Jumat, 05 Februari 2016



KITA pasti seringkali mendengar soal keindahan-keindahan yang ada di dalam surga. Tentunya, setiap dari kita selalu berharap dan berdoa agar menjadi salahsatu penduduk surga pada hari nanti. Dalam al-Quran telah dijelaskan bahwa ketika kita di surga nanti, kita akan mendapatkan berbagai macam kenikmatan yang tidak kita dapatkan di dunia. Salahsatu kenikmatan itu adalah minuman-minuman yang sangat lezat dan menyegarkan.

Telah Allah sediakan minum yang sangat enak, sebagaimana firman-Nya,

(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah kamu dengan enak karena apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al Mursalat, 77:43).

Adapun macam-macam minuman yang berada di surga itu antara lain:

1. Air Kafur

Air kafur adalah minuman istimewa para penghuni Surga yang mata airnya berasal dari telaga al kautsar, sebagaimana firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (yaitu) mata air (dalam Surga) yang daripadanya hamba-hamba Alloh minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al Insaan, 76:5-6).

2. Air Jahe

“Di dalam Surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe (yang didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan salsabil.” (QS. Al Insaan, 76:17-18).


3. Khamar

Kita ketahui bersama bahwa khamar adalah minuman yang diharamkan ketika di dunia. Tapi tahukah Anda bahwa kelak di surga, khamar akan halal kita minum dan menjadi salahsatu minuman di dalam surga.

“Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir, (warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya.” (QS. Ash Shaffaat, 37:45-47).

4. Air Susu dan Madu

Air susu dan madu adalah minuman yang tersedia di Surga, berdasarkan firman-Nya :

“(apakah) perumpamaan (penghuni) Surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan mereka memperoleh didalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Robb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?” (QS. Muhammad, 47:15).

Masyaa Allah, warga Gaza ini buta, tapi bisa bekerja sebagai tukang reparasi mobil

Masyaa Allah, warga Gaza ini buta, tapi bisa bekerja sebagai tukang reparasi mobil
Raed Al-Reefi, warga Gaza yang kehilangan peglihatannya, dan tetap bekerja sebagai tukang reparasi mobil untuk menghidupi keluarganya 
GAZA (Arrahmah.com) – Meskipun menderita kebutaan, Raed Al-Reefi tidak menyerah. Dia berjuang untuk melanjutkan hidup dengan bekerja sebagai tukang reparasi mobil.
Pria berusia 37 tahun, yang berjuang untuk menghidupi anggota keluarganya yang berjumlah enam orang, mengatakan bahwa ia kembali bekerja setelah kehilangan penglihatannya, karena ia tidak kehilangan wawasannya dan terus bekerja di bengkelnya, sebagaimana dilansir oleh MEMO, Kamis (4/2/2016).
Ada dua pekerja yang membantu Al-Reefi untuk menyelesaikan penyatuan dan memotong besi. Namun ia masih mampu memperbaiki badan mobil.
Kehilangan penglihatannya telah membuat ia kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaannya karena perbaikan badan mobil yang sangat spesifik.
Kebutaannya menyebabkan dia harus menyelesaikan pekerjan lebih lama dibandingkan sebelum ia cacat.
Raed telah mencoba untuk mencari pengobatan di sejumlah negara, meskipun harus menelan biaya yang sangat mahal. Ia masih berharap bahwa ia bisa melihat lagi suatu hari nanti, dan dapat melanjutkan pekerjaannya, melihat anak-anaknya dan menjalani hidup secara normal.

Karena Argumen Ini, Imam Syafi’i Lolos dari Eksekusi


Tatkala Imam Syafi’i tinggal di negeri Yaman, negeri tersebut dipimpin oleh seorang penguasa yang sangat zhalim lagi lalim. Imam Syafi’i berusaha mencegah kezaliman-kezalimannya agar tidak sampai kepada orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya. Imam Syafi’i menimpakan sesuatu yang serupa dengan pedang kepada pemimpin negeri itu, berupa kritikan.

Padahal, rakyat biasanya sering memuji-mujinya dan menaikkan pamornya. Arahan Imam Syafi’i kepada penguasa itu berupa kritikan dan mengingkari dengan lisan. Sehingga, hal itu menjadikan pemimpin negeri merencanakan suatu tipu daya, muslihat, fitnah, dan pengaduan yang tidak benar terhadap diri beliau.

