenainya. Sehingga beliau juga menyebutkan tentang fitnah Ahlas. Maka, seseorang bertanya, ’apa yang dimaksud dengan fitnah Ahlas?’ beliau menjawab, ‘yaitu fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian fitnah Sarra’; kotoran atau asapnya berasal dari bawah kaki seseorang dari ahlu baitku, ia mengaku dariku padahal bukan dariku karena sesungguhnya waliku hanya orang-orang yang bertaqwa. Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian fitnah Duhaima yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini pasti dihantamnya. Jika dikatakan: ”ia telah selesai, maka justru ia berlanjut, di dalamnya seseorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari menjadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi 2 kemah; kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan, dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.” (HR. Abu Dawud, kitabul Fitan no 4242, Ahmad 2/133,Al Hakim 4/467, dishahihkan syaikh Al-Albani dalam shahih Jami’us Shaghir no.4194 dan silsilah Al-Ahadits Ash-shahihah no 974)

Jika melihat hadits di atas, hakikat dan terjadinya fitnah-fitnah tersebut saling berhubungan satu sama lain. Peristiwa yang satu akan menjadi penyebab munculnya fitnah berikutnya. Adapun terkait fitnah Duhaima’, dimana kata Duhaima’ merupakan bentuk tasghir dari kata dahma’ yang berarti hitam dan kelam. Fitnah ini akan meluas mengenai seluruh umat ini. Meskipun dikatakan bahwa fitnah ini telah berhenti ia akan terus berlangsung dan bahkan telah mencapai puncaknya. Perlu kita ketahui tentang beberapa bentuk konkret dari fitnah Duhaima’ ini, antara lain :

1. Fitnah ini bersifat menghantam seluruh ummat Islam baik dari kalangan bangsa Arab maupun ‘ajam. Sungguh tidak dapat dibayangkan bentuk kedahsyatan fitnahnya!
2. Fitnah ini muncul dalam bentuk sarana informasi dan hiburan berupa televisi. Hampir tidak ada satupun rumah di negeri yang berpenduduk umat Islam yang tidak dapat ditembus oleh fitnah televisi
3. Bentuk lainnya berupa fitnah ‘anti terorisme’, yang sebenarnya bermakna perang terhadap Islam dan umat Islam, terkhusus umat islam yang memiliki jalan jihad sebagai cara untuk menegakkan agama (iqamatuddin), sebagaimana realita yang terjadi , fitnah perang “anti terorisme” ini telah membelah manusia dalam dua kelompok; kelompok mukmin sejati yang tanpa sedikitpun dicemari oleh kemunafikan, dan kelompok munafik yang tidak memiliki keimanan.



Setiap mukmin perlu waspada dengan berbagai isu yang menyudutkan kaum muslimin. Sangat mungkin bagi mereka yang tidak menyadarinya akan masuk dalam perangkap yang dibuat oleh musuh-musuh Islam. Sesungguhnya efek fitnah Duhaima’ ini akan memaksa setiap orang untuk memilih salah satu dari dua kemah; yang pertama, kemah keimanan yang tidak tercampuri dengan kemunafikan, dan kedua, kemah kenifakan yang tidak terdapat keimanan sedikitpun di dalamnya.

Apa yang harus kita lakukan jika Fitnah Duhaima’ ini telah mengetuk pintu rumah kita?

1. Adapun jika fitnah perang melawan umat Islam dengan kedok ‘anti terorisme’ ini menjadi tafsiran yang sesungguhnya dari fitnah Duhaima’ ini, maka solusi yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw setiap muslim hendaknya tidak menunda amal dan bersegera dalam berbuat kebajikan. Beliau juga memerintahkan kita sebagaimana yang dikatakan kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, “Lazimilah Jama’ah kaum muslimin dan imam mereka” ketika Khuzaifah bertanya lagi, “Jika mereka tidak memiliki jama’ah maupun imam?” Maka beliau bersabda, “jauhilah semua kelompok itu, meskipun engkau harus menggigit akar pepohonan sampai kematian mendatangimu dan engkau tetap berada dalam hal itu.” (Muttafaq Alaih). Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW memerintahkan agar setiap muslimin bergabung bersama jama’tul muslimin dan pemimpin mereka. Sebab kebersamaan seseorang dengan komunitas muslim yang dipimpin oleh seseorang akan lebih menjadi sebab keberlangsungan Islam mereka.

