Kamis, 03 Juli 2014

Pemimpin yang kita butuhkan

Pembaca yang dirahmati Allah ta’ala, Bulan Ramadhan adalah momentum tepat untuk memaksimalkan kualitas taqwa kepada Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya serta melindungi diri dari murka dan siksa-Nya. Sebagaimana firman-Nya :

Apa yang Rasul berikan kepada kalian, maka terimalah! Dan apa yang dia larang bagi kalian, maka tinggalkanlah! Dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS Al-Hasyr: 7)

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap umat itu membutuhkan pemimpin yang bisa membina dan memotivasi umat untuk bertaqwa kepada Allah. Bagi umat Islam, pemimpin menjadi harapan ditegakkannya hukum Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan pemimpin di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :“ Ketahuilah masing-masing kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. (HR. Bukhari)

Dalil ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa umat wajib memiliki pemimpin sehingga hak-hak mereka terlindungi, kehormatan mereka terjaga, dan keamanan mereka dalam melaksanakan syari’at Allah terjamin, karena dengan adanya pemimpin ini musuh tidak berani untuk mengganggu dan mengacaukan penerapan syari’at Allah azza wa jalla. Oleh sebab itu Islam selalu membimbing pemeluknya agar hidup bersama pemimpin, sebagaimana: imam shalat, imam safar, amil zakat, pemimpin haji, pemimpin rumah tangga, dan termasuk pemimpin perang dan negara.

Ada Persayaratannya

Sebagai agama yang sempurna, Islam juga menetapkan siapa saja yang layak untuk memimpin umat Islam untuk menegakkan syari’at Allah, diantaranya:

1. Muslim

Pemimpin umat Islam haruslah seorang muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. (QS. An-Nur: 55).

Dan umat Islam haram dipimpin oleh orang-orang kafir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (QS. Ali-Imron: 28).

2. Berilmu
Seorang pemimpin harus memiliki ilmu tentang hukum-hukum Islam dan juga ilmu politik dalam mengatur urusan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Nabi (mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah telah memilih Thalut untuk memimpin kalian dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. (QS. Al-Baqarah: 247).

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu dan kekuatan badan”. Imam Syaukani rahimahullah berkata: “Apa yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin ketika mendapati problematika rakyat apabila dia seorang yang jahil [bodoh]? Minimal dia akan diam dan bertanya kepada orang alim padahal dia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Tidak demikian, Allah memerintahkan pada seorang pemimpin, tetapi hendaknya dia memutuskan masalah dengan kebenaran dan keadilan. . .”. (Nailul Authar 8/618).

3. Laki-laki

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). (QS. An-Nisa’:34).

Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu berkata, “Tatkala ada berita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa penduduk Persia menyerahkan kepemimpinan kepada putri Kaisar, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan beruntung suatu kaum, bila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari)

Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin, karena seorang pemimpin dia perlu keluar menegakkan perintah jihad serta urusan kaum muslimin dan menyelesaikan pertikaian manusia. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak boleh menampakkan diri. Dia juga lemah untuk mengurus segala kepentingan. Dengan demikian, maka tidak layak mengemban kepemimpinan kecuali kaum laki-laki”. (Syarh Sunnah 10/77)

4. Sehat Fisik

Imam Al-Baghawi rahimahullah juga mengatakan, “Demikian pula seorang pemimpin tidak boleh buta matanya sebab dia tidak dapat membedakan orang yang bersengketa. Adapun riwayat Nabi mengangkat Ibnu Ummi Maktum di Madinah dua kali, itu hanyalah kepemimpinan shalat, bukan masalah memutuskan dan menghakimi”.

Siap Bertanggung Jawab

Ketika seorang muslim yang memenuhi syarat menjadi pemimpin telah ditetapkan, maka sejak itu beberapa beban kewajiban sebagai seorang pemimpin bagi umat telah dipikulkan di pundaknya, antara lain :

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Taat kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi kewajiban paling utama bagi seluruh umat Islam, apalagi sebagai seorang pemimpin. Bagaimana dia bisa memimpin umat untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya jika dia sendiri tidak. Tentu ini sangat bertolak belakang dengan tujuan ditegakkannya kepemimpinan dalam Islam.

2. Membimbing dan mengarahkan umat untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik

Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan bahwa mentauhidkan Allah dan menjauhi perbuatan syirik merupakan tujuan utama Allah mengutus Rasul-Rasul-Nya yang menjadi teladan sebagai pemimpin bagi umatnya masing-masing. Firman-nya :
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Beribadahlah kalian kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu”. (QS An-Nahl: 36).

3. Berbuat adil

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa’: 58).

4. Melaksanakan Syari’at Allah

Sebagai pemimpin yang mengurus kepentingan umat Islam maka tentu tugas untuk melaksanakan syari’at Allah menjadi tugas pokok dan mulia bagi seorang pemimpin

Maka patutkah aku mencari hakim selain dari Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepada kalian dengan terperinci. (QS. Al-An’am: 114).