Ketika itu para khalifah Bani Abbasiyah menganggap bahwa musuh-musuh mereka yang kuat adalah orang-orang keturunan Ali, karena mereka menyatakan memiliki nasab kepada Rasulullah seperti nasab orang-orang

Bani Abbasiyah, dan mereka memiliki hubungan khusus dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh orang-orang keturunan Abbas. Karenanya, jika keturunan Bani Abbasiyah membanggakan nasab mereka, maka orang-orang keturuanan Ali pun juga bisa berbuat seperti itu dan dengan hubungan yang lebih dekat kepada Rasulullah.

Oleh sebab itu, ketika orang-orang Abbasiyah itu mengetahui adanya seruan kepada keturunan Ali, mereka akan segera menghabisinya, padahal pada saat itu seruan seperti itu sedang gencar-gencarnya. Terlebih, dalam membunuh orang-orang yang terkait dengan masalah tersebut, mereka hanya berdasarkan prasangka, bukan berdasarkan keyakinan dan fakta. Sebab, mereka berpendapat bahwa membunuh orang yang tidak berdosa dan lurus perkaranya lebih utama daripada membiarkan hidup orang yang dituduh akan merusak keamanan mereka.

Penguasa Yaman yang zhalim itu datang kepada mereka dari celah yang lemah di dalam jiwa-jiwa mereka. Ia menuduh Imam Syafi’i sebagai seorang yang mendukung keturunan Ali, sehingga ia mengirim surat kepada Ar-Rasyid yang isinya,“Sesungguhnya sembilan orang keturunan Ali telah bergerak.” Ia juga menyampaikan dalam surat tersebut,“Sesungguhnya aku takut jika mereka keluar, karena di antara mereka ada seorang laki-laki dari keturunan Syafi’ dari Bani Abdul Muttalib yang mana aku tidak kuasa untuk menyuruh dan mencegahnya.”

Salah satu riwayat menyebutkan bahwa penguasa Yaman itu juga berkata tentang Imam Syafi’i, “Ia bekerja dengan lisannya dengan hasil yang tidak bisa diraih oleh seorang prajurit dengan pedangnya.” Setelah menerima surat tersebut, Harun Ar-Rasyid memerintahkan bawahannya untuk menangkap sembilan orang keturunan Ali dan Imam Syafi’i. Para perawi berkata, bahwa Harun Ar-Rasyid membunuh sembilan orang tersebut, sedangkan Imam Syafi’i selamat karena kuatnya hujjah beliau serta persaksian dari Imam Muhammad bin Al-Hasan.

Imam Syafi’i Lolos dari Eksekusi

Sebagai bukti kuatnya argumen beliau, adalah perkataannya kepada Harun Ar-Rasyid. Ketika itu beliau telah dituduh dengan suatu tuduhan dan beliau dihadapkan di antara pedang dan nathi’ (Alas dari kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menadahi darah orang yang dihukum pancung), beliau berkata:

“Wahai Amirul mukminin, apa pendapat Anda tentang dua orang laki-laki yang salah satunya menganggap saya sebagai saudaranya, sedangkan yang lain menganggap saya sebagai budaknya, manakah kira-kira di antara keduanya yang lebih saya cintai?”

Harun Ar-Rasyid menjawab, “Orang yang menganggapmu sebagai saudaranya.”

Imam Syafi’i berkata lagi, “Itulah Anda wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya kalian adalah anak dari Abbas, dan mereka anak-anak Ali, sedangkan kita adalah anak-anak Abdul Muttalib. Maka kalian sebagai anak-anak Al-Abbas menganggap kami sebagai saudara-saudara kalian, sedangkan mereka menganggap kami sebagai budak-budak mereka.”

Mengenai persaksian Muhammad bin Al-Hasan, hal itu dikarenakan Imam Syafi’i telah bersikap baik ketika Muhammad bin Al-Hasan melihatnya berada di majelis Ar-Rasyid saat terjadi tuduhan itu. Ilmu adalah penyambung hubungan antara para pemiliknya.

Setelah menyampaikan persaksian mengenai Imam Syafi’i, Muhammad bin Al-Hasan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i memiliki ilmu dien dan fikih yang luas, sedangkan hakim Muhammad bin Al-Hasan mengetahui hal itu. Lalu Ar-Rasyid menanyakan hal itu kepada Muhammad bin Al-Hasan, dan Muhammad pun menyebutkan kepadanya bahwa Imam Syafi’i memiliki ilmu yang banyak dan tuduhan yang diadukan kepada khalifah tidaklah benar.

Ar-Rasyid berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan, “Ajaklah ia bersamamu, sehingga aku bisa melihat urusannya.” Argumen yang kuat dan persaksian dari Muhammad bin Al-Hasan; dua hal itu yang menjadikan diri Imam Syafi’i selamat dari hukuman khalifah Ar-Rasyid.