Sedangkan meninggalkan jama’ah akan menyebabkan mereka semakin lemah dan mudah diterkam oleh musuh-musuhnya dan setanpun akan mudah untuk menyesatkan-nya, sebagaimana seekor kambing yang memisahkan diri dari komunitasnya. Namun jika mereka tidak mendapatkan komunitas muslim yang dipimpin oleh seorang mukmin sejati, maka uzlah dan menjauhkan diri dari kerumunan manusia merupakan solusi. Tentunya uzlah yang diperintahkan adalah uzlah yang mendatangkan maslahat untuk dirinya dan orang lain, bukan berangkat dari sikap melepas tanggungjawab. Maknanya adalah bahwa ia tetap harus mengupayakan terbentuknya basis yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang memiliki cita-cita iqamatuddin. Dalam suasana seperti ini, maka ia harus benar-benar kuat dalam menggigit kebenaran itu,tidak mudah tertipu dengan sekelompok manusia yang dicap sebagai”penyeru ke neraka jahannam”.

2. Jika semua ini telah terjadi, dan ia terus berlangsung hingga kini, maka -yang terakhir- waspadailah akan datangnya Dajjal yang akan muncul di akhir zaman. Inilah yang diingatkan Rasulullah saw, ”jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan dajjal pada hari itu atau besoknya”. Yang dimaksud dengan lafazh ini adalah jika fenomena terbelahnya umat ini menjadi dua kelompok telah terjadi, maka disaat itulah Dajjal akan keluar ke tengah-tengah manusia.



Satu hal yang harus diyakini bersama bahwa di akhir zaman nantinya, Umat Islam yang memahami bahaya fitnah ini akan komitmen dengan dakwah tauhid dan jihad dalam memerangi kezaliman. Maha Suci Allah yang telah menurunkan Islam sebagai aturan hidup untuk seluruh manusia yang hidup di muka bumi, yang mana di dalamnya Allah Azza Wajalla juga menurunkan syariat Jihad. Demikian muliaannya, syariat Jihad akan melenyapkan kesewenang-wenangan yang berlaku di muka bumi.

Rabu, 22 Mei 2013

MUBAHALAH


Pada acara Dialog “Ormas-Ormas Islam dalam Mempertahankan NKRI”, di Sahid Hotel, Jakarta Pusat, pada Sabtu (11/5/2013 terlontarkan tuduhan Khawarij dari KH Said Aqil Siradj [ketua PB NU] kepada ust. Abu Bakar Ba’asyir. KH Sa’id dalam menjelaskan pemahaman khawarij tersebut tidak tuntas dan mengesampingkan aspek substanstifnya. Beliau mengutip hadist Nabi SAW yang menceritakan sosok Dzulkhuwaisir yang begitu sombong meminta Rasulullah berbuat adil.
“Nanti dari umatku akan muncul seperti orang ini, hafal Qur’an, dalilnya Qur’an tapi tidak melewati tenggorokannya, artinya tidak paham secara substansif. Mereka itu sejelek-jelek manusia bahkan lebih jelek daripada binatang. Saya tidak termasuk mereka, mereka tidak termasuk kami”

KH Said mengatakan prediksi Rasulullah ini terbukti tahun 40 H, ketika Sayyidina Ali keluar dari rumahnya mengimami shalat Subuh dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam; Qaimul Lail, Shaimun Nahar, Hafizhul Qur’an. Yang membunuh Sayyidina Ali ini tiap hari puasa, tiap malam tahajjud, dan hafal Qur’an. KH Said Aqil begitu sering mengulang-ulang ciri Khawarij tersebut diatas padahal ciri itu sebenarnya gambaran seorang Muslim yang taat. Apakah khawarij itu karena rajin shalat malam dan lain sebagainya? padahal ada perkara mendasar di sana soal Khawarij

Apa dan Bagaimana Khowarij?

Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar (kharij). Adapun secara istilah, khawarij dinisbatkan pada sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu'awiyyah dalam perang Shiffin (37H/657).

