Senin, 14 Oktober 2013

Panduan Memilih Teman Menurut Islam



KTT APEC yang diadakan 7-8 Oktober memang sudah berlalu. Namun sepintas ada yang perlu kita cermati dalam acara tersebut, yakni ketika Presiden Indonesia SBY memberikan sambutan yang luar biasa kepada Vladimir Putin, Presiden Rusia, yang sedang ulang tahun. Sungguh Ironi, Pemimpin Negeri yang mayoritas Muslim ini malah berakrab ria dengan Pemimpin Negeri yang hingga saat ini memerangi dan membantai kaum muslimin Chechnya

Pentingya Membedakan Muslim dan Kafir

Allah Azza wa Jalla mewajibkan agar kita memiliki  kesetiaan dan kecintaan kepada kaum Muslimin [Al-Wala’], serta sikap berlepas diri dan memusuhi terhadap orang-orang kafir [Al-Bara’]. Pemahaman Al Wala Wal-Bara’ ini bukanlah sesuatu yang baru karena telah ditetapkan dalam Al-Qur’ân, dan as-Sunnah serta sudah disyariatkan saat Nabi SAW dalam kondisi aman maupun perang.

Al Qur’an menyebut Al-Wala’ wal Bara’ sebagai ikatan iman yang menghimpun orang-orang mukmin untuk melakukan kebaikan dan amal saleh. Sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka [adalah] menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(At-Taubah: 71).

Al-wala’ Wal Bara’ merupakan komitmen keimanan seorang mukmin, sebagaimana Firman-Nya: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. . . (Al Mujadilah: 22).

Maka dari itu penting bagi kita untuk memahami perbedaan Muslim dan Kafir, serta kedudukan mereka dalam tinjauan syariat Islam. Ajaran Islam yang penuh rahmat dan mulia ini telah membagi penduduk dunia menjadi dua macam bentuk manusia, yaitu Muslim dan Kafir. Orang yang beriman dengan apa yang diturunkan Alloh melalui Rosul-Nya maka ia adalah seorang Muslim, sedangkan orang yang tidak mau beriman dengan-Nya maka ia disebut Kafir, apapun bentuk keyakinan dan agama yang mereka anut, karena semua bentuk kekafiran itu adalah satu millah, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Dawud dan Ahmad bin Hambal, berdasarkan firman Alloh: “Bagi kalian dien [agama] kalian dan bagiku dien [agamaku] (Terj. QS Al Kafiirun: 6)

Pembagian Orang Kafir

Kafir berdasarkan asal kekafirannya digolongkan menjadi dua yaitu : pertama; Kafir Asli yang meliputi seperti Nasrani, Majusi, Yahudi atau yang lain. Kedua; Kafir karena Murtad yaitu orang Islam yang mempunyai ideologi kafir seperti sosialis, sekuler, pluralis, komunis dan yang lain atau orang Islam yang melakukan amalan yang membatalkan tauhid, seperti mencela Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, Rosululloh shalallahu ‘alaihi wasallam atau menyekutukan Allah dalam ibadah dan pembuatan hukum.

Ditinjau secara hukum syar’i, Kafir dibagi lagi menjadi dua, yaitu Kafir Harbi dan Kafir Dzimmi.

Secara Bahasa, Kata harby merupakan nisbah kepada kata harb, yang merupakan lawan kata dari kata as silmu (perdamaian). Kata harb berarti perang atau lawan yang memusuhi. Dikatakan “ana harbun liman haarabani“: saya musuh atas orang yang memerangiku. “Fulanun harbu Fulanin“ si fulan (A) musuh si fulan (B), fulan memerangi si fulan. “Fulanun harbun lii” Fulan memusuhiku, sekalipun ia tidak menyerang saya.”[1]Lisanu al ‘Arab I / 303.

Secara istilah, Kafir Harbi artinya adalah orang-orang yang memerangi kaum muslimin atau bergabung dengan kaum yang memerangi kaum muslimin, baik perangnya betul-betul terjadi secara terang-terangan dan kemungkinan masih akan terjadi. Hal ini bisa berasal dari setiap orang kafir yang tidak terikat dengan perjanjian damai maupun dzimmah, baik telah sampai kepadanya dakwah ataupun belum.[2] Al Mutli’ ‘ala Abwab al Muqni’ lil Ba’ly hal. 226, Al Madkhal li al Fiqhi al Islami li Muhammad Salam Madkur, hal. 62, lihat Al Isti’anah hal. 131       
               
DR. Ismail Luthfi al Fathani menyatakan:“Kata harbi adalah kata yang disebutkan secara umum untuk orang yang bergabung dengan darul harbi dari orang-orang yang tidak berdien Islam dan tidak ada ikatan perjanjian antara dia dengan kaum muslimin, baik ia itu ahlu kitab maupun bukan.”[3] Ikhtilafu ad Darain hal. 141.
               
