Ibarat
bola salju yang terus menggelinding dan membesar, negeri yang berpenduduk
Mayoritas Muslim ini kembali dikejutkan dengan pemberitaan Media tentang Kasus
Suap dan Korupsi. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar tertangkap tangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menerima Suap Rp 3 Miliar terkait sengketa Pilkada. Tertangkapnya
Ketua MK oleh KPK menunjukkan MK sebagai lembaga tinggi negara yang mengawal konstitusi
pun tidak bisa diharapkan lagi. Jika Ketua MK saja korupsi lalu bagaimana
dengan badan eksekutif dan legislatifnya?
Padahal
Akil Mochtar beberapa kali melontarkan pernyataan “sok suci” soal korupsi
seperti yang dilansir oleh tempo. Ini beberapa di antaranya:
“Saya atau dia yang
masuk penjara”
Akil Mochtar tentang Refly Harun, pengacara yang menulis kolom adanya jual beli
putusan di Mahkamah Konstitusi, 10 Desember 2010.
“Ini ide saya,
dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah
satu jari tangan koruptor saja cukup.” Akil Mochtar di Jakarta, 12 Maret 2012
“Wak (ayah) saya
itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku.” (Dikutip dari
profil Akil Mochtar di situs Mahkamah Konstitusi)
Ternyata
perkataannya itu hanyalah dusta dan tidak bisa dipercaya. Seperti inilah cermin
negeri Demokrasi, hukumnya bisa dibeli. Masihkah kita membela dan
mempertahankannya? Padahal KPK juga membeberkan temuan bahwa DPR RI merupakan
lembaga terkorup kedua sesudah kepolisian. Saat ini, koruptor terbanyak yang
ditangani KPK adalah anggota Dewan. Terdapat lebih dari 65 anggota Dewan yang
telah dibui karena tindak pidana tersebut.
Apakah Korupsi Itu?
Korupsi
adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak
legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak. Suap disini adalah salah satu tindakan korupsi.
Adapun tindakan lain yang termasuk pidana korupsi yaitu: penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam
pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi
(bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Jadi, dalam arti yang luas
korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. (wikipedia.com)
Bagaimana Menurut
Islam?
Dalam
sistem Islam, korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan
rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau
orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul,
yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik
yang diambil harta negara maupun masyarakat. korupsi adalah perbuatan dosa yang
wajib dijauhi karena memperoleh harta dengan jalan bathil. Sebagaimana
dipertegas dalam firman-Nya:
Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagiandaripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Dari
Ibnu Abbas ra. dari Nabi SAW. bersabda: "Tidaklah
berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan
tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan
beriman."(H.R. Bukhari)
Mafhum Muwafaqah dari hadist ini
adalah “Koruptor tidak mungkin korupsi
dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, jelas tahu Allah melarangnya,
tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan perbuatan Syirik Modern, tulis Din
Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku “Koruptor Itu Kafir”
(2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi
menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya.
Solusi Islam,
adakah?
Islam
sebagai agama yang menjunjung tinggi prinsip hukum dan keadilan telah memiliki
solusi dalam penanganan korupsi, antara lain:
1. Pengawasan
Pengawasan
ketat sesuai Syariat Islam dapat berdampak maksimal dalam pemberantasan
korupsi. Penerapan ini tentu membutuhkan pihak lain dan berdampak pada
tumbuhnya spirit ruhiah yang sangat
kental, bahwa siapapun merasa senantiasa diawasi oleh Allah yang Maha Melihat,
spirit yang membuka kesadaran bahwa akan ada hisab atas segala amal dan
perbuatan manusia serta berdampak pada menggairahnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Pemberlakuan
sistem pengawasan ini juga harus ditunjang seperangkat hukuman pidana yang
tegas untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.
2. Hukuman
Moral-Psikologis
Rasulullah
saw. memberikan hukuman secara moral-psikologis yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan
dorongan untuk korupsi, diantaranya:
a.
Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau
di pengadilan (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah).
b.
Sebagai puncak hukuman moral, Islam melarang
untuk mensolatkan jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena perbuatan
mereka masuk dalam kategori munafik, fasiq dan ingkar dari prinsip-prinsip
aqidah (baca:kafir) (QS. Al-Taubah: 84)
3. Ta’zir
Bentuk
ta’zir untuk pelaku koruptor
ditetapkan oleh Kepala Negara Islam (Khalifah) atau juga Qadhi (hakim), bisa
berupa hukuman tasyhir (pewartaan
atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media
massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun;
selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
4. Keteladanan
Pemimpin
Inilah
bukti para pemimpin Islam dalam memberikan keteladanan untuk mencegah korupsi:
a.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang
dicurigai sebagai hasil korupsi. Beliau juga rutin menghitung harta kekayaan
para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
(Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
b.
Khalifah Umar Bin Abdul Aziz mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada
saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut
pautnya dengan urusan Negara.
5. Larangan Menerima
Hadiah
Bisa
kita lihat, ketika pejabat negara melaporkan harta kekayaanya, masih ditemukan
harta tidak wajar yang diperoleh dari hadiah, mereka menggunakan dalih
mendapatkan hibah. Bentuk larangan ini
adalah upaya jitu untuk menghindari terjadinya kasus suap dengan berbagai
modusnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan
kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya
selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud)
Apa yang dapat kita
simpulkan?
Dalam
hal ini kita dapat bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud dan Fir’aun
yang disebabkan pengingkaran terhadap konsep tauhid Allah serta sikap syirik yang
melahirkan perilaku menghalalkan cara yang haram dalam mendapatkan harta serta
mencintai harta itu secara berlebihan, karena itu mereka hancur tak bersisa.
Sesungguhnya
sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi
pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi. Terbukti. solusi Barat via
demokrasinya sudah banyak merusak harkat kehidupan namun kenapa masih juga
dipertahankan? Sementara, solusi Islam yang terbukti kebenarannya namun banyak
pihak buru-buru menolaknya saat diusulkan?
Wallohu ‘alam (lumj)