Imam Asy-Syahrastaniy menjelaskan  “tiap-tiap orang yang keluar dari imam yang haq, yang  telah disepakati jama’ah, maka ia dinamakan khawarij, baik itu terjadi di masa sahabat, yaitu keluarnya mereka dari khalifah yang empat, ataupun pada masa tabi’in serta imam [pemimpin kaum muslimin] pada setiap masa Ibnu Hazm menambahkan bahwa istilah khawarij dinisbatkan pada semua kelompok atau pecahan yang dulu keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a atau yang mengikuti paham mereka, kapanpun itu terjadi

Secara substansif sebenarya aqidah khawarij adalah mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar, sedangkan prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah  adalah tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar, Ahlu Sunnah tidak mengkafirkanya. Adapun substansi dari kisah Dzilkhuwaisir adalah paham mengkafirkan yang serampangan terhadap Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan menerapkan syariat Islam. Jauh berbeda dengan pemerintah sekarang yang tidak menerapkan hukum Islam.

Dalam peringatan ust. Abu Bakar Ba’asyir yang tertuang dalam buku tadzkiroh III, yang di dalam isinya yaitu memperingatkan bahwasanya wajibnya umat islam untuk bersumber hukum dengan syari’at islam. Siapapun yang menentang syari’at islam serta memilih syari’at yang bertentangan dengan Islam maka disebut sebagai thoghut. Maka siapapun yang membela thoghut, maka akan menjadi bagian dari thogut itu sendiri. Termasuk didalamnya Densus 88.

Motivasi Ust. Abu Bakar Ba’asyir mengeluarkan buku Tadzkiroh tersebut adalah untuk memahamkan masyarakat Islam pada umumnya akan wajibnya syari’at Islam serta menginginkan Indonesia ini menjadi Negara yang diridhoi Allah SWT. Dan, di akhir bukunya beliau siap  berdiskusi terbuka apabila ada ulama-ulama yang menilai materi buku tadzkirohnya ada yang menyimpang, serta siap untuk bermubahalah dengan mereka.

Apa yang dimaksud Mubahalah

Mubahalah sendiri berasal dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna kutukan atau melaknat. Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang batil atau menyalahi pihak kebenaran.

Peristiwa mubahalah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap pendeta Kristen dari Najran pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana disebutkan dalam QS.  Ali Imron (3): 61; "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta."

Jumlah delegasi Kristen Najran yang mendatangi Nabi Muhammad SAW berjumlah 2 orang (lihat Riwayat Bukhari dan Tafsir Ibnu Katsir). Memang yang datang adalah 60 orang berkuda, 3 diantaranya adalah al-Aqib alias Abdul-Masih, al-Ayham alias as-Sayyid dan Abu Haritsah bin 'alqamah. Tetapi yang berdialog langsung dengan Nabi hanya 2 orang (yaitu al-Aqib dan as-Sayyid).

Mubahalah yang pernah diajukan oleh Rasulullah pun pada masa itu bukan karena kehabisan kata tetapi untuk mencari titik puncak penyelesaian semua diskusi, sebab tidak mungkin Islam mengakui ketuhanan al-Masih yang jelas-jelas manusia biasa dan utusan Allah sementara kaum kristen Najran yang Trinitas itupun tidak mau menerima konsepsi Tauhid Islam dan tetap mempertahankan keberhalaannya meskipun dalam hal ini Abu Haritsah bin 'Al-Qamah (satu dari 3 orang pimpinan Najran) sebenarnya mengakui kebenaran Islam dan kenabian Muhammad SAW.

Apabila pembuktian positif sudah diberikan tetapi masih ditolak juga maka mubahalah adalah puncak dari semua pembuktian akan kebenaran yang sudah diyakini. Ketika kita telah berani berkata atas nama Allah dan kebenaran-Nya, maka harusnya kitapun berani untuk membuktikan kejujuran dan kebenaran kita itu dihadapan Allah. Mubahalah -anggap saja- tidak berbeda dengan memberikan kesaksian dalam suatu persidangan, walaupun hakim yang menentukan siapa yang sebenarnya benar dan siapa yang sebenarnya salah sekaligus menjatuhkan hukuman-Nya kepada terdakwa.