Kesimpulannya

Sebagai seorang muslim, memilih pemimpin yang kita butuhkan bukan melulu atas dasar keduniaan semata, seperti perkembangan ekonomi, koalisi partai, dan kekuasaan semata. Tapi lebih kepada menjaga dua hal penting, yakni menjaga keselamatan warganya di dunia dan di akhirat, dan menjaga penghambaan seorang warga hanya kepada Rabb-Nya, Allah Ta’ala. Pemimpin yang kita butuhkan harus memiliki visi misi yang jelas tentang keselamatan warga yang akan dipimpinnya di dunia dan di akhirat. Bukan  ditentukan dengan kriteria yang sedikit mudhorotnya, berani menyejajarkan ajaran Islam dengan ajaran lainnya yang diliputi syubhat dan kebatilan, atau bahkan yang alergi untuk memberlakukan undang-undang yang sejalan dengan Syariat Islam. Na’udzu billahi min dzalik

Jadi wajar dan pantas manakala standar pemimpin yang kita butuhkan harus dilihat dari  kacamata Islam dan urusan kaum muslimin, yakni keselamatan mereka di dunia dan di akhirat. Dan figur pemimpin yang kita butuhkan sesuai kriteria yang disebutkan bukan hal mustahil diperoleh dan tidak perlu ditentukan dengan prosedur rumit yang menghambur-hamburkan dana berlimpah. Wallohu ‘alam bish showwab. [a.halim-jbr]

Memuliakan Ramadhan dengan Al-Qur'an


Kaum Muslimin yang dirahmati Allah, bulan Ramadhan yang berlimpah kemuliaan dan keberkahan sudah hampir tiba. Marilah kita muliakan kedatangannya dengan memperbagus ibadah dan mencampakkan segala kemaksiatan yang mencemarinya. Ramadhan merupakan training langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membentuk kita sebagai insan bertaqwa, yang dengan taqwa inilah manusia akan menempati kedudukan mulia di sisi-Nya. Di dalamnya Allah menurunkan kitab-Nya yang menjadi petunjuk dan memandu kita dalam segala aspek kehidupan; baik pribadi, keluarga, bermasyarakat dan termasuk bernegara. Sebagaimana firman-Nya,

“Bulan Ramadhan yang di dalamnya –mulai- diturunkannya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan yang nyata yang menunjuk kepada kebenaran, yang membedakan antara yang haq dan yang bathil.” (terj. QS Al-Baqarah: 185)

Ibnu Katsir –rahmatullah ‘alaih-, berkata mengenai ayat ini dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim (I/460-461), “Allah menyanjung bulan puasa dibanding bulan-bulan lain dengan dipilihnya sebagai waktu diturunkannya Al-Quran Al-‘Azhim. Karena hal ini pula Dia mengistimewakannya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kitab-kitab suci diturunkan kepada para nabi –‘alaihimussalam- di bulan ini. Telah diriwayatkan pula hadits dari Jabir bin ‘Abdullah –radhiyallahu ‘anhu-. Di dalamnya disebutkan, “Bahwasannya Zabur diturunkan pada dua belas Ramadhan dan Injil pada sepuluh Ramadhan.”

Adapun Shuhuf, Taurat, Zabur, dan Injil, maka diturunkan secara spontan kepada nabi yang menerima. Sedangkan Al-Quran diturunkan secara spontan di Baitul ‘Izzah yang berada di langit bumi. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan di lailatul qadar.

Al-Quran merupakan mukjizat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang paling agung dan akan terus nampak hingga akhir zaman. Keberkahannya terus mengalir dan tak akan pernah terputus. Sebuah kitab suci yang akan selalu membimbing seorang muslim menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Orang yang menjadikannya imam, akan selamat dengan izin Allah, namun siapa yang tak menghiraukannya, maka cepat atau lambat kebinasaan akan menghampirinya.

Keberkahan yang menyertainya

Keberkahan Al-Quran nampak jelas dengan adanya riwayat-riwayat yang mengabarkan akan keutamaan dan keistimewaannya. Ia merupakan pedoman hidup seorang muslim, obat dari segala penyakit badan dan hati, dan banyak keistimewaan lainnya. Allah berfirman:

“Dan Kami turunkan Al-Quran (Sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang zhalim hanya akan menambah kerugian.” (QS Al-Isra’ : 82)

Diriwayatkan pula dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Siapa yang membaca Al-Quran dan mengamalkannya, pada hari kiamat orang tuanya akan dikenakan mahkota yang cahanya lebih bagus daripada cahaya matahari yang masuk ke rumah-rumah di dunia. Lantas bagaimana menurut kalian dengan orang yang mengamalkannya?” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, “Sanadnya shahih)

