Sabtu, 29 Juni 2013

BLSM : Aksi Pencitraan Para Tokoh Politik


BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang diberikan sejumlah Rp. 150.000,00 per bulannya yang akan diberikan selama tiga bulan oleh pemerintah kepada setiap kepala keluarga dengan tingkat perekonomian yang tergolong rendah mulai dijadikan aksi percitraan para menteri-menteri yang duduk di kabinet yang juga caleg. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Geger di Media Center Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri apalagi pemilu 2014 akan segera datang yang tentu saja momen ajang pencarian dukungan tengah gencar-gencarnya diserukan oleh para aktor politik negeri ini.

Jika kita melihat dari segi BLSM-nya saja, tentu saja sangat jauh dari tujuannya untuk mengurangi kemiskinan. Jika kita perhitungkan, angka 150.000 jika dibagi untuk memenuhi kebutuhan selama 30 hari, maka tiap harinya ia tidak boleh menghabiskan lebih dari Rp. 5000,- saja. Angka tersebut belum dihitung jika dibagi anggota keluarga yang lebih dari satu orang serta pengeluaran ongkos untuk trasportasi dan bahan bakar. Apa yang akan mereka makan dari uang senilai kurang dari 5000? Apalagi kondisi seperti ini hanya akan bertahan selama tiga bulan. Tentu saja tidak memberikan dampak perubahan apapun. Program ini seperti sengaja dirancang untuk tidak menghasilkan dampak apapun. Belum lagi penerima BLSM yang tidak tepat sasaran. Hal ini justru akan memperkeruh keadaan sosial di tengah masyarakat yang bahkan hingga saat ini pun masih terjadi kekisruhan antarwarga di beberapa wilayah yang tidak terima atas pendistribusian bantuan tersebut yang dinilai curang.

Namun demikian, fenomena BLSM ini masih belum bisa dijadikan bahan renungan oleh para elit politik tersebut. Mereka malah menjadikannya sebagai ajang kampanye terselubung dengan dalih ikut membagikan atau memantau jalanya pelaksanaan pembagian bantuan tersebut. Intinya program BLSM ini seakan-akan memeng sengaja dibuat sebagai instrument pemerintah untuk menarik simpati publik, yang sebelumnya telah dilansir di beberapa media kabar. Aksi tunggang-menunggang sebagai bentuk politik kasih saying pun bisa kita saksikan dengan kasat mata. Imbasnya, rakyat hanya dijadikan bahan eksploitasi untuk mendudukan mereka di kursi kekuasaan.

Betapa ironisnya, ditengah himpitan realita sosial, rakyat malah dijadikan ajang adu kekuasaan. Parahnya, sang obyek seakan-akan tidak menyadari fakta yang terjadi. Inilah dampak dari demokrasi. Atas patokan bahwa kekuasaan itu ada di tangan rakyat, maka muncullah segelintir orang yang akan melakukan usaha apapun demi mendapatkan tanganrakyat tersebut untuk mengangkat dirinya sebagai penguasa. Jika memang seperti itu adanya, lantas apa bedanya dengan para kapitalis dimana hanya orang-orang berkantung tebal yang boleh bicara. Hal seperti ini sudah jelas sekali sangat menyengsarakan rakyat. Namun sayangnya sebagian besar rakyat belum mau mengerti akan hal ini hingga mereka belum mau berpaling dan berhenti dieksploitasi.

Hanny Farhana
Pelajar SMA AL Masoem dan Aktivis Dakwah Sekolah