Tidak ada sumpah pocong maupun kata-kata aneh dalam melakukan mubahalah. Semisal: kalau mati mayat tidak diterima bumi, atau disambar petir dan sejenisnya, al-Qur'an hanya mengajarkan kata-kata demikian: "Marilah kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu dan perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan kaum kami dan kaum kamu, kemudian kita berdoa dan kita jadikan laknat Allah atas orang-orang yang dusta ! " (QS. Ali Imron (3): 61)

Semoga Allah merahmati semua kaum muslimin serta melindunginya dari makar kaum kafir dan munafiqin yang tiada kenal henti melemahkan aqidah kaum muslimin. Wallahu a’lam.

Selasa, 21 Mei 2013

Sakit adalah Tanda Cinta Allah Kepada Hamba-Nya

Musibah itu datangnya dari Allah Ta'ala. Terkadang ia menjadi bukti kecintaan-Nya kepada seorang hamba. Ia laksana obat, walaupun pahit ia akan meminumnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dalam hadits Shahih disebutkan,
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum pasti Dia menguji mereka. Maka siapa yang ridha (terhadapnya) maka baginya keridhaan Allah, dan siapa yang marah (terhadapnya) maka baginya kemurkaan Allah." (HR. Al-Tirmidzi dan Ibnu Majah) 
Karenanya, orang yang paling banyak menerima musibah adalah para nabi dan rasul. Dengan itu, Allah mengangkat derajat mereka, meneguhkan kebenaran mereka, dan menjadikan mereka sebagai teladan bagi semua mahluk.
Di antara musibah yang Allah timpakan kepada hamba dalah sakit. Seorang mukmin melihatnya sebagai sebab yang menghapuskan dosa-dosanya. Penyakit-penyakit yang menimpanya sebagai kafarat (penebus) atas kesalahan-kesalahan yang telah ia lakukan.
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (QS. Al-Syuura: 30)
Dari Abu Sa'id dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma,Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَا يُصيبُ المُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ ، وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ ، وَلاَ حَزَنٍ ، وَلاَ أذَىً ، وَلاَ غَمٍّ ، حَتَّى الشَّوكَةُ يُشَاكُهَا إلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَاياهُ
"Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang muslim berupa rasa capek, sakit, cemas, sedih, gangguan, dan rasa susah; sampaipun duri yang mengenainya kecuali Allah akan menjadikannya sebagai kafarah (penghapus) dari kesalahan-kesalahannya." (HR. al-Bukhari dan muslim)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, berkata: RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَا يَزَالُ البَلاَءُ بالمُؤمِنِ وَالمُؤْمِنَةِ في نفسِهِ ووَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى الله تَعَالَى وَمَا عَلَيهِ خَطِيئَةٌ
"Tidaklah seorang mukmin dan mukminan tertimpa musibah pada dirinya, anaknya dan hartanya sehingga ia berjumpa Allah Ta'ala tidak membawa satu kesalahanpun." (HR. Al-Tirmidzi. Beliau berkata: hadits hasan shahih)

