Senin, 11 November 2013

Pahlawan Menurut Islam



Setiap 10 Nopember, di negeri Indonesia yang mayoritas berpenduduk Islam ini diperingati Hari Pahlawan. Sebuah peringatan sebagai penghargaan atas semangat dan pembuktian dari Umat Islam Surabaya kala itu yang berjihad (berperang) untuk mengusir penjajah kafir (Inggris dan sekutunya) dari bumi Allah Indonesia. Peristiwa itu membuktikan bahwa kemerdekaan dan kedaulatan negeri ini diperjuangkan dengan pengorbanan nyawa dan harta kaum muslimin di bawah seruan jihad fi sabilillah. Dari peristiwa inilah banyak kaum muslimin di Surabaya yang gugur sebagai syuhada dan umat Islam Indonesia pun mengenang mereka sebagai pahlawan.

Pahlawan = Syuhada?

Sekian kali peringatan hari pahlawan namun masih menyisakan pertanyaan penting, apakah kedudukan pahlawan secara umum sama dengan syuhada pahlawan menurut konsep Islam [syuhada]?

Kata pahlawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari dua kata, bahasa Sanskerta, pahla dan wan. Pahla berarti buah, sedangkan wan bermakna sebutan bagi orangnya. Di era modern ternyata sebutan pahlawan menjadi lebih luas dan tidak ada batasan yang jelas. Misalnya, para Tenaga Kerja Indonesia disebut sebagai para pahlawan devisa. Guru yang mengajar di sekolah diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan seorang pria ataupun wanita yang bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarganya disebut sebagai pahlawan keluarga. Karena tidak adanya batasan dari makna pahlawan, maka sungguh riskan apabila diberikan kepada orang yang tidak jelas komitmen perjuangannya terhadap kebenaran. Secara umum, gelar pahlawan diberikan kepada siapa saja yang mati di medan pertempuran baik mati karena membela bangsa dan negaranya maupun agamanya.

Jika ditinjau dari terminologi Islam, seorang Muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah maka mereka disebut dengan Syahid (kata tunggal Bahasa Arab: شَهيد, sedangkan kata jamaknya adalah Syuhada, Bahasa Arab: شُهَداء). Seorang yang pertama mati Syahid adalah seorang shohabiyah yaitu Sumayyah binti Khayyat.

Pembagian Syahid


Pembagian ini menentukan aplikasi hukum dunia terhadap orang yang meninggal, yaitu memberlakukan hukum secara zhahir terhadap orang yang dikategorikan syahid atau tidak.

Dalam Shahih Muslim disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: Apa yang kalian ketahui tentang syahid?” Sahabat r.a menjawab: Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid” Lalu Rasulullah s.a.w bersabda: “Kalau begitu syahid di kalangan ummat ku sedikit”, Sahabat r.a berkata lagi, kalau begitu siapakah mereka ya Rasulullah? Rasulullah s.a.w bersabda: Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka dia syahid, barang siapa yang mati di jalan Allah, maka dia syahid, barangsiapa yang mati karena cacar maka dia syahid, siapa yang mati terkena diare dia syahid ” (Shahih Muslim, Kitaabul Imarah:3539)

Terkait hadist diatas, Imam Nawawi dalam syarah Muslim menjelaskan, Para ulama berkata: “Yang dimaksudkan syahid diatas adalah selain syahid Fie sabilillah (terbunuh ketika berperang di jalan Allah), mereka itu di akhirat memperoleh pahala para syuhada. Adapun di dunia, mereka dimandikan dan dishalatkan.

Dari penjelasan hadits diatas, kategori syahid dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

1. Syahid Dunia, yaitu orang yang terbunuh ketika dia berperang, tetapi dia tidak ikhlas karena Allah, bukan demi menegakkan kalimat Allah (Islam). Soal niat, selain dirinya, manusia yang lain tidak ada yang tahu. Akan tetapi ketika jasadnya ditemukan terbunuh ketika berperang melawan kafir, maka ia dihukumi sebagai syahid.

