Selasa, 03 Juni 2014

Syariat Islam Bisa Dirubah, Benarkah?

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, Beragam usaha telah dilakukan pihak-pihak yang memusuhi Islam [kaum kafir dan munafiq] agar kebenaran dan kemuliaan ajaran Islam yang murni itu sampai ke generasi berikutnya dalam kebingungan dan keragu-raguan. Salah satu caranya dengan membuat dan memunculkan kerancuan [syubhat] tentang  informasi sejarah Islam yang menjadi ‘makanan mental’ anak-anak Islam dari satu generasi ke satu generasi. Lebih parahnya, syubhat ini menjadikan generasi muslim terjebak dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bersifat ‘obat’ dan mana yang ‘racun’, sehingga terkesan semuanya adalah benar.

Dengan terjebaknya seorang muslim dalam perangkap pemikiran tersebut maka akan berakibat munculnya salah dalam penyimpulan yang bisa berujung dalam salah penyikapan. Salah satu dampak syubhat itu adalah munculnya anggapan “Syariat Bisa Berubah Dikarenakan Perubahan Zaman Dan Tempat”, yang merujuk kepada beberapa fakta yang terjadi masa khalifah Umar yaitu:

1.Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60).

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya [mu’allafa qulu buhum], untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2.Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS al-Maidah [5]: 38).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mendudukkan Permasalahan

Banyak yang mengatakan bahwa “bicara syari’at Islam harus dilihat dari konteks hukum tersebut”, namun ketika bicara perkara tadi mereka lupa akan konteks terjadinya perkara tsb, sehingga dengan mudahnya berkesimpulan bahwa khalifah Umar r.a telah mengubah hukum Islam. Marilah kita ulas perkara tersebut dengan taufiq-Nya:

1. Umar Tidak Memberikan Zakat Untuk Muallaf

Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena sesungguhnya waktu itu muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan, karena tidaklah mungkin memberikan sesuatu kepada yang tidak ada.

Para ulama Ushul Fiqih menjelaskan, pengaitan suatu hukum dengan suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya ‘illat (sebab penetapan hukum) yang melekat pada sifat tersebut. Dalam hal ini, kata mua’llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok orang, yaitu ta’lîf al-qulûb (pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat itu ada-yakni ta’lîf al-qulûb-mereka harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka tidak diberi (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 571).

Hal ini tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada golongan fakir, miskin, dan amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat kefakiran, kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat. ‘Illat pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar telah lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit dan musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/871).

2. Umar Tidak Memotong Tangan Pencuri Pada Masa Terjadinya Kelaparan

Dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-’Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi ‘musibah kelaparan’, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari r.a., bahwa Nabi saw. bersabda (Sunan Ibnu Majah, 3: 199):

“Sesungguhnya Allah benar-benar memaafkan terhadap umatku yang salah, lupa dan terpaksa (dalam berbuat sesuatu)”.

Dan juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ma’khul:

“Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa“. (As-Sarkhasi, al-Mabsûth, 11/293 dan Al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât , 1990: 68).

Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (QS 5: 38).

Penutup

Jadi tidaklah tepat kalau Umar Bin Khoththob sebagai seorang Khalifah dikatakan telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. Justru yang dilakukan adalah menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang syari’at Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman. Bahkan, hujjah ini memperjelas kewajiban berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban yang tidak bisa diubah dan ditawar. Hujjah ini juga menegaskan tingginya dan sempurnanya  kedudukan syariat Islam sehingga tidak bisa digantikan dengan hukum-hukum buatan yang manusia yang rentan dicemari oleh kepentingan hawa nafsu dan tipu daya setan

Adapun penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), kalau ‘illat-nya ada maka hukumnya akan ada, kalau ‘illat-nya tidak ada hukumnya juga tidak ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.

Adalah kewajiban bagi kita semua untuk meneliti kembali sesuatu sebelum kita ucapkan, karena semua yang kita ucapkan, kita tulis, dan kita perbuat akan diminta pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.  ‘Allahu Ta’ala A’lam. [bud-jbr]