Dalam al-Shahih disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah menjenguk seorang badui yang sedang sakit. Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam apabila menjenguk orang sakit beliau berkata padanya,
لَا بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Tidak apa-apa, Insya Allah Suci (dari dosa-dosa dan kesalahan)." Sang badui tadi menyahut, "Engkau mengatakan suci! Oh Tidak, tetapi ia itu demam tinggi atas orang tua yang menghantarkannya ke kubur." Kemudian NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "kalau begitu ya." Maksudnya: bagimu apa yang engkau inginkan dan engkau takut mati.
Sakit adalah sebab untuk memperoleh pahala besar dan derajat tinggi di sisi Allah. Syaratnya, apabila orang tersebut bersabar dan ridha dengan apa yang menimpanya serta meminta pahala kepada Allah atas apa yang menimpanya tersebut..
Sakit juga bisa mendekatkan seorang hamba kepada Tuhan-nya dan menjadi sebab turunnya ampunan dan rahmat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 155-157)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla  akan berfirman pada hari kiamat, "Wahai anak Adam, Aku sakit engkau tidak menjengukku." Ia berkata: Wahai Rabb, bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Rabb semesta alam. Allah menjawab, "Tidakkah kamu tahu hamba-Ku si fulan sakit dan engkau tidak menjenguknya. Tidakkah kamu tahu jika kamu menjenguknya kamu dapati aku ada di sisi-Nya." (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
يَوَدُّ أَهْلُ الْعَافِيَةِ ، يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، حِينَ يُعْطَى أَهْلُ الْبَلاَءِ الثَّوَابَ ، لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بالْمَقَارِيضِ
"Orang-orang yang sehat saat melihat pahala yang diberikan kepada ahlul bala' (banyak dapat musibah) nanti di hari kiamat berkeinginan kalau saja kulit-kulit mereka dipotong dengan gunting saat di dunia." (HR. al-Tirmidzi dan dihassankan Syaikh Al-Albani) tujuannya agar mendapatkan pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang tertimpa banyak musibah di dunia.
Dari Abu Musa al-Asy'ari, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah berfirman kepada malaikat-Nya, 'kalian telah ambil anak hamba-Ku?' Mereka menjawab, 'Ya'.
Lalu Allah berfirman, 'Kalian telah ambil buah hatinya?' Mereka menjawab, 'Ya'.
Allah berfirman, 'apa yang dikatakan hamba-Ku?' Mereka menjawab, 'Ia memuji-Mu dan beristirja." Maka Allah berfirman, 'Bangunkan satu rumah untuk hamba-Ku di surga, dan namai rumah itu bait al-Hamd (rumah pujian)'." (HR. Al-Tirmidzi. Beliau berkata: hadits hasan)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاءِ،وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاهُمْ،فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا،وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
"Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya, apabila Allah suka kepada suatu kaum maka Allah berikan cobaan kepada mereka; siapa yang ridha maka bainya keridhaan (Allah) dan siapa yang marak baginya kemurkaan (Allah)." (Al-Tirmidzi)
Sakit juga bisa melenyapkan sifat sombong dan banga diri dari hati pencari ridha Allah. Ibnul Qayyim berkata, "Kalau tidak ada cobaan dan musibah dunia niscaya seorang hamba akan tertimpa penyakit sombong, ujub, congkak, dan kerasnya hati yang semua itu adalah sebab kehancurannya di dunia dan akhirat."
Saat Harun al-Rasyid sakit dan tidur di atas kasur kematiannya maka ia melihat kepada kebesaran dan hartanya, lalu berkata: "Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.Telah hilang kekuasaanku dariku!!" kemudian ia berkata: aku ingin melihat kuburku yang aku akan ditimbun di dalamnya. Lalu ia dibawa kekuburannya. Harun melihat ke kuburan dan menangis. Lalu ia memandang ke langit seraya berkata: Wahai Dzat yang tak akan hilang kekuasaan-Nya, rahmati orang yang kekuasaannya telah hilang!" Wallahu Ta'ala A'lam.