2. Syahid Akhirat, yaitu orang-orang yang mati karena tenggelam atau terbakar dan semisalnya, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits Nabi. Orang yang termasuk kategori ini dimandikan, dikafani juga disholatkan.

Dalam Shahih Bukhari disebutkan: “Rasulullah SAW bersabda: Syuhada itu ada 5, yaitu Orang yang mati terkena cacar, orang yang mati karena diare, orang yang mati tenggelam, orang yang mati tertimpa runtuhan (longsor), dan orang yang syahid [karena berperang] di jalan Allah” (Al-Bukhari, Kitab As-Sayru Wal-Maghazi: 2617)

Orang yang tewas melindungi keselamatan hartanya mati syahid dan yang membela (kehormatan) keluarganya mati syahid dan membela dirinya (kehormatan dan jiwanya) juga mati syahid. (HR. Ahmad)

3. Syahid Dunia dan Akhirat, yang dimaksud syahid dunia akhirat adalah orang yang terbunuh ketika berperang di jalan Allah dengan niat yang ikhlas, tidak riya dan tidak berbuat ghulul (mencuri harta rampasan perang). Jenis inilah yang merupakan syahid yang sempurna dan syahid yang paling utama, baginya pahala dari sisi Allah Yang Maha Agung. Soal niat ikhlas atau tidaknya, hanya dia yang bersangkutan dan Allah yang tahu. Manusia hanya menghukumi secara zhahir bahwa dia mati terbunuh di jalan Allah. Dia layak disebut sebagai syahid, sehingga jenazahnya tidak perlu dimandikan, tidak perlu dikafankan, tidak perlu disholatkan, ia hanya dikuburkan dengan pakaian lengkap tatkala ia terbunuh syahid. Ulama Mazhab Syafii, menyatakan pula bahwa mereka tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak pula disholatkan.

Keutamaan Syahid fie Sabilillah


Mereka yang syahid dalam jihad [perang] fie sabilillah memperoleh beberapa keutamaan yang dijanjikan oleh Allah diantaranya :

1. Apa yang dirasakan seorang syahid yang terbunuh adalah seperti yang dirasakan seorang dari cubitan (gigitan serangga). (Tirmidzi dan Ibnu Majah)

2. Para syuhada (berada) di lembah (tepi) sungai dekat pintu surga dalam bangunan berkubah berwarna hijau. Rizqi mereka datang dari surga setiap pagi dan petang. (HR. Al Hakim dan Ahmad)

3. Seorang yang mati syahid diberi 6 perkara pada saat tetesan darah pertama mengalir dari tubuhnya: semua dosanya diampuni (tertebus), diperlihatkan tempatnya di surga, dikawinkan dengan bidadari, diamankan dari kesusahan kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), diselamatkan dari siksa kubur dan dihiasi dengan pakaian keimanan. (HR. Bukhari)

4. Seorang yang mati syahid dapat memberi syafaat bagi 70 anggota keluarganya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Penyebutan Syahid

Mengatakan “si fulan syahid” bukan berarti menghukumi bahwa dia masuk jannah (syurga), akan tetapi dimaksudkan untuk menentukan proses pengurusan jenazah, bagaimana jenazah itu diperlakukan. Jika ternyata memang syahid maka berlakulah ketentuan seperti disebutkan terdahulu.

