Rabu, 11 Juni 2014

Menelaah Kaidah Fiqih Tentang Pemilu

Mendekati Pemilu, baik Pemilihan Legislatif yang lalu dan Pemilihan Presiden mendatang, bermunculan di berbagai media tentang pernyataan dan himbauan agar umat Islam terlibat dan berpartisipasi di dalamnya dengan menggunakan kaidah-kaidah fiqih (al-qowa’id al-fiqhiyyah).

Kaidah Fiqih dan Rambu-rambunya

Kaidah fiqih dalam kitab-kitab Ushul Fiqih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar sama. Ada yang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Adapun dalam istilah atau terminologi, ulama ushul membuat beberapa definisi tentang Kaidah fiqih, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab dibawah ini:

1)  Dalam kitab At-Ta’arifat, yaitu : “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya dan bisa diketahui hukumnya.”

2)  Dalam kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah fi Ushul Fiqh,  “Ketentuan universal yang bisa menemukan  bagian-bagiannya melalui penalaran.”

Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fiqih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fiqih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fiqih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fiqih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja.

Pengamalan kaidah fiqih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika pengamalan suatu kaidah fiqih bertentangan dengan nash-nash syariah maka yang diamalkan adalah nash syariah, sedangkan kaidah fiqihnya wajib diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah fiqih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Adapun beberapa penyalahgunaan kaidah yang terjadi antara lain:

Kaidah Adh-Dhoruroh Tubih Al-Mahzhurot

Yaitu kaidah darurat  untuk menjustifikasi [menghukumi] keikutsertaan dalam Pemilu. Hal ini tidaklah bisa dibenarkan, alasannya ada dua. Pertama: pengamalan kaidah darurat bertentangan dengan nash-nash syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem demokrasi saat yang memberikan hak tasyri (penetapan hukum) kepada selain Allah, padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja.  Nash-nash syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57).

Karena itu wajar jika orang yang membuat hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah, Al-Qur’an menyebutnya sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).

Kedua: karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidah adh-dhorurah tubih al-mahzhurot (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menghukumi benarnya keterlibatan umat dalam pemilu.

Darurat menurut Imam Suyuthi adalah sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb). Contohnya boleh makan bangkai atau minum khomer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia akan terancam mati (Al-Asybah wa an-Nazho’ir, hlm. 84-85). Definisi itu hakikatnya adalah keterpaksaan yang sangat  yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (al-idhthirar al-mulji).

Dengan demikian, jika kondisi yang ada tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?

Persoalannya, sebagian umat islam ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat. Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal, dan sebagainya. Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang dipakai, memang [terkesan]logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat memang akan terancam, meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya. Tapi apakah demikian yang terjadi? sedangkan Allah Maha Mengetahui dan Menguasai tentang kejadian yang manusia sendiri belum tahu kepastiannya. Wallohu musta’an.

Kaidah Akhoffu Dhororoyn

Kaidah Akhoffu Dhororoyn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dhoror) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu. Pertama: bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua: bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.

Penggunaan kaidah Akhoffu Dhororoyn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secara syar’i bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah yang mengharamkan penerapan selain hukum Allah.
Kedua: kaidah tersebut terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek sistem yang ada. Sering diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam sistem demokrasi, UU yang dihasilkan tidak peduli apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas (Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).

Ketiga: pengguna kaidah tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.

Kaidah Ma Laa Yudroku Kulluhu Laa Yutroku Kulluhu

Kaidah ini berarti apa yang tak dapat diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan sampai tidak ikut memilih sama sekali. Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan. Pertama: tidak memenuhi syarat penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah yang telah mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.

Kedua: kaidah tersebut hanya boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh diterapkan untuk perbuatan yang haram. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.” (HR Bukhari dan Muslim).

Penutup

Dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah kaum muslimin bahwa terkait partisipasi dalam pemilu  adalah perkara yang besar pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Adalah kewajiban bagi kita semua selaku umat Islam untuk menjaga aqidah dan amal kita agar senantiasa mendapat ridho-Nya dan jauh dari murka-Nya. Wallahu a'lam. [nang-'I'lam]

Selasa, 03 Juni 2014

Syariat Islam Bisa Dirubah, Benarkah?

Saudaraku kaum muslimin yang dirahmati Allah Ta’ala, Beragam usaha telah dilakukan pihak-pihak yang memusuhi Islam [kaum kafir dan munafiq] agar kebenaran dan kemuliaan ajaran Islam yang murni itu sampai ke generasi berikutnya dalam kebingungan dan keragu-raguan. Salah satu caranya dengan membuat dan memunculkan kerancuan [syubhat] tentang  informasi sejarah Islam yang menjadi ‘makanan mental’ anak-anak Islam dari satu generasi ke satu generasi. Lebih parahnya, syubhat ini menjadikan generasi muslim terjebak dan sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang bersifat ‘obat’ dan mana yang ‘racun’, sehingga terkesan semuanya adalah benar.

Dengan terjebaknya seorang muslim dalam perangkap pemikiran tersebut maka akan berakibat munculnya salah dalam penyimpulan yang bisa berujung dalam salah penyikapan. Salah satu dampak syubhat itu adalah munculnya anggapan “Syariat Bisa Berubah Dikarenakan Perubahan Zaman Dan Tempat”, yang merujuk kepada beberapa fakta yang terjadi masa khalifah Umar yaitu:

1.Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf, padahal telah ada ketentuannya dalam al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60).

