Mendekati
Pemilu, baik Pemilihan Legislatif yang lalu dan Pemilihan Presiden mendatang,
bermunculan di berbagai media tentang pernyataan dan himbauan agar umat Islam
terlibat dan berpartisipasi di dalamnya dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqih (al-qowa’id al-fiqhiyyah).
Kaidah Fiqih dan
Rambu-rambunya
Kaidah
fiqih dalam kitab-kitab Ushul Fiqih
disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Ada yang
disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, al-qawa’id
asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Adapun dalam istilah atau
terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi tentang Kaidah fiqih,
sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab dibawah ini:
1) Dalam kitab At-Ta’arifat, yaitu : “Hukum
universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya dan bisa diketahui
hukumnya.”
2) Dalam kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh, “Ketentuan
universal yang bisa menemukan
bagian-bagiannya melalui penalaran.”
Definisi
tersebut menjelaskan bahwa kaidah fiqih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fiqih sebenarnya adalah
hukum syar’i, yang di-istinbath dari
dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fiqih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber
hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua:
kaidah fiqih merupakan hukum kulli,
yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja.
Pengamalan
kaidah fiqih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah
fiqih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nash
syariah, sedangkan kaidah fiqihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh
diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fiqih kedudukannya sederajat dengan
pengamalan Qiyas. Adapun beberapa penyalahgunaan kaidah yang terjadi antara
lain:
Kaidah Adh-Dhoruroh Tubih Al-Mahzhurot
Yaitu
kaidah darurat untuk menjustifikasi
[menghukumi] keikutsertaan dalam Pemilu. Hal ini tidaklah bisa dibenarkan, alasannya
ada dua. Pertama: pengamalan kaidah
darurat bertentangan dengan nash-nash syariah yang mengharamkan fungsi
legislasi dalam sistem demokrasi saat yang memberikan hak tasyri (penetapan hukum) kepada selain Allah, padahal dalam Islam
hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja. Nash-nash syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja
(QS al-An’am [6] : 57).
Karena
itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah,
Al-Qur’an menyebutnya sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah
menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al
Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).
Kedua: karena kondisi
daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidah adh-dhorurah tubih al-mahzhurot (kondisi
darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menghukumi benarnya
keterlibatan umat dalam pemilu.
Darurat
menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia
tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal
kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb). Contohnya boleh makan
bangkai atau minum khomer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia
akan terancam mati (Al-Asybah wa an-Nazho’ir,
hlm. 84-85). Definisi itu hakikatnya adalah keterpaksaan yang sangat yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan
kematian (al-idhthirar al-mulji).
Dengan
demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar
kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet,
jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama
sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah
kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak,
bukan?
Persoalannya,
sebagian umat islam ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat
didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga
mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya. Jadi
seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam
kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi
darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang [terkesan]logis kalau
Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum
liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih.
Dengan tak memilih, umat memang akan terancam, meski bukan terancam nyawanya,
tetapi mungkin terancam kepentingannya. Tapi apakah demikian yang terjadi?
sedangkan Allah Maha Mengetahui dan Menguasai tentang kejadian yang manusia
sendiri belum tahu kepastiannya. Wallohu
musta’an.
Kaidah Akhoffu Dhororoyn
Kaidah
Akhoffu Dhororoyn artinya adalah
seorang Muslim boleh memilih bahaya (dhoror)
yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini biasanya digunakan
untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks
Pemilu. Pertama: bahaya kecil ketika
umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua:
bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan
adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam
kepentingan atau aspirasi umat Islam.
Penggunaan
kaidah Akhoffu Dhororoyn ini untuk
membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa
alasan. Pertama: pengamalan kaidah
tersebut secara syar’i bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang
mengharamkan penerapan selain hukum Allah.
Kedua: kaidah tersebut
terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem
yang ada. Sering diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik
dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik
dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara
signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang
dihasilkan tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau
non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam
dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap
saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad
Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).
Ketiga: pengguna kaidah
tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat
Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU
Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini
telah menjadi dasar Perpres untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali
terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang
dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.
Kaidah Ma Laa Yudroku Kulluhu Laa Yutroku Kulluhu
Kaidah
ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua.
Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih
semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali. Penggunaan kaidah
ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan. Pertama: tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah yang telah
mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.
Kedua: kaidah tersebut
hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh
diterapkan untuk perbuatan yang haram. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis
yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu
sekuat kemampuan kalian.” (HR Bukhari dan Muslim).
Penutup