Senin, 20 Mei 2013

Doa Nabi SAW saat Perang Uhud


-ilustrasi-
Dienullah Al-Islam merupakan agama yang lengkap, seimbang dan sempurna. Sehingga dalam keadaan berperang sekalipun Allah سبحانه و تعالى tetap memerintahkan kaum beriman agar terus-menerus mengingat dan menyebut nama Allah سبحانه و تعالى . Hal ini cuma menunjukkan betapa seorang mukmin ketika sedang hebatnya berkobar suasana perang tidak boleh kehilangan kendali diri sedetikpun. Ia diharuskan untuk selalu menjalin hubungan dengan Allah سبحانه و تعالى Yang Maha Kuat sehingga tidak bergeser sedikitpun niatnya dalam berperang selain untuk mengejar Ridha Allah سبحانه و تعالى alias bersikap mukhlishiina lahud-diin(memurnikan ketaatan hanya kepadaNya).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS Al-Anfaal 45)
Kaum beriman sangat sadar bahwa kemenangan dalam suatu medan jihad fi sabilillah merupakan karunia yang datang semata atas izin Allah سبحانه و تعالى bukan lantaran kepiawaian mereka dalam bertempur. Oleh karenanya di medan peperangan sekalipun, seorang mukmin-mujahid tidak pernah boleh berhenti memohon pertolongan dan kemenangan dari Allah سبحانه و تعالى . Sehingga di kalangan kaum beriman dikenal adanya dua karakter yang mesti berpadu di dalam pribadi seorang jundullah(prajurit Allah سبحانه و تعالى ) yakni:
فرسانا بالنهار و رهبانا بالليل
“Penunggang kuda di siang hari dan rahib (ahli ibadah) di malam hari.”
Kedua karakter yang berpadu di dalam pribadi seorang mukmin jundullah inilah yang sepanjang sejarah senantiasa menimbulkan rasa gentar musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى baik dari kalangan ahli Kitab maupun kaum musyrikin. Oleh karenanya ketika Nabi صلى الله عليه و سلم menggambarkan merosotnya kualitas ummat Islam lantaran terjangkiti penyakit al-wahn (cinta dunia dan takut akan kematian), maka salah satu konsekuensi logis yang bakal muncul ialah tercabutnya rasa takut kaum kuffar terhadap kaum muslimin yang telah melemah tersebut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk." Seorang laki-laki berkata, "Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?" beliau menjawab: "Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut dari hati musuh kalian kepada kalian, dan akan Allah tanamkan ke dalam hati kalian Al-wahn." Seseorang lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apa itu Al-wahn?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (ABUDAUD – 3745) Shahih
Sungguh kita sangat khawatir bahwa hadits di atas telah menjadi kenyataan pada zaman kita dewasa ini. Di zaman penuh fitnah ini kita menyaksikan semakin banyaknya orang yang mengaku Islam namun sudah kehilangan isti’la-ul-imaan (kebanggaan karena iman) di dalam hatinya. Mereka telah menjadi sedemikian cinta dunia-nya sehingga terlihat betapa tolok-ukur kemuliaan tidak lagi berlandaskan iman dan taqwa melainkan materi, jabatan dan kekayaan dunia. Sedemikian dahsyatnya rasa takut akan kematian sehingga mereka rela untuk berkompromi dengan thaghut dan ideologi mereka. Seolah hanya dengan jalan itulah mereka dapat mempertahankan eksistensi di hadapan kaum kuffar dan thaghut. Maka tidak mengherankan jika kaum kuffar-pun akhirnya tidak merasa takut lagi dengan kaum muslim yang telah terjangkiti virus al-wahn tersebut.
ilustrasi
Padahal di dalam sirah Nabawiyyah (sejarah perjuangan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ) begitu banyak kita temukan keteladanan dalam hal memelihara kebanggaan iman dan ruhul-jihad. Dan semua hal itu menjadi sangat indah sekaligus penuh kemuliaan ketika diiringi dengan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah سبحانه و تعالى di tengah kancah al-jihadu fi sabilillah sekalipun. Salah satu contohnya ialah ketika dalam perang Uhud bagaimana Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم mengajak para sahabat untuk berdoa dengan doa yang sangat panjang di bawah ini. Dan coba perhatikan betapa komprehensifnya isi doa beliau.
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كُلُّهُ اللَّهُمَّ لَا قَابِضَ لِمَا بَسَطْتَ وَلَا بَاسِطَ لِمَا قَبَضْتَ وَلَا هَادِيَ لِمَا أَضْلَلْتَ وَلَا مُضِلَّ لِمَنْ هَدَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُقَرِّبَ لِمَا بَاعَدْتَ وَلَا مُبَاعِدَ لِمَا قَرَّبْتَ اللَّهُمَّ ابْسُطْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِكَ وَرَحْمَتِكَ وَفَضْلِكَ وَرِزْقِكَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ الْمُقِيمَ الَّذِي لَا يَحُولُ وَلَا يَزُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ النَّعِيمَ يَوْمَ الْعَيْلَةِ وَالْأَمْنَ يَوْمَ الْخَوْفِ اللَّهُمَّ إِنِّي عَائِذٌ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا أَعْطَيْتَنَا وَشَرِّ مَا مَنَعْتَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْإِيمَانَ وَزَيِّنْهُ فِي قُلُوبِنَا وَكَرِّهْ إِلَيْنَا الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ وَاجْعَلْنَا مِنْ الرَّاشِدِينَ اللَّهُمَّ تَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ وَأَحْيِنَا مُسْلِمِينَ وَأَلْحِقْنَا بِالصَّالِحِينَ غَيْرَ خَزَايَا وَلَا مَفْتُونِينَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ اللَّهُمَّ قَاتِلْ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَهَ الْحَقِّ
Pada hari Perang Uhud ketika orang-orang musyrik berlari mundur, Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Berbarislah kalian hingga saya memuji Rabbku" lalu mereka (para sahabat) membuat barisan di belakang, lalu Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, ya Allah tidak ada yang bisa mengenggam apa yang telah Engkau bentangkan dan tidak ada pula yang bisa membentangkan apa yang telah Engkau genggam. Tidak ada yang bisa memberi petunjuk terhadap siapa yang telah Engkau sesatkan, tak ada pula yang bisa menyesatkan siapa yang telah Engkau beri petunjuk. Tidak ada yang bisa memberi terhadap apa yang telah Engkau tahan dan tidak ada pula yang bisa menahan terhadap apa yang telah Engkau beri. Tidak ada yang bisa mendekatkan terhadap apa yang telah Engkau jauhkan dan tidak ada pula yang bisa menjauhkan terhadap apa yang telah Engkau dekatkan. Ya Allah bentangkan pada kami dari barakah-Mu, rahmat-Mu, kelebihan-Mu dan rizki-Mu. Ya Allah, saya memohon kepada-Mu kenikmatan yang kekal yang tidak berlalu dan tidak pula hilang. Ya Allah saya memohon kepada-Mu kenikmatan pada saat kefakiran, dan keamanan pada saat ketakutan. Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa saja yang telah Engkau berikan, dan dari kejelekan apa saja yang telah Engkau tahan. Ya Allah, cintakan pada diri kami keimanan dan hiaskanlah pada hati-hati kami. dan bencikan diri kami terhadap kekufuran, kefasikan serta kemaksiatan. Jadikan kami di antara orang-orang yang berpetunjuk. Ya Allah, wafatkan kami dalam keadaan Islam, hidupkan kami dalam keadaan Islam dan sertakan kami bersama dengan orang orang sholeh yang tidak hina dan tidak pula terfitnah. Ya Allah, perangilah orang-orang kafir yang mendustakan para Rasul-Mu dan merintangi jalan-Mu, dan berikan mereka siksa-Mu dan adzab-Mu. Ya Allah, perangilah orang orang kafir yang telah diberi kitab (yahudi dan nashroni), ya Allah Ilah (Tuhan) kebenaran." (AHMAD – 14945) Shahih

