Jumat, 05 Februari 2016

Karena Argumen Ini, Imam Syafi’i Lolos dari Eksekusi


Tatkala Imam Syafi’i tinggal di negeri Yaman, negeri tersebut dipimpin oleh seorang penguasa yang sangat zhalim lagi lalim. Imam Syafi’i berusaha mencegah kezaliman-kezalimannya agar tidak sampai kepada orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya. Imam Syafi’i menimpakan sesuatu yang serupa dengan pedang kepada pemimpin negeri itu, berupa kritikan.

Padahal, rakyat biasanya sering memuji-mujinya dan menaikkan pamornya. Arahan Imam Syafi’i kepada penguasa itu berupa kritikan dan mengingkari dengan lisan. Sehingga, hal itu menjadikan pemimpin negeri merencanakan suatu tipu daya, muslihat, fitnah, dan pengaduan yang tidak benar terhadap diri beliau.

Ketika itu para khalifah Bani Abbasiyah menganggap bahwa musuh-musuh mereka yang kuat adalah orang-orang keturunan Ali, karena mereka menyatakan memiliki nasab kepada Rasulullah seperti nasab orang-orang

Bani Abbasiyah, dan mereka memiliki hubungan khusus dengan Rasulullah yang tidak dimiliki oleh orang-orang keturunan Abbas. Karenanya, jika keturunan Bani Abbasiyah membanggakan nasab mereka, maka orang-orang keturuanan Ali pun juga bisa berbuat seperti itu dan dengan hubungan yang lebih dekat kepada Rasulullah.

Oleh sebab itu, ketika orang-orang Abbasiyah itu mengetahui adanya seruan kepada keturunan Ali, mereka akan segera menghabisinya, padahal pada saat itu seruan seperti itu sedang gencar-gencarnya. Terlebih, dalam membunuh orang-orang yang terkait dengan masalah tersebut, mereka hanya berdasarkan prasangka, bukan berdasarkan keyakinan dan fakta. Sebab, mereka berpendapat bahwa membunuh orang yang tidak berdosa dan lurus perkaranya lebih utama daripada membiarkan hidup orang yang dituduh akan merusak keamanan mereka.

Penguasa Yaman yang zhalim itu datang kepada mereka dari celah yang lemah di dalam jiwa-jiwa mereka. Ia menuduh Imam Syafi’i sebagai seorang yang mendukung keturunan Ali, sehingga ia mengirim surat kepada Ar-Rasyid yang isinya,“Sesungguhnya sembilan orang keturunan Ali telah bergerak.” Ia juga menyampaikan dalam surat tersebut,“Sesungguhnya aku takut jika mereka keluar, karena di antara mereka ada seorang laki-laki dari keturunan Syafi’ dari Bani Abdul Muttalib yang mana aku tidak kuasa untuk menyuruh dan mencegahnya.”

Salah satu riwayat menyebutkan bahwa penguasa Yaman itu juga berkata tentang Imam Syafi’i, “Ia bekerja dengan lisannya dengan hasil yang tidak bisa diraih oleh seorang prajurit dengan pedangnya.” Setelah menerima surat tersebut, Harun Ar-Rasyid memerintahkan bawahannya untuk menangkap sembilan orang keturunan Ali dan Imam Syafi’i. Para perawi berkata, bahwa Harun Ar-Rasyid membunuh sembilan orang tersebut, sedangkan Imam Syafi’i selamat karena kuatnya hujjah beliau serta persaksian dari Imam Muhammad bin Al-Hasan.

Imam Syafi’i Lolos dari Eksekusi

Sebagai bukti kuatnya argumen beliau, adalah perkataannya kepada Harun Ar-Rasyid. Ketika itu beliau telah dituduh dengan suatu tuduhan dan beliau dihadapkan di antara pedang dan nathi’ (Alas dari kulit kerbau yang biasa digunakan untuk menadahi darah orang yang dihukum pancung), beliau berkata:

“Wahai Amirul mukminin, apa pendapat Anda tentang dua orang laki-laki yang salah satunya menganggap saya sebagai saudaranya, sedangkan yang lain menganggap saya sebagai budaknya, manakah kira-kira di antara keduanya yang lebih saya cintai?”

Harun Ar-Rasyid menjawab, “Orang yang menganggapmu sebagai saudaranya.”

Imam Syafi’i berkata lagi, “Itulah Anda wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya kalian adalah anak dari Abbas, dan mereka anak-anak Ali, sedangkan kita adalah anak-anak Abdul Muttalib. Maka kalian sebagai anak-anak Al-Abbas menganggap kami sebagai saudara-saudara kalian, sedangkan mereka menganggap kami sebagai budak-budak mereka.”

Mengenai persaksian Muhammad bin Al-Hasan, hal itu dikarenakan Imam Syafi’i telah bersikap baik ketika Muhammad bin Al-Hasan melihatnya berada di majelis Ar-Rasyid saat terjadi tuduhan itu. Ilmu adalah penyambung hubungan antara para pemiliknya.

Setelah menyampaikan persaksian mengenai Imam Syafi’i, Muhammad bin Al-Hasan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i memiliki ilmu dien dan fikih yang luas, sedangkan hakim Muhammad bin Al-Hasan mengetahui hal itu. Lalu Ar-Rasyid menanyakan hal itu kepada Muhammad bin Al-Hasan, dan Muhammad pun menyebutkan kepadanya bahwa Imam Syafi’i memiliki ilmu yang banyak dan tuduhan yang diadukan kepada khalifah tidaklah benar.

Ar-Rasyid berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan, “Ajaklah ia bersamamu, sehingga aku bisa melihat urusannya.” Argumen yang kuat dan persaksian dari Muhammad bin Al-Hasan; dua hal itu yang menjadikan diri Imam Syafi’i selamat dari hukuman khalifah Ar-Rasyid.

Penulis :Dhani El_Ashim

Diambil dari buku Biografi Empat Imam Madzab karya Abdul Aziz Asy-Syinawi