Karena itu diperbolehkan menyebut si fulan syahid, dan hal ini telah menjadi sesuatu yang biasa (dan diterima) di kalangan Ahlus Sayru Wal-Maghazi (para pelaku Jihad sejak zaman awal) begitu pula ini berlaku di kalangan para penulis kitab dan ilmu rijal (salah satu cabang dalam ilmu hadits), mereka menghukumi bahwa orang-orang saat kematiannya memenuhi sebab-sebab kesyahidan, maka dia disebut sebagai Syahid.[5]

Kesimpulan

Dalam konsep Islam, gelar pahlawan disematkan kepada para syuhada yaitu orang-orang beriman yang wafat dalam pertempuran di medan jihad fii sabilillah untuk menegakkan dan memuliakan kalimah Allah SWT di muka bumi ini. Bagi seorang muslim keridhaan Allah dan surga-Nya lebih utama dari sekedar gelar pahlawan. Perjuangan seorang muslim harus dilandasi dorongan aqidah Islam dan mencari keridhaan Allah SWT semata dan tidak berjuang membela ashobiyah Menurut Ibn Manzhur, ‘ashobiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela atau menolong kaumnya, sementara mereka zalim (Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab,I/606 ), Yang termasuk bentuk ashobiyah adalah fanatisme kelompok, golongan, kesukuan, kebangsaan dan nasionalisme. Karena itu semua hanya menjadikan amal pengorbanannya sia-sia disisi Allah SWT.

عن جندب بن عبد الله البجلي رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُوْ عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Dari Jundub bin Abdullah al-Bajaliy ra berkata, telah bersabda Rosulullah SAW, “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera ummiyyah (kesesatan) yang disebabkan ia mengajak kepada ashobiyah atau dalam rangka menolong ashobiyah, maka matinya adalah mati jahiliyah”. [HR Muslim: 1850] Wallahu ‘alam [and-lmj]

Selasa, 05 November 2013

Solusi Islam Untuk Memberantas Korupsi


Ibarat bola salju yang terus menggelinding dan membesar, negeri yang berpenduduk Mayoritas Muslim ini kembali dikejutkan dengan pemberitaan Media tentang Kasus Suap dan Korupsi. Adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar  tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima Suap Rp 3 Miliar terkait sengketa Pilkada. Tertangkapnya Ketua MK oleh KPK menunjukkan MK sebagai lembaga tinggi negara yang mengawal konstitusi pun tidak bisa diharapkan lagi. Jika Ketua MK saja korupsi lalu bagaimana dengan badan eksekutif dan legislatifnya?

Padahal Akil Mochtar beberapa kali melontarkan pernyataan “sok suci” soal korupsi seperti yang dilansir oleh tempo. Ini beberapa di antaranya:

“Saya atau dia yang masuk penjara” Akil Mochtar tentang Refly Harun, pengacara yang menulis kolom adanya jual beli putusan di Mahkamah Konstitusi, 10 Desember 2010.

“Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup.” Akil Mochtar di Jakarta, 12 Maret 2012

“Wak (ayah) saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku.” (Dikutip dari profil Akil Mochtar di situs Mahkamah Konstitusi)

Ternyata perkataannya itu hanyalah dusta dan tidak bisa dipercaya. Seperti inilah cermin negeri Demokrasi, hukumnya bisa dibeli. Masihkah kita membela dan mempertahankannya? Padahal KPK juga membeberkan temuan bahwa DPR RI merupakan lembaga terkorup kedua sesudah kepolisian. Saat ini, koruptor terbanyak yang ditangani KPK adalah anggota Dewan. Terdapat lebih dari 65 anggota Dewan yang telah dibui karena tindak pidana tersebut.

Apakah Korupsi Itu?

Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Suap disini adalah salah satu tindakan korupsi. Adapun tindakan lain yang termasuk pidana korupsi yaitu: penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Jadi, dalam arti yang luas korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.  (wikipedia.com)

Bagaimana Menurut Islam?

Dalam sistem Islam, korupsi adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. korupsi adalah perbuatan dosa yang wajib dijauhi karena memperoleh harta dengan jalan bathil. Sebagaimana dipertegas dalam firman-Nya:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagiandaripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi SAW. bersabda: "Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman."(H.R. Bukhari)

Mafhum Muwafaqah dari hadist ini adalah “Koruptor tidak mungkin korupsi dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, jelas tahu Allah melarangnya, tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan perbuatan Syirik Modern, tulis Din Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku “Koruptor Itu Kafir” (2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya.