Nasihat Sayid Qutub : Berpisah karena Aqidah

Suatu hari nanti para aktivis dakwah mau tidak mau harus mengambil sikap memisahkan secara total dari kaumnya ! Sebab umat yang satu ini pada saatnya telah menjadi umat yang berbeda: Umat yang hanya tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala semata dan menolak tunduk kepada selainNya. Ia terpisah dari umat yang menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah serta yang menentang Allah !

Pada hari terjadinya perpisahan ini akan terealisasi janji Allah Subhanahu wata’ala kepada walinya berupa kemenangan dan pembinasaan musuh-musuh-Nya dalam bentuk yang terbersit –atau tidak- dalam hati. Dalam sejarah dakwah kepada Allah sepanjang masa, Allah tidak memisahkan wali-wali-ya dengan musuh Allah kecuali sesudah wali-waliNya menyatakan berpisah dengan musuh-musuh-nya atas dasar ‘memilih Allah’ saja. Mereka itulah golongan Allah yang tidak bersandar kepada selain Nya, mereka itulah oang-orang yang tidak menemukan seorang pun penolong selainNya.

Demikianlah sikap Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam tatkala sekelompok orang dari kaumnya merespon seruannya, lalu merekapun mengimani apa yang dibawanya. Mereka menyembah Allah saja seperti yang dituntut dari mereka dan serta melepas dari lehernya belenggu ketundukan kepada siapapun juga dari makhlukNya, dengan begitu mereka menjadi Muslim , umat Islam!

Sementara itu sekelompok lain dari kaumnya tidaklah merespon seruannya , bahkan mengingkari apa yang dibawanya dan tetap bertahan dalam ketundukkannya kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka tetap dalam kejahiliyahannya , tidak keluar darinya menuju Islam: dengan begitu mereka menjadi musyrik!

