Selasa, 05 November 2013

Solusi Islam Untuk Memberantas Korupsi


Ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar, negeri yang berpenduduk Mayoritas Muslim ini kembali dikejutkan dengan pemberitaan Media tentang Kasus Suap dan Korupsi. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar  tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima Suap Rp 3 Miliar terkait sengketa Pilkada. Tertangkapnya Ketua MK oleh KPK menunjukkan MK sebagai lembaga tinggi negara yang mengawal konstitusi pun tidak bisa diharapkan lagi. Jika Ketua MK saja korupsi lalu bagaimana dengan badan eksekutif dan legislatifnya?

Padahal Akil Mochtar beberapa kali melontarkan pernyataan “sok suci” soal korupsi seperti yang dilansir oleh tempo. Ini beberapa di antaranya:

“Saya atau dia yang masuk penjara” Akil Mochtar tentang Refly Harun, pengacara yang menulis kolom adanya jual beli putusan di Mahkamah Konstitusi, 10 Desember 2010.

“Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup.” Akil Mochtar di Jakarta, 12 Maret 2012

“Wak (ayah) saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku.” (Dikutip dari profil Akil Mochtar di situs Mahkamah Konstitusi)

Ternyata perkataannya itu hanyalah dusta dan tidak bisa dipercaya. Seperti inilah cermin negeri Demokrasi, hukumnya bisa dibeli. Masihkah kita membela dan mempertahankannya? Padahal KPK juga membeberkan temuan bahwa DPR RI merupakan lembaga terkorup kedua sesudah kepolisian. Saat ini, koruptor terbanyak yang ditangani KPK adalah anggota Dewan. Terdapat lebih dari 65 anggota Dewan yang telah dibui karena tindak pidana tersebut.

Apakah Korupsi Itu?

Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Suap disini adalah salah satu tindakan korupsi. Adapun tindakan lain yang termasuk pidana korupsi yaitu: penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Jadi, dalam arti yang luas korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.  (wikipedia.com)

Bagaimana Menurut Islam?

Dalam sistem Islam, korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. korupsi adalah perbuatan dosa yang wajib dijauhi karena memperoleh harta dengan jalan bathil. Sebagaimana dipertegas dalam firman-Nya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiandaripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi SAW. bersabda: "Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman."(H.R. Bukhari)

Mafhum Muwafaqah dari hadist ini adalah “Koruptor tidak mungkin korupsi dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, jelas tahu Allah melarangnya, tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan perbuatan Syirik Modern, tulis Din Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku “Koruptor Itu Kafir” (2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya.

Solusi Islam, adakah?

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi prinsip hukum dan keadilan telah memiliki solusi dalam penanganan korupsi, antara lain:

1. Pengawasan

Pengawasan ketat sesuai Syariat Islam dapat berdampak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Penerapan ini tentu membutuhkan pihak lain dan berdampak pada tumbuhnya spirit ruhiah yang sangat kental, bahwa siapapun merasa senantiasa diawasi oleh Allah yang Maha Melihat, spirit yang membuka kesadaran bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia serta berdampak pada menggairahnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Pemberlakuan sistem pengawasan ini juga harus ditunjang seperangkat hukuman pidana yang tegas untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.

2. Hukuman Moral-Psikologis

Rasulullah saw. memberikan hukuman secara moral-psikologis yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan dorongan untuk korupsi, diantaranya:
a. Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau di pengadilan (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah).
b. Sebagai puncak hukuman moral, Islam melarang untuk mensolatkan jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena perbuatan mereka masuk dalam kategori munafik, fasiq dan ingkar dari prinsip-prinsip aqidah (baca:kafir) (QS. Al-Taubah: 84)

3. Ta’zir

Bentuk ta’zir untuk pelaku koruptor ditetapkan oleh Kepala Negara Islam (Khalifah) atau juga Qadhi (hakim), bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

4. Keteladanan Pemimpin

Inilah bukti para pemimpin Islam dalam memberikan keteladanan untuk mencegah korupsi:
a. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Beliau juga rutin menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.  (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
b. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.

5. Larangan Menerima Hadiah

Bisa kita lihat, ketika pejabat negara melaporkan harta kekayaanya, masih ditemukan harta tidak wajar yang diperoleh dari hadiah, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Bentuk larangan ini adalah upaya jitu untuk menghindari terjadinya kasus suap dengan berbagai modusnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud)

Apa yang dapat kita simpulkan?

Dalam hal ini kita dapat bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud dan Fir’aun yang disebabkan pengingkaran terhadap konsep tauhid Allah serta sikap syirik yang melahirkan perilaku menghalalkan cara yang haram dalam mendapatkan harta serta mencintai harta itu secara berlebihan, karena itu mereka hancur tak bersisa.

Sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi. Terbukti. solusi Barat via demokrasinya sudah banyak merusak harkat kehidupan namun kenapa masih juga dipertahankan? Sementara, solusi Islam yang terbukti kebenarannya namun banyak pihak buru-buru menolaknya saat diusulkan? Wallohu ‘alam (lumj)