Perayaan Idul Adha telah berlalu, gema takbir dan pembagian qurban sangat terasa di negeri ini. Namun di balik kegembiraan tersebut, ternyata menyisakan sedikit keprihatinan ketika kita tidak dapat melaksanakan Sholat Idul Adha di hari yang sama. Yang satu berpendapat dengan metode hisab dan satu dengan metode ru'yah, dan ada juga yang kemudian berpendapat pokok'e mengikuti keputusan penguasa sebagai bentuk ketaatan kepada Ulil Amri.
Makna Ulil Amri dalam Islam
Satu kelompok ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah Umara. Berkata sebagian ulama lain, bahwa Ulil Amri itu adalah Ahlul Ilmi Wal Fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah-lah yang dimaksud dengan ulil amri. Sebagian lainnya berpendapat ulil amri itu adalah Abu Bakar dan Umar. (Lihat lebih jauh dalam Tafsir at-Thabari, juz 5, h. 147-149)
Ibnu Katsir, menyimpulkan bahwa Ulil Amri itu adalah ulama. Sedangkan secara umum Ulil Amri itu adalah Umara dan Ulama" (Tafsir al-Quran Al-Azhim, juz 1, h. 518)
Jadi kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri (apapun pendapat yang kita pilih tentang makna ulil amri). Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat"; sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul (periksa redaksi QS An-Nisa [4] : 59).
Jadi bisa difahami bahwa ketaatan kita hanya boleh dilakukan kepada pemimpin/ulil amri yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam artian yang menjalankan Al Quran dan Sunnah sebagai landasan hidup baik pribadi maupun bernegara.
Sebaliknya kalau pemimpin itu tidak menjalankan Al Quran dan Sunnah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga syariat Islam tidak dapat berlaku kaffah di negerinya, maka ketaatan umat muslim kepadanya menjadi batal. Karena pemberlakuan hukum Allah atau syariat Islam, adalah salah satu konsekuensi keimanan kepada Allah.
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (terjm QS Al A'rof 54)
Dalam ayat tersebut setelah menerangkan bahwa Allah adalah yang telah menciptakan segala sesuatu maka dengan tegas dan jelas Allah menyatakan, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. Hak memerintah dan melarang hanyalah milik Allah.
Di dalam kitab A'lamul Muwaqqi'in, Ibnu al Qayyim berkata,
Bid'ah yang paling besar adalah menanggalkan Kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnah Rasul-Nya, dan membuat hukum baru yang menyelisihi keduanya.”
Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara baik di negeri kaum Muslim maupun negeri Kafir ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).
Jarang kita jumpai satupun penguasa negeri yang jelas-jelas menyebutkan bahwa dia mendahulukan hukum Allah dan Rasul-Nya daripada hukum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan hampir semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur'an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta'aala.
Jadi, marilah kita selalu berdoa dan berusaha untuk mewujudkan penguasa yang menerapkan Syariat Islam, agar dia layak disebut ulil amri minkum, bukan justru sebagai mulkan jabbariyyah (penguasa jahat diktator) sebagaimana disabdakan Nabi saw. (Wid/jbr)