‘Abdullah bin ‘Amr –radhiyallahu ‘anhuma- meriwayatkan, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Puasa dan Al-Quran akan datang pada hari kiamat untuk mensyafaati hamba. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya dari makanan dan minuman di siang hari, oleh karena itu izinkanlah aku memberinya syafaat.’ Al-Quran berkata, ‘Wahai Rabb-ku, aku telah mencegahnya tidur malam, oleh sebab itu berilah aku izin untuk memberinya syafaat.’ Maka keduanya pun memberi syafaat.” (HR Ahmad, Ibnu Abid Dun-ya, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim)

Perhatian yang Luar Biasa

Orang-orang shalih terdahulu memiliki perhatian luar biasa kepada bulan Ramadhan ini. Perhatian mereka ditunjukkan jauh-jauh hari sebelum Ramadhan tiba. Disebutkan bahwa para shahabat –radhiyallahu ‘anhum ajma’in- selama enam bulan pertama memanjatkan doa kepada Allah agar mereka disampaikan di bulan Ramadhan, kemudian di enam bulan setelahnya mereka berdoa agar mereka dipertemukan dengan bulan mulia ini. Hal semacam ini tentu merupakan bukti kuat akan antusias kuat mereka dalam menggapai pahala besar padahal secara umum mereka telah dijamin masuk surga.

Jika mereka yang jelas-jelas manusia yang dijamin surga saja begitu hebatnya dalam berlomba-lomba dalam kebaikan, tentu kita sebagai manusia akhir jaman yang tidak ada yang menjamin surga, tentu lebih berhak untuk banyak melakukan ibadah dengan lebih serius dan lebih bagus lagi.

Terkhusus aktifitas membaca Al-Quran, mereka memiliki perhatian yang sangat. Dalam Lathaif Al-Ma’arif, Ibnu Rajab –rahmatullah ‘alaih- menjelaskan, “Kebiasaan orang-orang terdahulu di bulan Ramadhan ialah membaca Al-Quran dalam shalat dan selainnya.”

Jibril –‘alaihissalam- selalu mendatangi baginda Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di setiap Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Pengkhususan Jibril bulan Ramadhan tentu menjadi sinyal kuat bahwa Ramadhan benar-benar waktu istimewa sehingga ia pantas menjadi waktu tadarus Al-Quran.

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau menceritakan, “Adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- merupakan sosok yang paling dermawan. Terlebih lagi di bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpainya untuk mengajarinya Al-Quran. Jibril menemui beliau di setiap malam Ramadhan untuk mengajarinya Al-Quran. Maka ketika Jibril menjumpainya, beliau adalah orang yang paling dermawan, lebih dari angin yang bertiup.”

Lihatlah Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu- bagaimana beliau bersama Al-Quran di bulan Ramadhan. Dikhabarkan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya. Beliau membaca Al-Quran di setiap rakaat shalat yang beliau kerjakan.

Begitu juga sahabat Ubai bin Ka’b –radhiyallahu ‘anhu-, beliau mampu mengkhatamkan Al-Quran di setiap delapan harinya. Sementara sahabat Tamim Ad-Dari mampu mengkhatamkannya dalam setiap pekannya. Salah satu Imam madzhab kita, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i –rahmatullah ‘alaih-, di bulan berkah ini mampu mengkhatamkan Al-Quran sebanyak enam puluh kali selain Al-Quran yang beliau baca di waktu shalat. (Lathaif Al-Ma’arif : 191)

Penutup

Perlu disadari, begitu besarnya keutamaan-keutamaan yang ada di Bulan Ramadhan itu hanya akan didapat bagi setiap muslim yang serius mencarinya. Seorang yang hanya berleha-leha dan mengikuti rutinitas biasa, dia akan mendapat sesuai apa yang diupayakannya. Balasan yang akan diperoleh seseorang itu sebanding dengan apa yang ia lakukan atau usahakan. Semoga Allah Jalla wa ‘Ala memberikan kita kekuatan untuk bisa lebih memanfaatkan bulan Ramadhan kali ini. Wallohu ‘alam bish showwab. [duat-jember]

Awas Ada Makar


Kaum muslimin yang dirohmati Allah, Terdapat perintah Allah kepada orang-orang yang telah dikaruniai nikmat iman dan Islam untuk betul-betul menjaga ketakwaan dan keislamannya  sampai nyawa terlepas dari badan, sebagaimana firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan muslim. [terj. QS Ali Imron ayat 102]

Ayat ini memberikan isyarat bahwa menjaga takwa, iman, dan Islam adalah masalah yang serius, bukan masalah sepele dan main-main. Bahkan lebih serius daripada masalah ekonomi yang kita hadapi masing-masing, karena masalah takwa, iman, dan Islam sangat berkaitan dengan nasib yang kekal kita nanti di kehidupan akhirat. Pertanyaannya adalah mengapa Allah ta'ala betul-betul memperingatkan kita agar menjaganya? Bahkan di ayat yang lain Allah memperingatkan dengan keras:

“dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai beraikan (memisahkan) kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” (terj QS. Al-An'am: 153)

Awas Makar!

