Jumat, 07 Februari 2014

Ketika Cinta Berubah Murtad


Beberapa tahun lalu, pernah marak diungkapkan oleh beberapa media Islam tentang fakta pemurtadan kepada wanita muslimah dengan modus 3 D  yaitu dipacari, dihamili, dan dimurtadkan. Modus ini bukan cerita isapan jempol, tapi  fakta yang tengah dialami dalam masyarakat Islam Indonesia. Inilah modus pemurtadan yang kerap terjadi untuk mengeluarkan seorang Muslim/Muslimah dari Islam.



Modus yang Berlanjut Terus

Pada 1970-an seorang menteri Orde Baru harus menelan kenyataan pahit setelah anak perempuannya dipacari dan dihamili oleh seorang pemuda Kristen. Saking cintanya dan takut anak yang dikandungnya tak berayah, sang anak pun rela ‘dinikahi’ dengan syarat harus keluar dari Islam (murtad). Perempuan Islam itu pun terpaksa “menikah” karena sudah hamil dengan lelaki idamannya sehingga “cinta mati” berhasil mengeluarkannya dari aqidah Islam.

Modus lainnya, pria yang kafir itu pura-pura masuk Islam supaya bisa “menikahi” wanita Muslim. Setelah berhasil, dia kembali ke keyakinannya semula, dan mengajak perempuan yang “dinikahi”nya untuk masuk pada keyakinannya alias murtad. Kasus terbaru adalah kasus artis sinetron Jonas Rivanno dan Asmirandah. Jonas Rivanno rela menjadi mualaf untuk menikahi Asmirandah. Namun setelah resmi menjadi suami Andah pada 17 Oktober silam, Jonas kembali menganut agama terdahulunya.

KH Amidhan sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, angkat bicara mengenai permasalahan yang menimpa Asmirandah dan Jonas, yang sudah menyalahi agama. Amidhan melarang pernikahan yang membuat seseorang harus menistai agama, apalagi pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan dipertanggungjawabkan nantinya. Apalagi ternyata Jonas Rivanno dan Asmirandah telah menikah dengan cara kristen di luar negeri setelah pernikahan mereka dibatalkan oleh pihak keluarga Asmirandah.

Bagaimana Islam Menilai Perbuatan Murtad?

Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith,1/338). Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah: menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32).

Macam-macam Riddah

[1] Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
[2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
[3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal.. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
[4] Riddah dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan berlakunya Hukum Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33).
           
Untuk kasus yang menimpa Jonas Rivanno dan Asmirandah bisa jadi Asmirandah murtad disebabkan dengan ucapan dan perbuatan karena dia menikah ulang di altar gereja, seperti yang banyak diberitakan di media. Naudzu billahi min dzalik

Apa Hukumannya?

Dalam Pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam (Daulah/Khilafah), hukum orang yang murtad adalah dibunuh.  Ini karena murtad adalah perbuatan yang sangat membahayakan aqidah umat apalagi jika orang tersebut public figure dan perbuatannya bisa dicontoh oleh banyak orang. Sedangkan murtad dari Islam adalah perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah dan menyebabkan pelakunya kekal di neraka jika mereka tidak bertaubat dan kembali memeluk Islam.

Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan orang murtad adalah sebagai berikut:

[1] Orang yang murtad harus diminta bertaubat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman. 

Allah berfirman “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu.” (QS Al Anfal : 38)

[2] Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).

[3] Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta taubat. Apabila dia bertaubat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fa’i yang diperuntukkan bagi Baitul Maal Kaum Muslimin sejak dia dihukum atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat bahwa hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.

[4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.

[5] Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33).

Apa Penyebabnya?

1. Kebodohan. Hal ini adalah penyebab utama adanya gelombang pemurtadan. Salah satu cara yang efektif untuk mencegah pemurtadan adalah dengan menyebarkan aqidah dan ilmu yang benar di masyarakat. Dengan pemahaman Islam yang benar seorang muslim dapat menghindari keburukan (termasuk pemurtadan) yang berpeluang terjadi  dan terjatuh di dalamnya.

2. Kemiskinan. Pemurtadan seringkali terjadi pada daerah-daerah miskin dan terkena bencana alam. Banyak kaum Muslimin rela yang mengorbankan keyakinan mereka hanya untuk sesuap nasi dan sebungkus mie instan atau bahkan sebuah pekerjaan yang ternyata upah yang diperolehnya juga pas-pasan.

3. Tidak adanya pemerintahan Islam (Daulah/Khilafah)
Ketiadaan pemerintahan Islam yang menegakkan syariat Allah harus kembali kita wujudkan dan perjuangkan dengan jihad fie sabilillah agar musuh-musuh Islam tidak leluasa melakukan pemurtadan dan penyesatan terhadap umat Islam. Tanpa ada Pemerintahan Islam tidak ada payung hukum yang tegas dan jelas tentang pemurtadan. Karena, bagi suatu pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Islam perbuatan murtad bukanlah suatu dosa besar yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka. 
Beberapa bukti pentingnya keberadaan dan peran pemerintahan Islam dalam menghentikan gelombang pemurtadan antara lain:
a. Para Khulafa’ Rasyidin memerangi orang-orang yang murtad dan menghukumi mereka dengan hukuman mati, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq terhadap Musailamah al-Kadzab dan para pengikutnya.
b. Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Al Mahdi, yang memburu orang-orang yang murtad kemana saja mereka bersembunyi, mereka yang tertangkap dibawa kehadiran-nya dan dibunuh di depannya. (al Bidayah wa an Nihayah 10/149 )

Apa Kesimpulannya? 

Kasus Murtadnya Asmirandah dapat dijadikan pelajaran untuk mengingatkan para remaja dan orang tua Muslim di tengah fokus bahaya Syiah, Zionis, Komunis, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, agar kita senantiasa berpegang teguh dengan Al-Quran dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup terbaik agar tidak terjebak pemurtadan berkedok pernikahan. 

“…Janganlah kalian menikahkan perempuan-perempuan Mukmin dengan laki-laki musyrik sampai mereka beriman. Budak laki-laki Mukmin sungguh lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik, sekalipun laki-laki musyrik menyenangkan hati kalian. ... (QS al-Baqarah [2]: 221). 

Wallahu A’lam (h4n-prob)