Penulis :Dhani El_Ashim

Diambil dari buku Biografi Empat Imam Madzab karya Abdul Aziz Asy-Syinawi

Senin, 10 November 2014

Bagaimana Jika Islam Dilecehkan?!

Setelah maraknya berita kontroversi ISIS, kita sering dikagetkan dengan beragam fenomena pelecehan terhadap Islam di berbagai media. Seperti pelecehan terhadap bendera dan panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertuliskan kalimat Tauhid, Mushaf Al-Qur'an, perusakan citra istilah-istilah syar'i seperti istilah Khilafah, Jihad, Hijrah, Bai'at dan sebagainya. Alih-alih ingin mengkritisi, hal itu justru malah menodai agama Islam itu sendiri.

APAKAH INI TERMASUK?
1. The Jakarta Post, 3 juli 2014 memuat karikatur penghinaan terhadap simbol Islam berupa lafadz kalimat tauhid yang berhias gambar tengkorak kematian (skull), tepat di tengah-tengah tengkorak, tertera lafadz bertuliskan Allah, Rasul, dan Muhammad.
2. Program Seputar Indonesia Pagi RCTI pada 8 Agustus 2014 saat membahas tema “Polemik ISIS”, dengan sengaja menayangkan gambar lafadz tauhid yang dicoret silang warna merah mencolok.
3. Aksi seorang wanita Mesir yang mengunggah sebuah gambar di media sosial yang memperlihatkan dirinya dan seorang wanita lain tengah buang air besar dan menstruasi di atas bendera bertuliskan kalimat tauhid sambil telanjang. Na'udzubillahi mindzalik!.
4. Pernyataan kontroversial seorang ketua ormas islam dalam acara Indonesia Lawyer Club [ILC] selasa 14 oktober 2014, di TV One, yang menyatakan “ayat konstitusi di atas Ayat Al Quran”, sedangkan secara jelas Nabi saw bersabda “Al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaih”, Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandinginya.

KENAPA TERJADI?
Sikap penghinaan dan pelecehan terhadap syi'ar-syi'ar Islam [istihza'] ternyata hanya akan muncul dari hati orang munafik. Sikap ini sangat bertentangan dengan prinsip keimanan. Kedua sikap yang bertentangan tersebut tidak mungkin bisa bertemu dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Allah menyebutkan bahwa pengagungan terhadap syiar-syiar agama berasal dari ketaqwaan hati, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Hajj:32. 
Allah memperingatkan  tentang hukuman bagi orang-orang yang menghina nilai-nilai Islam. Diantara firman-Nya adalah:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?.” Tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
lbnu Umar radhiyallahu'anhum menceritakan tentang sebab turunnya ayat tersebut, “Dalam perang Tabuk ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.”  [yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah SAW dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an].
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik berkata: “Bohong kamu. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan ucapanmu ini kepada Rasulullah SAW”
Bagaimana reaksi Rasulullah? Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Namun Rasulullah SAW balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak memberikan bantahan lebih panjang lagi. (lihat: Al-Qurtubi, Jami'ul Bayan fi Ta'wili Ayyil Qur'an, 14/333-335)
Manakala Rasulullah bermuamalah dengan manusia beliau terkenal sosok yang paling pemaaf, NAMUN sangat berbeda ketika ajaran Islam dilecehkan, beliau bisa berubah menjadi sangat marah. Demikian juga sikap para sahabat pasca wafatnya Nabi saw. Dalam menanggapi  penghinaan terhadap Islam, mereka tidak berbeda dengan Nabi saw. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan dari Mujahid bin Jabr berkata: “ … Khalifah Umar berkata: “Barangsiapa mencaci maki Allah atau mencaci maki salah seorang nabi-Nya, maka bunuhlah dia!”(Ibnu Taimiyah, Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimir Rasul, hal. 201)

BUKANKAH RASUL MEMAAFKAN ORANG YANG MENCELANYA? 
Ya memang benar. NAMUN itu terjadi ketika Rasul saw masih hidup karena hal itu dalam rangka meraih maslahat dan ta'lif (melembutkan hati).  Bahkan, Ketika beliau mengetahui data para munafiqin, beliau tidak serta merta membunuh mereka, supaya mereka berkesempatan menerima dakwah. 
Demikianlah sikap Islam ketika ada sebagian orang yang melecehkan ajarannya, ternyata mereka harus menerima resiko berat hingga berupa hukuman mati. Semoga kita mampu menjaga perbuatan kita untuk senantiasa tunduk mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya serta berperan dalam mewujudkan kejayaan Islam. Wallahu'alam bish showwab. [Bud/jbr]

Jumat, 07 November 2014

Fitnah Lebih Kejam dari pembunuhan


Judul di atas merupakan kalimat yang diterjemahkan dari firman Allah swt pada surat Al Baqarah [2]:191, lebih lengkap terjemahannya adalah:

“Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka setelah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.”