Satu hal yang mesti diyakini dengan sepenuh hati oleh para pionir kebangkitan Islam diseluruh penjuru negeri adalah ”Allah subhanahu wata’ala tidak memisahkan umat Islam dari musuh-musuhnya dari kaumnya sendiri melainkan sesudah mereka memisahkan diri dari musuh-musuhnya; memaklumatkan perpisahan dengan mereka karena kemusyrikan yang tetap mereka pedomani; dan menyampaikan kepada mereka bahwa hanya tunduk kepada Allah saja, tidak tunduk kepada tuhan-tuhan palsu mereka, tidak mengikuti thagut-thagut yang berkuasa, dan tidak ikut serta dalam kehidupan dan masyarakat yang dipimpin oleh thagut-thagut ini dengan hukum yang tidak diperkenankan Allah, baik terkait dengan aqidah , ritual peribadatan, maupun hukum perundang-undangan".



Tangan Allah Subhanahu wata’ala tidak akan turut campur dalam membinasakan orang-orang zalim kecuali setelah umat Islam menceraikan mereka. Selagi umat Islam belum menceraikan kaum mereka dan belum berlepas diri dari mereka dan belum memaklumatkan perbedaan agamanya dengan agama mereka, manhajnya dengan manhaj mereka,dan jalannya dengan jalan mereka , tangan Allah tidak akan turut campur untuk memisahkan mereka dengan orang-orang itu, juga untuk meresalisasikan janji Allah untuk menolong orang-orang beriman dan mengalahkan orang-orang zalim.

Kaidah umum inilah yang mesti diketahui oleh para pionir aktifis kebangkitan Islam dan mereka harus meng-urut-kan gerakannya atas dasar kaidah ini ..!

Jumat, 17 Mei 2013

CARILAH HIBURAN DENGAN MEMANAH!




Setiap hari Uqbah bin Amir Al Juhani keluar dan berlatih memanah, kemudian ia meminta Abdullah bin Zaid agar mengikutinya namun sepertinya ia nyaris bosan. Maka Uqbah berkata, "Maukah kamu aku kabarkan sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?" Ia menjawab, "Mau." Uqbah berkata, "Saya telah mendengar beliau bersabda:


يُدْخِلُ بِالسَّهْمِ الْوَاحِدِ ثَلَاثَةَ نَفَرٍ الْجَنَّةَ صَاحِبَهُ الَّذِي يَحْتَسِبُ

فِي صَنْعَتِهِ الْخَيْرَ وَالَّذِي يُجَهِّزُ بِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

وَالَّذِي يَرْمِي بِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالَ ارْمُوا وَارْكَبُوا

وَإِنْ تَرْمُوا خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَرْكَبُوا

"Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla akan memasukkan tiga orang ke dalam surga lantaran satu anak panah; orang yang saat membuatnya mengharapkan kebaikan, orang yang menyiapkannya di jalan Allah serta orang yang memanahkannya di jalan Allah." Beliau bersabda: "Berlatihlah memanah dan berkuda. Dan jika kalian memilih memanah maka hal itu lebih baik daripada berkuda." (AHMAD – 16699)

Untuk itu marilah kita memulai upaya persiapan tersebut dengan melakukan apa yang jelas-jelas telah dianjurkan oleh Rasulullah saw. Di antaranya ialah memanah.





سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ


{ وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ }


أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas mimbar berkata: "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah!” (ABUDAUD – 2153)


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ اللَّهْوُ إِلَّا فِي ثَلَاثَةٍ

تَأْدِيبِ الرَّجُلِ فَرَسَهُ وَمُلَاعَبَتِهِ امْرَأَتَهُ وَرَمْيِهِ بِقَوْسِهِ وَنَبْلِهِ وَمَنْ

تَرَكَ الرَّمْيَ بَعْدَ مَا عَلِمَهُ رَغْبَةً عَنْهُ فَإِنَّهَا نِعْمَةٌ كَفَرَهَا أَوْ قَالَ كَفَرَ بِهَا


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada hiburan kecuali dalam tiga hal; seorang laki-laki yang melatih kudanya, candaan seseorang terhadap isterinya, dan lemparan anak panahnya. Dan barangsiapa yang tidak memanah setelah ia mengetahui ilmunya karena tidak menyenanginya, maka sesungguhnya hal itu adalah kenikmatan yang ia kufuri." (NASAI – 3522)