Siapa Yang Termasuk Kafir Harbi?

Para ulama mengkategorikan beberapa golongan ke dalam kafir harbi, mereka adalah :
1. Orang-orang kafir yang berbuat makar dan secara langsung memerangi kaum muslimin (lewat kontak senjata). Contohnya : pemerintah Amerika Serikat yang berdiri di belakang segala pemberangusan umat Islam yang ingin menegakkan Islam, pemerintah Budha Myanmar yang memerangi kaum Rohingnya yang beragama Islam, Pemerintah kristen ortodoks Serbia yang melakukan pembantaian keji terhadap Muslim Bosnia dan lain-lain.
2. Orang-orang kafir yang mengumumkan perang terhadap umat Islam, dengan cara: embargo ekonomi, mengganggu dien sebagian kaum muslimin, membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi kaum muslimin, mengancam akan memerangi kaum muslimin dan cara-cara lainnya.
3. Orang-orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan imam/khalifah daulah/Negara Islam dan mereka tidak menampakkan permusuhan.
     
Ketiga kelompok ini boleh jadi telah sampai kepada mereka dakwah Islam, namun boleh jadi juga belum. Dalam istilah fiqih, mereka semua dihitung sebagai Kafir Harby.[4] [1] Ad Duraru as Saniyatu fi al Ajwibati an Najdiyati  VII / 397, lihat Al Isti’anatu hal 131.

Dengan demikian, maka pada dasarnya seluruh orang kafir itu statusnya adalah Harbi kecuali mereka yang  mendapatkan perlindungan dari Khalifah (Kepala Negara) Negara Islam [Daulah] dengan membayar jiyzah. Maka status orang kafir yang demikian disebut Kafir Dzimmi.

Orang kafir harbi ini halal darah dan hartanya selama ia tidak memiliki ikatan perjanjian damai dengan Khalifah (Kepala Negara) Negara Islam [Daulah]. Kenapa demikian ? Karena dalam syariah Islam, yang menjadikan harta dan nyawa seseorang terjaga hanyalah satu dari dua hal berikut : 1. Iman, atau 2. Al Amaan (Jaminan Keamanan).[5] [1] Bada’i’u ash Shana-i’ VII / 130. Selama mereka tidak mempunyai ikatan perjanjian damai dengan Khalifah (Kepala Negara) Negara Islam [Daulah] mereka tidak boleh masuk ke dalam negara Islam karena ia membawa bahaya bagi kaum muslimin. Kalau ia masuk ke negara Islam, maka harta dan darahnya halal. Ia boleh dibunuh dan diambil hartanya, sebagaimana juga boleh diambil sebagai budak atau diampuni.[6] [1] Al Mughni VIII / 523, At Tasyri’ al Jina-i al Islami I / 277.

Bagaimana Orang Kafir Masa Kini?

Telah disebutkan bahwa orang kafir yang tidak terikat perjanjian damai dengan imam (kepala negara) negara Islam/khalifah dan menolak menerima Islam atau membayar jizyah, maka ia disebut sebagai Kafir Harbi. Jika demikian keadaannya, saat ini hanya ada satu kata tentang orang non muslim, yaitu “Kafir Harbi“. Kenapa demikian? karena pada masa sekarang  belum ada  negara (daulah) Islam yang sudah menerapkan syariat Islam  dan belum ada orang kafir yang menetap di sana dengan membayar jizyah dan mentaati hukum Islam.

Umar bin Mahmud Abu Umar berkata:”Dalam hal ini, orang Yahudi dan Nasrani yang asli kafir tidak bisa dikatakan sebagai ahludz dzimmah, karena ahludz dzimmah dalam istilah ahli fiqih adalah orang-orang kafir yang masuk ke dalam jaminan keamanan di Daarul Islam. Dan apabila tidak ada Daarul Islam maka tidak ada ahludz dzimmah, akan tetapi mereka adalah orang-orang harbi.”[7] Al-jihad wal Ijtihad, hal.73 Wallahu ‘alam bish showwab [prob]