Kata yang semakna disebutkan pula dalam firman-Nya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh . . . (QS Al Baqarah [2]:217).”

Apa Maksudnya?

Ayat ini penting untuk kita pahami karena ia seringkali digunakan untuk sesuatu yang bukan maksudnya. Hal ini karena kata fitnah sudah menjadi bahasa Indonesia yang konotasinya adalah mengemukakan tuduhan negatif kepada seseorang padahal orang itu tidak seperti yang dituduhkan. Bisa jadi, banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab atau dari kata yang terdapat di dalam Al-Qur'an tapi maknanya tidak seperti yang dimaksud oleh Al-Qur'an dan ketika orang menggunakan kata itu, ia menggunakan dalil Al-Qur'an untuk membenarkannya, bukankah ini namanya penyalahgunaan suatu ayat?

Dalam Ensiklopedi Al-Qur'an, fitnah berasal dari kata fatana yang berarti membakar logam, emas atau perak untuk menguji kemurniannya. Juga berarti membakar secara mutlak, meneliti, kekafiran, perbedaan pendapat dan kezaliman, hukuman dan kenikmatan hidup.

Bila diteliti ayat sebelum dan sesudah ayat di atas, turunnya ayat ini menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya merupakan perintah atau izin kepada Nabi dan kaum muslimin untuk melakukan peperangan terhadap orang-orang kafir yang memerangi kaum muslimin dengan tidak boleh melampaui batas; seperti membunuh wanita, anak-anak, orang tua yang lanjut usia, rahib dan pendeta yang ada di rumah ibadah mereka padahal mereka tidak terlibat dalam peperangan.

Dibolehkan dan diperintahkannya kaum muslimin memerangi orang-orang kafir adalah karena adanya kekufuran dan kemusyrikan yang menghalangi manusia dari jalan Allah. Inilah yang dinamakan fitnah besar dalam agama, sehingga pada surat Al Baqarah [2] ayat 193, Allah swt berfirman:

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fii Dzilalil Quran menegaskan: “Sesungguhnya fitnah terhadap agama” berarti permusuhan terhadap sesuatu yang paling suci dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, lebih kejam daripada membunuh jiwa seseorang, menghilangkan nyawa dan menghilangkan kehidupan. Baik fitnah itu berupa intimidasi maupun perbuatan nyata atau berupa peraturan dan perundang-undangan ‘bejat’ yang dapat menyesatkan manusia, merusak dan menjauhkan mereka dari manhaj Allah serta menganggap indah kekafiran dan memalingkan manusia dari agama Allah itu”.

Pada dasarnya Islam tidak menghendaki terjadinya peperangan dan permusuhan antar manusia meskipun mereka berbeda agama, tapi bila orang-orang kafir sudah sampai pada tingkat memerangi kaum muslimin, maka pembalasan harus dilakukan dan bila mereka berhenti memerangi umat Islam apalagi mereka masuk Islam, maka permusuhan pun diakhiri. 

Macam-Macam Fitnah

Fitnah yang dikategorikan lebih kejam dari pembunuhan bisa dikelompokkan menjadi beberapa macam. 
Pertama adalah syirik, yakni menyekutukan Allah Ta’ala, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS An Nisa [4]:91. 
Kedua, bermakna kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak suka kepada kaum muslimin, sebagaiman firman-Nya dalam QS Al Buruj [85]:10.  Fitnah yang disebut dalam ayat ini adalah adanya siksaan seperti dibakar hidup-hidup supaya orang beriman menjadi murtad. 
Ketiga adalah fitnah dalam arti siksaan karena sikap yang melampaui batas, sebagaimana tercantum dalam  QS Al Anfal [8]:25).

Kaum muslimin yang dirahmati Alloh, Disinilah  pentingnya kita untuk memiliki ilmu dien yang memperkokoh aqidah kita dan menjadi bekal untuk beramal dengan benar di tengah maraknya badai fitnah yang ternyata bisa menimpa siapa saja baik dari kalangan orang-orang yang beriman maupun orang-orang yang awam. Wallohu 'alam bish showwab (eko/jbr)