Solusi Islam, adakah?

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi prinsip hukum dan keadilan telah memiliki solusi dalam penanganan korupsi, antara lain:

1. Pengawasan

Pengawasan ketat sesuai Syariat Islam dapat berdampak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Penerapan ini tentu membutuhkan pihak lain dan berdampak pada tumbuhnya spirit ruhiah yang sangat kental, bahwa siapapun merasa senantiasa diawasi oleh Allah yang Maha Melihat, spirit yang membuka kesadaran bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia serta berdampak pada menggairahnya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Pemberlakuan sistem pengawasan ini juga harus ditunjang seperangkat hukuman pidana yang tegas untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.

2. Hukuman Moral-Psikologis

Rasulullah saw. memberikan hukuman secara moral-psikologis yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan dorongan untuk korupsi, diantaranya:
a. Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau di pengadilan (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah).
b. Sebagai puncak hukuman moral, Islam melarang untuk mensolatkan jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena perbuatan mereka masuk dalam kategori munafik, fasiq dan ingkar dari prinsip-prinsip aqidah (baca:kafir) (QS. Al-Taubah: 84)

3. Ta’zir

Bentuk ta’zir untuk pelaku koruptor ditetapkan oleh Kepala Negara Islam (Khalifah) atau juga Qadhi (hakim), bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.

4. Keteladanan Pemimpin

Inilah bukti para pemimpin Islam dalam memberikan keteladanan untuk mencegah korupsi:
a. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi. Beliau juga rutin menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.  (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
b. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.

5. Larangan Menerima Hadiah

Bisa kita lihat, ketika pejabat negara melaporkan harta kekayaanya, masih ditemukan harta tidak wajar yang diperoleh dari hadiah, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Bentuk larangan ini adalah upaya jitu untuk menghindari terjadinya kasus suap dengan berbagai modusnya. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud)

Apa yang dapat kita simpulkan?

Dalam hal ini kita dapat bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad, Tsamud dan Fir’aun yang disebabkan pengingkaran terhadap konsep tauhid Allah serta sikap syirik yang melahirkan perilaku menghalalkan cara yang haram dalam mendapatkan harta serta mencintai harta itu secara berlebihan, karena itu mereka hancur tak bersisa.

Sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi sudah tidak mempan lagi. Terbukti. solusi Barat via demokrasinya sudah banyak merusak harkat kehidupan namun kenapa masih juga dipertahankan? Sementara, solusi Islam yang terbukti kebenarannya namun banyak pihak buru-buru menolaknya saat diusulkan? Wallohu ‘alam (lumj)

Hijrah Belum Selesai


Tidak terasa, bulan demi bulan menjelang; tahun demi tahun pun berlalu. Kaum Muslim kembali memasuki bulan Muharram, menandai datangnya kembali tahun yang baru; kali ini memasuki Tahun Baru 1435 Hijrah. Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut semarak oleh masyarakat, Tahun Baru Hijrah disikapi oleh kaum Muslimin dengan ‘dingin-dingin’ saja.

Memang, Tahun Baru Hijrah tidak perlu disambut dengan kemeriahan pesta. Namun demikian, sangat penting jika Tahun Baru Hijrah dijadikan sebagai momentum untuk merenungkan kembali kondisi masyarakat kita saat ini. Tidak lain karena peristiwa Hijrah Nabi saw yang merupakan peristiwa yang menandai perubahan masyarakat Jahiliah saat itu menjadi masyarakat Islam.

Ada Apa dengan Hijrah?

Perkataan ''Hijrah'' berasal dari bahasa Arab, yang artinya, ''Meninggalkan suatu perbuatan'' atau ''Menjauhkan diri dari pergaulan'' atau ''Berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain.''

Adapun menurut syari'at', artinya Hijrah ada 3 macam.