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya [mu’allafa qulu buhum], untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

2.Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah/ al-majâ’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Quran (QS al-Maidah [5]: 38).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Mendudukkan Permasalahan

Banyak yang mengatakan bahwa “bicara syari’at Islam harus dilihat dari konteks hukum tersebut”, namun ketika bicara perkara tadi mereka lupa akan konteks terjadinya perkara tsb, sehingga dengan mudahnya berkesimpulan bahwa khalifah Umar r.a telah mengubah hukum Islam. Marilah kita ulas perkara tersebut dengan taufiq-Nya:

1. Umar Tidak Memberikan Zakat Untuk Muallaf

Dalam masalah zakat bagi muallaf, persoalannya bukanlah Umar itu melanggar atau meninggalkan nash al-Quran (QS 9: 60), tetapi karena sesungguhnya waktu itu muallafnya sendiri sudah tidak ada. Zakat jelas hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yang telah dikenal sifat-sifatnya. Akan tetapi, zakat hanya diberikan tatkala golongan itu ada atau tatkala sifat-sifat golongan itu ada. Sebaliknya, jika golongan itu tidak ada atau hilang sifat-sifatnya, zakat tidaklah diberikan, karena tidaklah mungkin memberikan sesuatu kepada yang tidak ada.

Para ulama Ushul Fiqih menjelaskan, pengaitan suatu hukum dengan suatu sifat dari kata musytaq (ada asal katanya), menunjukkan adanya ‘illat (sebab penetapan hukum) yang melekat pada sifat tersebut. Dalam hal ini, kata mua’llafah qulûbuhum (QS 9: 60) merupakan kata musytaq yang menunjukkan suatu sifat yang melekat pada sekelompok orang, yaitu ta’lîf al-qulûb (pembujukan hati). Artinya, jika ‘illat itu ada-yakni ta’lîf al-qulûb-mereka harus diberi, tetapi jika ‘illat itu tidak ada, mereka tidak diberi (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, h. 571).

Hal ini tidak berbeda dengan pemberian zakat kepada golongan fakir, miskin, dan amil (petugas zakat). Mereka diberi zakat jika ada ‘illat pemberian zakat, yaitu pada diri mereka ada sifat kefakiran, kemiskinan, dan kegiatan mengumpulkan zakat. ‘Illat pemberian zakat untuk muallaf pada zaman Abu Bakar dan Umar telah lenyap, seiring dengan telah kuatnya dan tersebarnya Islam. Berbeda halnya dengan masa Rasulullah saw. ketika jumlah kaum Muslim masih sedikit dan musuh mereka berjumlah banyak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, II/871).

2. Umar Tidak Memotong Tangan Pencuri Pada Masa Terjadinya Kelaparan

Dalam peristiwa ketika Umar tidak memotong tangan pencuri pada saat terjadinya kelaparan (‘âm as-sannah), para ulama telah menjelaskan bahwa tindakan Umar itu bukan berarti mengubah hukum Islam karena mengikuti keadaan, melainkan karena ada tuntunan nash syariat dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-’Uqûbat menjelaskan bahwa hukum potong tangan tidak dapat diterapkan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syariat. Di antaranya adalah ketika terjadi ‘musibah kelaparan’, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghifari r.a., bahwa Nabi saw. bersabda (Sunan Ibnu Majah, 3: 199):

“Sesungguhnya Allah benar-benar memaafkan terhadap umatku yang salah, lupa dan terpaksa (dalam berbuat sesuatu)”.

Dan juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ma’khul:

“Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang memaksa“. (As-Sarkhasi, al-Mabsûth, 11/293 dan Al-Maliki, Nizhâm al-’Uqûbât , 1990: 68).

Jadi, Umar tidak memotong tangan pencuri pada masa kelaparan karena mengamalkan hadis ini, sebagai pengecualian (takhsîs) dari ketentuan umum potong tangan (QS 5: 38).

Penutup

Jadi tidaklah tepat kalau Umar Bin Khoththob sebagai seorang Khalifah dikatakan telah merubah syari’at Islam dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. Justru yang dilakukan adalah menjalankan syari’at Islam dengan sepenuhnya, karena memang syari’at Islam berlaku untuk manusia sepanjang zaman. Bahkan, hujjah ini memperjelas kewajiban berhukum dengan hukum Allah adalah kewajiban yang tidak bisa diubah dan ditawar. Hujjah ini juga menegaskan tingginya dan sempurnanya  kedudukan syariat Islam sehingga tidak bisa digantikan dengan hukum-hukum buatan yang manusia yang rentan dicemari oleh kepentingan hawa nafsu dan tipu daya setan

Adapun penampakan adanya ‘perubahan’ maka sebenarnya yang berubah hanya ada tidaknya ‘illat (sebab disyariatkannya hukum), kalau ‘illat-nya ada maka hukumnya akan ada, kalau ‘illat-nya tidak ada hukumnya juga tidak ada, namun hukum syari’atnya ya itu-itu juga.

Adalah kewajiban bagi kita semua untuk meneliti kembali sesuatu sebelum kita ucapkan, karena semua yang kita ucapkan, kita tulis, dan kita perbuat akan diminta pertanggung jawabannya kelak di hari akhir.  ‘Allahu Ta’ala A’lam. [bud-jbr]