Marilah kita simak sebuah dialog pertengkaran yang diabadikan Allah tentang dua kelompok hamba yang bersitegang di tengah-tengah siksa neraka. Allah ta'ala mengisahkannya dengan indah untuk kita renungkan dan jadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.

Orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al-Qur'an ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya". Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zhalim itu dihadapkan kepada Robb mereka, sebagian dari mereka melemparkan perkataan kepada sebagian yang lain. Orang-orang yang dianggap lemah (para pengikut) berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri (para pemegang kekuasaan): "Kalaulah bukan karena kalian tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman".

Orang-orang yang menyombongkan diri (para pemegang kekuasaan) berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah (para pengikut): "Kamikah yang telah menghalangi kalian dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa".

Orang-orang yang dianggap lemah (para pengikut) berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri (para pemegang kekuasaan): "(Tidak) sebenarnya tipu daya (kalian) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyuruh kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Saba': 31-33)

Sekali lagi pertanyaannya: mengapa Allah dengan keras memperingatkan kita agar betul-betul menjaga takwa, iman, dan Islam kita?

Jawabannya adalah karena ada makar jahat musuh-musuh Islam yang tidak akan pernah tinggal diam untuk menyesatkan kita, umat Islam. Mereka tidak akan pernah puas dan berhenti kecuali setelah kita tersesat dan meninggalkan jalan yang lurus yaitu syari’at Islam dan mengikuti ideologi, falsafah, hukum, ajaran hidup, dan adat istiadat mereka yang menyimpang dari syari’at Allah.

Dan ayat di atas jelas-jelas menegaskan bahwa makar jahat siang dan malam ternyata bersumber dari orang-orang yang menyombongkan diri yaitu para pemegang kekuasaan yang tidak takut pada murka dan siksa Allah 'azza wa jalla, para pemegang kekuasaan yang mengganti hukum Allah yang sempurna dengan hukum jahiliyah yaitu hukum tambal sulam buatan mereka sendiri yang penuh dengan kelemahan, sebagaimana yang sekarang bisa kita lihat di negeri yang dihuni mayoritas umat islam ini.

Terekam Sejarah

Sejarah mencatat bagaimana makar Namrud dan para pembesar kerajaannya dalam memberangus seruan tauhid dengan melaksanakan syari’at Allah secara murni dan konsekuen yang dikumandangkan oleh Nabiyullah Ibrohim 'alaihis salam. Demikian juga bagaimana makar Fir'aun --seorang pemegang kekuasaan yang kuat, bahkan karena sangat kuat kekuasaannya sampai-sampai dia mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan tertinggi-- bersama bala tentara dan pembesar kerajaannya dalam memadamkan cahaya tauhid yang diajarkan oleh Nabiyullah Musa dan Harun. Demikian dahsyat makar mereka sehingga mayoritas rakyatnya tersesat jauh dari ajaran tauhid. Dengan cara yang sangat halus mereka mendoktrin rakyat dengan ideologi sesat dan dengan cara yang sangat halus pula mereka menjalankan program untuk menjauhkan rakyat dari agamanya. Akibatnya dengan sukarela atau terpaksa mereka berbondong-bondong meninggalkan syari’at Allah kemudian mengikuti undang-undang dan aturan hidup yang menentang syari’at Allah tanpa merasa bersalah sedikitpun. Allah subhanahu wa ta'ala menggambarkan hebatnya makar jahat mereka:

“Sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. (QS. Ibrohim: 46)

Walaupun demikian, makar jahat tetaplah namanya makar jahat yang akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah. Bahkan semua usaha yang mereka kerahkan, waktu yang mereka korbankan, dan dana yang mereka keluarkan untuk menghalang-halangi manusia mengikuti jalan Allah yang lurus akan menjadi penyesalan yang mendalam di dalam neraka. Sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya orang-orang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. (QS. Al-Anfal: 36)

Kesimpulan

Demikianlah Allah ta'ala menceritakan kisah para penentang dahulu yang pernah tinggal berkuasa di muka bumi ini beserta akhir riwayat hidup mereka agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang hidup setelahnya. Allah membekali kita dengan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk kita pakai sebagai alat mengenali kebenaran. Sudahkah kita bersyukur kepada-Nya dengan memanfaatkannya sesuai dengan fungsi yang telah Dia tetapkan atau malah sebaliknya kita mempergunakannya untuk membuat ‘makar’ dengan bermaksiat dan menentang Allah 'azza wa jalla? Wallahu a'lam. [duat-jember]