Pertama, meninggalkan semua perbuatan yang terlarang oleh Allah. Hijrah ini adalah wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang yang telah mengaku beragama Islam. Nabi Muhammad telah bersabda: ''Orang-orang yang berhijrah itu ialah orang yang meninggalkan segala apa yang Allah telah melarang daripadanya.'' (HR Bukhari)

Kedua, mengasingkan diri dari pergaulan orang-orang musyrik atau orang-orang kafir yang telah memeluk Islam. Hijrah ini adalah wajib juga dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam. Jadi seorang Muslim yang tidak dapat mengerjakan perintah-perintah Islam dan menjauhi larangan-larangan Islam di suatu daerah atau negeri, disebabkan adanya fitnah oleh orang-orang kafir atau orang-orang musyrik, maka wajib ia mengasingkan diri ke daerah atau negeri lainnya, yang kiranya dapat dipergunakan untuk mengerjakan perintah-perintah Islam dan menjauhi larangan-larangannya. Di zaman Nabi Muhammad SAW, hijrah ini pernah dikerjakan oleh sebagian kaum Muslimin di waktu itu ke negeri Habsyi (Abbessinia) sampai terjadi dua kali.

Ketiga, berpindah dari negeri atau daerah orang-orang kafir atau musyrik ke negeri atau daerah orang-orang Muslim, seperti hijrah Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah. Hijrah inipun wajib pula dikerjakan oleh tiap-tiap muslim, yang berdiam atau tinggal di negeri atau daerah orang-orang kafir atau musyrik, yang ia tidak kuasa membongkar atau memusnahkan kekufuran dan kesyirikan itu, maka wajib berpindah (berhijrah) ke negeri atau daerah lain untuk dapat menyelamatkan keimanannya

Kenapa Hijrah?

Adapun tujuan Hijrah semata-mata adalah mengharapkan Ridho Allah yang berupa keselamatan dunia dan kebahagiaan di akhirat seperti yang dijanjikan-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 100 : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin [yang berhijrah] dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.

Makna Hijrah

Pelajaran penting dari kisah Hijrah nabi SAW, telah memberikan 3 makna istimewa sebagai berikut: Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; Demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Dan juga pemisah antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Para ulama dan sejarawan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi SAW telah berubah menjadi sebuah negara Islam dengan struktur yang sudah modern untuk ukuran zamannya. Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Makkah

Hijrah dan Jihad

Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, kata hijrah berkaitan erat dengan jihad. Bahkan, kata hijrah digandengkan dan disebutkan secara berurutan setelah iman dan sebelum jihad. Misalnya dalam firman Allah (yang artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Terj. QS Al-Baqarah: 218).

Atau pula firman Allah (yang artinya): ”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (Terj. QS At-Taubah: 20).

Begitu pula dalam beberapa hadits, seperti yang menyebutkan bahwa syetan akan selalu menghadang manusia di 3 jalan, yakni di jalan menuju Islam (iman), lalu di jalan menuju hijrah dan kemudian menghadangnya sekali lagi di jalan menuju jihad (lihat HR. An-Nasa’i). 

Beberapa sahabat Nabi SAW berincang-bincang, salah seorang mereka berkata, "Sesungguhnya hijrah telah selesai." Lalu mereka berbeda pandangan tentang hal itu. Kemudian ada yang pergi menemui Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya orang-orang berkata bahwa hijrah telah selesai. Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya hijrah tidak akan terputus selama jihad masih ada." (HR. Ahmad)

Penutup

Inilah keutamaan tiga prinsip dasar dalam Islam yang saling berkaitan, yakni : Iman-Hijrah-Jihad. Iman harus dibuktikan dengan hijrah lalu dengan jihad. Tanpa ketiganya, kaum muslimin tidak akan menjadi mulia. Dan tidak ada jalan lain untuk menjadi mulia, kecuali dengan mengamalkannya. Setiap orang yang menerima Islam akan menapaki kesempurnaan ini. (h4n-prob)