Saudaraku
kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, Beragam usaha telah dilakukan
pihak-pihak yang memusuhi Islam [kaum kafir dan munafiq] agar kebenaran dan
kemuliaan ajaran Islam yang murni itu sampai ke generasi berikutnya dalam
kebingungan dan keragu-raguan. Salah satu caranya dengan membuat dan
memunculkan kerancuan [syubhat] tentang
informasi sejarah Islam yang menjadi ‘makanan mental’ anak-anak Islam
dari satu generasi ke satu generasi. Lebih parahnya, syubhat ini menjadikan
generasi muslim terjebak dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang
palsu, mana yang bersifat ‘obat’ dan mana yang ‘racun’, sehingga terkesan semuanya
adalah benar.
Dengan
terjebaknya seorang muslim dalam perangkap pemikiran tersebut maka akan
berakibat munculnya salah dalam penyimpulan yang bisa berujung dalam salah
penyikapan. Salah satu dampak syubhat itu adalah munculnya anggapan “Syariat Bisa Berubah Dikarenakan Perubahan
Zaman Dan Tempat”, yang merujuk kepada beberapa fakta yang terjadi masa
khalifah Umar yaitu:
1.Umar
tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam
al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60).
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya [mu’allafa qulu buhum], untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
2.Umar
tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal
ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS
al-Maidah [5]: 38).
Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Mendudukkan
Permasalahan
Banyak
yang mengatakan bahwa “bicara syari’at
Islam harus dilihat dari konteks hukum tersebut”, namun ketika bicara
perkara tadi mereka lupa akan konteks terjadinya perkara tsb, sehingga dengan
mudahnya berkesimpulan bahwa khalifah Umar r.a telah mengubah hukum Islam.
Marilah kita ulas perkara tersebut dengan taufiq-Nya:
1. Umar Tidak
Memberikan Zakat Untuk Muallaf
Dalam
masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau
meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena sesungguhnya waktu itu
muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi
delapan golongan (ashnaf) yang telah
dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu
ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu
tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan, karena tidaklah
mungkin memberikan sesuatu kepada yang tidak ada.
Para
ulama Ushul Fiqih menjelaskan,
pengaitan suatu hukum dengan suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya ‘illat (sebab penetapan hukum) yang
melekat pada sifat tersebut. Dalam hal ini, kata mua’llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok
orang, yaitu ta’lîf al-qulûb
(pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat
itu ada-yakni ta’lîf al-qulûb-mereka
harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka tidak diberi
(Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 571).
Hal
ini tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada golongan fakir, miskin, dan
amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat kefakiran,
kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat. ‘Illat pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar
telah lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda
halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit dan
musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili,
Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/871).
2. Umar Tidak
Memotong Tangan Pencuri Pada Masa Terjadinya Kelaparan
Dalam
peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya
kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama
telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam
karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis
Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-’Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat
diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh
dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi ‘musibah kelaparan’,
sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda (Sunan Ibnu Majah, 3: 199):
“Sesungguhnya Allah
benar-benar memaafkan terhadap umatku yang salah, lupa dan terpaksa (dalam
berbuat sesuatu)”.
Dan
juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ma’khul:
“Tidak ada potong
tangan pada masa kelaparan yang memaksa“. (As-Sarkhasi, al-Mabsûth, 11/293 dan
Al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât , 1990: 68).
Jadi,
Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis
ini, sebagai pengecualian (takhsîs)
dari ketentuan umum potong tangan (QS 5: 38).
Penutup
Jadi
tidaklah tepat kalau Umar Bin Khoththob sebagai seorang Khalifah dikatakan
telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. Justru yang
dilakukan adalah menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang
syari’at Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman. Bahkan, hujjah ini memperjelas
kewajiban berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban yang tidak bisa diubah
dan ditawar. Hujjah ini juga menegaskan tingginya dan sempurnanya kedudukan syariat Islam sehingga tidak bisa digantikan
dengan hukum-hukum buatan yang manusia yang rentan dicemari oleh kepentingan
hawa nafsu dan tipu daya setan
Adapun
penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum),
kalau ‘illat-nya ada maka hukumnya
akan ada, kalau ‘illat-nya tidak ada
hukumnya juga tidak ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.
Adalah
kewajiban bagi kita semua untuk meneliti kembali sesuatu sebelum kita ucapkan,
karena semua yang kita ucapkan, kita tulis, dan kita perbuat akan diminta
pertanggung jawabannya kelak di hari akhir. ‘Allahu
Ta’ala A’lam. [bud-jbr]